Denara baru saja menyelesaikan sebuah novel di sela-sela kesibukannya ketika tiba-tiba dia terikat pada sebuah sistem.
Apa? Menyelamatkan Protagonis?
Bagaimana dengan kisah tragis di awal tapi menjadi kuat di akhir?
Tidak! Aku tidak peduli dengan skrip ini!
Sebagai petugas museum, Denara tahu satu atau dua hal tentang sejarah asli di balik legenda-legenda Nusantara.
Tapi… lalu kenapa?
Dia hanya ingin bersenang-senang!
Tapi... ada apa dengan pria tampan yang sama disetiap legenda ini? Menjauhlah!!
———
Happy Reading ^^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DancingCorn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kisah Ande-Ande Lumut (24)
Awalnya Denara tidak terlalu menyadari, tapi perlahan-lahan dia menangkap suasana di sekitarnya. Keramaian pasar malam, lampu-lampu temaram, dan langkah mereka yang berjalan berdampingan. Entah bagaimana, mereka tampak seperti sepasang kekasih yang sedang menikmati malam.
Pagelaran seni wayang kulit akhirnya dimulai. Tak ada jam yang menunjukkan waktu pasti, namun saat Denara menatap bayangan bulan di langit, dia menebak ini masih sekitar pukul delapan malam.
Denara tidak duduk di barisan depan. Dia memilih tempat di tengah, di sisi paling pinggir. Ande duduk di sebelahnya.
Saat dalang mulai berbicara, suasana berubah. Nuansa magis dan misterius memenuhi udara. Bayangan wayang bergerak di layar putih, seolah-olah mengundang penonton untuk mengintip dunia lain dari balik cahaya.
Biasanya, Denara mudah mengantuk bila dalang hanya membacakan cerita sesuai naskah. Namun malam ini berbeda. Cerita mengalir dengan hidup. Dalang membawa karakter-karakternya dengan penuh warna, membuat Denara terpikat dari awal.
Penonton perlahan berkurang. Beberapa keluarga dengan anak-anak memilih pulang lebih dulu. Kini hanya tersisa segelintir pria muda dan tua yang menonton sendiri, beberapa pasangan yang masih bertahan sambil menimang anak mereka.
Denara tak tahu berapa lama pertunjukan berlangsung. Tapi ketika dia berdiri di samping Ande, rasa puas terpancar jelas dari wajahnya.
“Suka?” tanya Ande, memperhatikan senyum Denara yang belum juga menghilang.
Denara mengangguk antusias. “Ya, sangat. Dalangnya luar biasa. Sindennya juga. Musik gamelannya, detail wayangnya… semuanya sempurna. Aku nggak bisa mendeskripsikannya selain ‘luar biasa’.”
Karena keramaian, mereka tidak pulang lewat jalan yang sama. Bukan karena menghindari warga desa, tapi karena tidak ingin berdesakan.
Jadi, Ande mengajak Denara menyusuri jalan pesisir sungai. Suasana lebih tenang, angin malam menyapu pelan, dan suara air mengalir menemani langkah mereka.
"Kalau begitu, ayo nonton lagi kapan-kapan," kata Ande dengan senyum ringan.
"Tentu," jawab Denara sambil tersenyum juga.
Namun tiba-tiba, suasana di sekitar mereka berubah. Jalanan yang tadi penuh suara jangkrik dan desiran angin menjadi sunyi mencekam. Ande berhenti melangkah, lalu berdiri di depan Denara dengan sikap waspada, seolah melindungi.
"Ande?" tanya Denara bingung.
"Sstt..." Ande mendesis pelan, satu jari diangkat ke depan bibirnya. Matanya kini tajam, penuh kewaspadaan.
Dari bayang-bayang pepohonan, muncul tujuh sosok berpakaian serba hitam. Langkah mereka nyaris tanpa suara. Aura bahaya langsung terasa.
Wajah Ande berubah menjadi dingin, tenang, namun mengancam.
