Original Story by : Chiknuggies (Hak cipta dilindungi undang-undang)
Aku pernah menemukan cinta sejati, hanya saja . . . Arta, (pria yang aku kenal saat itu) memutuskan untuk menjalin kasih dengan wanita lain.
Beberapa hari yang lalu dia kembali kepadaku, datang bersama kenangan yang aku tahu bahwa, itu adalah kenangan pahit.
Sungguh lucu memang, mengetahui Arta dengan sadarnya, mempermainkan hatiku naik dan turun. Dia datang ketika aku berjuang keras untuk melupakannya.
Bak layangan yang asyik dikendalikan, membuat aku saat ini tenggelam dalam dilema.
Hati ini. . . sulit menterjemahkan Arta sebagai, kerinduan atau tanda bahaya.
°°°°°°
Airin, wanita dengan senyuman yang menyembunyikan luka. Setiap cinta yang ia beri, berakhir dengan pengkhianatan.
Dalam kesendirian, ia mencari kekuatan untuk bangkit, berharap suatu hari menemukan cinta yang setia. Namun, di setiap malam yang sunyi, kenangan pahit kembali menghantui. Hatinya yang rapuh terus berjuang melawan bayang masalalu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chiknuggies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Ku pintal hari yang berawan ini dengan senandung tak bertenaga, bagaikan ilalang lesu yang di timpa buih embun di pagi hari. Sepertinya pagi ini cukup melankolis, bernuansa lika-liku, karena kulihat mentari yang menemaniku saat ini, masih tertutup rajutan mega yang tebal nan murung.
Ruel, masih dengan gelisah menatap kosong ke sudut ruangan, menatap hari yang baru dengan sendu, tanpa memperdulikan sekitarnya.
Aku yang bingung dengan perasaannya, kini memilih diam dan mengamati, membiarkan ia menghadapi fase tersebut karena bisa jadi, dalam diam dia tengah melawan dirinya sendiri.
Tengah duduk di kursi bundar yang tinggi tanpa sandaran, kulihat ia sesekali memutar badannya, mengandalkan poros bangku yang sudah sedikit berdecit bila diputar.
Meski aku memiliki sedikit tekad untuk memberinya waktu, dalam bergulat melawan pikiran yang menyakiti, membiarkannya berjuang sendiri, padahal dia giat dalam membela hatiku, memberikan perasaan ini menjadi tidak nyaman. Seolah aku tidak berguna dimatanya.
Ku kepalkan tangan sekuat tenaga, menguatkan niat dan perlahan menyentuh pundaknya yang masih terpaku dalam lamunan. "E-el? Kalo ada apa-apa cerita aja sama aku ya. Aku nggak bisa liat kamu diem aja kaya gini." Aku berbisik penuh khawatir terhadapnya.
"Umm, Ruel nggak apa-apa kok Boo." Ungkapnya ikut berbisik, tetapi matanya enggan menatapku. Mencoba bernada riang meski senyuman nya tidak sampai hingga ke mata.
Tentu saja, jawabannya kali ini tidak dapat ku percayai, karena tatapan tanpa berjiwa kini sudah kembali merenggut senyum palsu yang ia lemparkan.
Suasana resto yang tidak begitu penuh membuat denting alat makan yang saling beradu, terdengar canggung di bulu kuduk. Meski waktu tidak pernah berbohong, saat ini aku merasa satuan-nya bagai diukir perlahan oleh jam dinding.
Apa yang sebenarnya tengah bersarang di kepala Ruel saat ini, dan sudah sejauh mana pikirannya berkelana, demi menjelajahi masalah yang sedang dia hadapi.
Satu persatu pelanggan datang dan pergi beriring-iringan, bagaikan waktu yang dapat mengubah nyaman menjadi cemas.
Bagiku, keceriaan Ruel sangat berharga, karena dia adalah wajah dari tempat ini. Semua yang hadir ke sini, tidak pernah luput untuk menyapa Ruel yang selalu dijawab dengan riang olehnya.
Meski aku lah yang menjadi garda terdepan dalam memberi jasa kepada pelanggan, tetapi energiku kalah untuk menyainginya demi mendapat sapa dari pelanggan.
