Nafisa, gadis istimewa yang terlahir dari seorang ibu yang memiliki kemampuan istimewa. Tumbuh menjadi gadis suram karena kemampuan aneh yang dimiliki.
Melihat tanda kematian lewat pantulan cermin, membuatnya enggan bercermin seumur hidupnya. Suatu ketika ia terpaksa harus berdamai dengan keadaannya sendiri, perlahan ia mulai berubah. Dengan bantuan sang sahabat, ia menolong orang-orang yang memiliki tanda kematian itu sendiri.
Simak kisah menarik Nafisa, kisah persahabatan dan cinta, juga perjuangan seorang gadis menerima takdirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cermin 23
Suara tangisan seorang wanita yang sedang memeluk putranya terdengar menyayat hati, terisak-isak tanpa henti. Beberapa anggota keluarga berusaha menenangkan wanita itu, bahkan meraih putra kecil mereka yang juga terus merengek. Fisa yakin kesedihan di hati sang ibu diperoleh si kecil dari perasaan yang tertaut di hati ibunya.
Wanita itu bilang ibu mertuanya baru saja sadar, keadaannya masih sangat lemah, ia bingung bagaimana harus menjawab jika beliau tanya perihal putranya. Para guru berusaha menenangkan istri pak Rafan itu, sementara pak Rafan sendiri dinyatakan koma, beliau mengalami luka parah di kepala. Beruntung nyawanya masih selamat, hanya saja belum bisa sadar saat ini.
Nuria menangis menyaksikan ini, bagaimanapun juga pak Rafan adalah guru lelaki tersabar di sekolahnya, selain beliau wali kelas juga. Yang membuat Nuria tak tahan untuk tidak menangis adalah fakta putra pak Rafan yang masih kecil menangis tanpa henti di gendongan pamannya.
Di Tengah situasi menyedihkan ini, Fisa justru sedang kebingungan. Pasalnya ia tak sengaja melihat ruh pak Rafan sedang berdiri di samping jasad beliau, lelaki itu terlihat menyeramkan dengan lingkaran mata panda yang sedikit cekung dan juga wajah pucatnya. Tadi, mata mereka tak sengaja bertemu, dan ruh pak Rafan sepertinya menyadari bahwa gadis itu bisa melihat beliau.
“Nuril, apakah kita masih lama?” bisik Fisa di samping telinga sang ketua kelas.
“Ada apaan? sakit perut lo?” Gadis itu kembali berbisik. Nafisa menggeleng, “kalau tidak, sabar napa, kita disini bareng para guru mana bisa pulang duluan kalau beliau-beliau nggak ngajak,” imbuhnya lagi.
“Bener Fis, kamu kenapa sih dari tadi kulihat wajahmu tegang sekali,” sambung Nuria yang tak sengaja mendengar percakapan kedua temannya.
Fisa memejamkan mata, kala ruh pak Rafan mendekatinya, sosok itu membawa hawa dingin yang membuat Fisa merinding. Ruh tersebut berputar-putar di sekitar tubuh Fisa, sementara gadis itu terus merapal doa. Sebenarnya ia merasa tak begitu yakin jika yang dilihatnya ini benar-benar ruh pak Rafan atau hanya sosok yang menyerupai beliau.
KELUAR…
Fisa mengerjap, sosok yang menghilang bagai angin memintanya keluar. Entah kenapa Fisa sungguh merinding, ia tak tahu harus keluar mengikuti perintah ruh itu atau berpura-pura tidak tahu saja.
“Huhuhuhu, bagaimana ini Mas Rafan, kenapa Mas tidak bangun-bangun juga, kenapa tinggalin Aisyah sendiri, mana bisa Aisyah merawat mas dan ibu sendirian,” jerit istri pak Rafan yang semakin menjadi-jadi, tangisnya pun pecah hingga kemudian mengalami sesak nafas.
Bu Anita dan beberapa guru lain segera membantu, memanggil dokter dan memindahkan tubuh istri pak Rafan di atas ranjang pasien. Setelah itu dokter meminta yang tak berkepentingan untuk keluar, karena beliau harus memeriksa keadaan istri pak Rafan.