Salah satu dari mereka maju selangkah. Tubuhnya lebih tinggi dari yang lain, tampak seperti pemimpin.
"Panji, jangan salahkan kami. Kami hanya menjalankan perintah," katanya dengan nada datar, lalu mengangkat tangan sebagai aba-aba.
Begitu tangannya turun, enam dari mereka langsung melesat ke arah Ande.
Denara yang sejak tadi memandangi situasi dengan bingung, akhirnya refleks mengeluarkan pisau kecil dari sakunya. Tapi dia terhenti ketika mendengar nama yang disebut pemimpin itu.
‘Panji?’
"Tunggu!" teriak Denara. Enam sosok itu segera berhenti dan kembali ke posisi semula, tetap berjaga tapi tak menyerang.
"Kamu bukan target. Pergilah, Nona," ucap sang pemimpin dengan sopan namun tegas.
"Bukan itu maksudku! Apa kalian nggak salah orang? Dia ini Ande! Temanku. Bukan... siapa tadi? Panji?" Denara menunjuk ke arah Ande.
Pemimpin itu menggeleng perlahan. "Maaf, Nona. Tapi orang itu bukan ‘Ande’ yang kamu tau. Dia adalah target kami, Raden Panji Asmarabangun."
Denara ingin membantah, tapi sebuah perubahan tampak di atas kepala Ande. Tulisan sistemnya berubah.
[Ande-ande Lumut / Raden Panji]
Denara terdiam. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar. Ande melihat wajahnya, dan untuk pertama kalinya malam itu, dia terlihat panik.
Bukan karena para pembunuh itu—tapi karena ekspresi Denara.
"Kuning... Aku nggak bermaksud bohong sama kamu. Aku... aku akan jelasin semuanya setelah ini selesai. Jadi tolong... jangan marah. Jangan menjauh dariku, ya?"
Denara tetap tak menjawab. Matanya memandangi Ande dengan rumit.
Dalam kepalanya, dia mengumpat.
‘Sistem Rusak! Bukankah ini bagian dari target misi? Kenapa kamu malah diem aja?!’
‘Keluar! Keluar sekarang! Beraninya kamu nggak ngasih informasi sama sekali! Dasar sistem kampret!’
[Sistem pernah menyarankan agar Host mencari tahu sendiri karakter-karakter yang muncul.]
Denara: …
(ノ`Д´)ノ彡┻━┻)
APA-APAAN INI!
'Sistem orang lain dapet paket pemula, bonus gacha SSR, bahkan pet mini imut! Lah gue? Disuruh mikir sendiri dari awal sampai akhir!'
'Dasar sistem rusak! Sistem nyebelin! Sistem kampret!'
[Host, pengingat ramah: Ande-ande Lumut tidak akan berakhir dengan bunuh diri seperti yang Anda khawatirkan.]
Denara terdiam sesaat.
Ya, benar juga sih...
Melihat bagaimana Ande bersikap selama beberapa hari ini, bagaimana dia tersenyum, berbagi cerita, membelanya dari orang-orang julid... tidak ada aura keputusasaan sama sekali.
Tapi tetap saja misinya "Perbaiki Takdir Ande-ande Lumut."
Apa maksud dari takdir yang harus diperbaiki itu?
Apakah berhubungan dengan kakak tirinya yang licik, Klenting Merah?
Tapi masa sih... Ande yang secerdas itu tidak tahu apa-apa tentang Klenting Merah?
Tidak masuk akal. Kecuali... dia sengaja pura-pura tidak tahu?
Sementara Denara tenggelam dalam teori konspirasi di kepalanya, pertarungan selesai lebih cepat dari yang dia duga. Setengah dari para penyerang berhasil dikalahkan oleh Ande sendiri, dan sisanya dilumpuhkan oleh para bawahan misterius yang muncul entah dari mana.
Pemimpin penyerang tak dibunuh. Dia diikat untuk diinterogasi.
Ande menghela napas panjang. Lalu menoleh ke arah Denara yang masih berdiri mematung. Ande segera merasa cemas dan takut.