Semenjak senyuman nya pudar belakangan ini, pelanggan ikut menyepi bersama mood Ruel yang cendrung muram.
Pintu restoran terbuka, ditandai dengan lonceng yang bergantung, tersenggol pintu, menimbulkan bunyi, pertanda ada pelanggan yang masuk.
"Selamat datang di Oishika~" aku menyapa, sebagaimana semestinya, setiap ada pelanggan masuk.
Aku menoleh cepat akibat Ruel tidak ikut mengucap salam denganku, mengisyaratkan untuk lebih konsentrasi kedepannya. Ketika hendak menegurnya, aku malahan dibuat jengkel akibat ulahnya yang malah berlari ke dapur, menabrak meja sehingga menimbulkan suara keras.
*Bruk!*
Astaga, segera setelah aku menerima pesanan akan ku tegur dia kali ini.
"Iya, ibu mau pesan apa?" Tanyaku halus, mencoba menutupi perasaanku kepada Ruel.
Ibu yang kiranya berada pada kisaran kepala empat di hadapanku ini, belum menjawab pertanyaan dariku, tetapi langsung menatap tajam kemari, dari ujung kepalaku hingga tubuh sebatas meja.
Aku pun sedikitnya menilai perawakannya yang simple namun casual dengan mataku, meski terlihat muda, wibawa yang ia miliki membuatku yakin ia sudah cukup umur.
"Panggil Sandi kedepan dulu ya neng." Pukas nya teratur, memerintahkan ku seolah sudah paham dengan kondisi resto ini.
"Eh? I-iya bu, mohon ditunggu sebentar." Jawabku sedikit menunduk dan langsung menuju dapur.
Tetapi rupanya baru saja ingin menjemput Sandi, dia sudah berjalan ke arahku hingga kami berpapasan di muka pintu.
"San dicariin sama-" belum sempat aku menyelesaikan kalimat untuk memberitahu nya, sepertinya informasi keberadaan ibu itu sudah sampai dari mulut Ruel yang barusan lari ke arah dapur.
"Iya, Owner baru. Kamu prepare ya buat tutup Resto, diri di depan pintu, tahan pelanggan yang mau masuk. Oh iya jangan lupa open sign nya di balik." Jelasnya tergesa-gesa.
"Lah gw kudu alesan apa nanti ke pelanggan? Terus ini, yang udah pada di dalem gimana?" Celetukku kurang setuju.
"Udah kamu atur aja." Lantas Sandi meninggalkanku dan duduk bersama Ibu tadi di tempat biasa aku dan Ruel duduk di meja kasir.
Owner baru? Apa maksudnya dan sejak kapan kepemilikan Oishika sudah berganti? Lalu kenapa pula aku tidak mengetahuinya. Dengan banyak tanya yang tidak terjawab, aku mencoba untuk menghandle keadaan yang tidak terduga ini semaksimal mungkin. Menghalau pelanggan yang ingin masuk, meski harus menggunakan alasan yang tidak masuk akal, seperti inspeksi kualitas bahan makanan.
Berinisiatif untuk menutup separuh rolling door yang memberi isyarat bahwa kami tutup lebih awal, kulihat pelanggan yang tengah berada di dalam, menjadi makan dengan tergesa-gesa. Ruel, yang beberapa saat lalu menghilang pun, ikut keluar dan memutuskan untuk membantuku menjaga pintu resto.
Dia keluar dengan mata yang sembab terlukis usai menangis. Berbicara dengan isak tangis yang belum sepenuhnya pergi, dia sedikit menjelaskan kepadaku mengenai awal mula dari keadaan yang chaos ini.
"Inget gak waktu itu kita pernah pulang duluan, terus San-san di sini sendiri." Jelas nya kepadaku.
Bila kuingat kembali, memang pernah Sandi pulang larut, tetapi sepertinya saat itu ia beralasan untuk menyiapkan bumbu untuk esok lusa, agar tidak terburu-buru ketika kembali masuk di awal pekan.
"Iya inget, yang hari minggu itu ya, tapi aku lupa tanggalnya. Kenapa emang El?"
"Sebenernya waktu itu dia . . ."