Terpaksa lah Fisa keluar, ia melihat ruh pak Rafan bergerak ke samping dinding menuju toilet. Diam-diam Fisa mengikutinya. Ada rasa penasaran dan iba yang besar dibalik takut itu sendiri, ia sudah mengambil keputusan dan harus bertanggung jawab dengan keputusan itu sendiri.
Fisa melihat ruh pak Rafan berdiri menantinya, takut-takut ia mendekat.
RUPANYA KAMU MEMANG BISA MELIHATKU?
Fisa mengangguk samar, gadis itu melihat sekeliling khawatir jika ada yang tak sengaja menangkap basah dirinya tengah bicara sendirian di depan toilet, bisa-bisa dianggap gila nanti.
“I-ini benar-benar Bapak?” tanya Fisa takut-takut. Ruh pak Rafan mengangguk.
SEPERTINYA WAKTUKU SUDAH TIDAK BANYAK.
Fisa mendongak, ruh pak Rafan terlihat tembus pandang dan semakin lama semakin transparan saat beliau berputus asa. Sebenarnya di dalam ruangan tadi, Fisa sempat melihat dari jendela yang memantulkan tubuh terbaring beliau. Cahaya ungu di kaki pak Rafan berubah warna menjadi putih, tapi sayangnya cahaya tidak stabil, naik turun tergantung kondisi kesehatan beliau.
“Menurut saya kemungkinan Bapak masih bisa selamat,” ungkap Fisa.
BAGAIMANA MAKSUDMU?
Suara pak Rafan terdengar tak nyata, jauh tapi dekat, jelas tak jelas tapi Fisa mengerti. Entahlah, sulit dijelaskan nalar manusia.
“Sebenarnya, saya bisa melihat tanda kematian seseorang lewat cermin, dah tanda kematian Bapak naik turun tergantung kondisi kesehatan, sepengalaman saya melihat tanda mereka yang hendak meninggal, tanda itu akan terus naik dalam kurun waktu singkat.
MAKSUDMU AKU MASIH BISA SELAMAT?
Lagi-lagi Fisa mendongak, menatap ruh pak Rafan juga melihatnya. Gadis itu mengangguk mantap dan berkata, “karena itu Pak, saya mohon Bapak jangan berputus asa. Lihatlah bagaimana pengorbanan istri Bapak yang masih harus merawat putra kalian, juga ibu Bapak yang juga sakit. Tidakkah Bapak merasa iba dan harus bangun kembali demi mereka?”
Ruh itu terdiam, seolah mencerna ucapan Fisa padanya. Setelah itu Fisa mendengar para guru hendak berpamitan pulang, sebelum itu mereka masih akan mampir ke kamar ibu kandung pak Rafan untuk menjenguk beliau juga.
“Bapak harus bertahan, saya yakin Bapak pasti sehat kembali, anak-anak di kelas juga masih butuh Bapak, kami semua tidak akan menemukan wali kelas sebaik Bapak, bahkan Nuria dan Nuril pun tak henti menangis. Kami semua membutuhkan Bapak,” ucap Fisa. Dia tak tahu, Nuria mendengar ucapannya dibalik dinding sambil ketakutan.
Ruh Pak Rafan mengucapkan terimakasih, beliau meminta bantuan Fisa sebelum gadis itu pulang. Fisa menyanggupinya, setelah itu ruh itu kembali mendekati jasadnya, sementara Fisa segera pergi dari rumah sakit tanpa berpamitan pada siapapun.
Nuria kembali dari toilet dengan kaki gemetar, bu Anita yang melihatnya terkejut dan segera menolong. Beliau bertanya apakah Nuria sakit? gadis itu menggeleng dan tertawa hambar. Bu Anita membantunya duduk lantas bertanya dimanakah Fisa?
“Kita harus segera pulang, dimana Fisa? apa kalian bersama tadi?”
“Biar saya yang cari Bu,” jawab Nuril.
“Ah jangan, Fisa sedang sakit perut Bu, dia tadi bilang pada saya minta ditunggu sebentar saja.” Bohong Nuria berusaha mengulur waktu. Bu Anita pun mengangguk mengerti, beliau tak mempermasalahkan hal itu, toh pak Andi masih terus berbincang dengan adik pak Rafan yang menggendong keponakannya yang mulai terlelap.
Tak lama kemudian, Fisa kembali dengan kantong plastik berisi nasi padang yang dibelinya di rumah makan kesukaan istri pak Rafan, gadis itu juga membawa sebuah kertas berisi pesan yang ditulis atas permintaan ruh wali kelasnya tadi.
“Apa yang kamu bawa itu Fisa?” tanya bu Anita begitu melihat Fisa datang tergopoh.
“Bukan apa-apa Bu,” jawabnya masuk ke dalam ruangan pak Rafan berada. Di sana ia melihat istri pak Rafan sedang mengelap kaki dan tangan suaminya menggunakan kompres air hangat, wanita itu terlihat jauh lebih tegar daripada beberapa waktu lalu. Sementara ruh pak Rafan pun tak bisa jauh-jauh dari jasad dan sang istri, beliau menantikan Fisa menyampaikan pesannya.
“Permisi, maaf Bu Aisyah, bolehkah saya bicara sebentar?” tanya Fisa.
Wanita itu mendongak, menatap Fisa dengan wajah bengkaknya. “Kamu murid suami saya?” katanya. Nafisa mengangguk pelan, Aisyah lantas berdiri dan mengajak Fisa duduk di kursi tersedia, wanita itu memaksakan seulas senyum dan menanti apa yang akan dibicarakan gadis seusia adiknya itu.
“Maaf Bu, ini dari pak Rafan,” kata Fisa menyerahkan bingkisan nasi dan kertas kecil berbentuk hati. Saat itu juga Aisyah menangis hebat, menutup mulut dengan satu tangan sambil memandang Fisa, seolah meminta penjelasan.
Nafisa menghela nafas dan berkata, “ruh pak Rafan masih di sini, beliau melihat ibu dan putra kalian. Jadi, jangan bersedih, semangat lah Bu, beliau pasti sehat kembali. Kata pak Rafan, ibu belum makan kan dari pagi? karena itu beliau meminta saya membeli makanan kesukaan ibu. Dimakan ya Bu,” pinta Fisa lembut.
Saat itu bu Anita dan pak Andi juga dua teman Fisa masuk ruangan, mereka hendak berpamitan dan terkejut melihat istri pak Rafan kembali menangis di depan Fisa.
“Ada apa ini, Fisa?” tanya bu Anita, Fisa hanya menunduk.
“Bukan apa-apa ibu guru, gadis ini hanya sedang memperdulikan saya, dia tahu saya belum makan dan membeli nasi ini untuk saya. Bapak dan ibu juga suami saya semua orang hebat, hingga bisa mendidik murid sebaik ini,” kata Aisyah ditengah isak tangisnya.
Bu Anita segera memeluk istri rekannya, berusaha menenangkan sekaligus berpamitan. “Kami pergi dulu ya, ibu yang kuat yang tabah, insya Allah pak Rafan sehat kembali. Kami akan sering berkunjung nanti, ya kan Pak Andi?” tanya bu Anita.
“Iya, kami akan sering datang, jangan merasa sendiri Bu, kami semua ada untuk Rafan,” kata beliau.
Bu Aisyah mengucapkan terimakasih, lalu mereka mulai saling bersalaman, termasuk Fisa juga. Istri pak Rafan bertekad mengganti uang Fisa, tapi mati-matian Fisa menolak, ia hanya minta istri pak Rafan tetap sehat dan kuat.
Nuria menggandeng Fisa keluar, saat itu Fisa bisa melihat ruh pak Rafan tersenyum padanya. Kali ini ruh itu tak terlihat begitu menyeramkan seperti tadi, rupanya yang membuat para arwah terlihat seram adalah energi kesedihan yang terpancar di sekitar mereka.
...