Di dunia yang penuh gemerlap kemewahan, Nayla Azzahra, pewaris tunggal keluarga konglomerat, selalu hidup dalam limpahan harta. Apa pun yang ia inginkan bisa didapat hanya dengan satu panggilan. Namun, di balik segala kemudahan itu, Nayla merasa terkurung dalam ekspektasi dan aturan keluarganya.
Di sisi lain, Ardian Pratama hanyalah pemuda biasa yang hidup pas-pasan. Ia bekerja keras siang dan malam untuk membiayai kuliah dan hidupnya sendiri. Baginya, cinta hanyalah dongeng yang tidak bisa dibeli dengan uang.
Takdir mempertemukan mereka dalam situasi tak terduga, sebuah insiden konyol yang berujung pada hubungan yang tak pernah mereka bayangkan. Nayla yang terbiasa dengan kemewahan merasa tertarik pada kehidupan sederhana Ardian. Sementara Ardian, yang selalu skeptis terhadap orang kaya, mulai menyadari bahwa Nayla berbeda dari gadis manja lainnya.
dan pada akhirnya mereka saling jatuh cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @Asila27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
di curigai lagi
Sampai di rumah sakit, Ardi masih duduk di depan ruang UGD. Wajahnya terlihat lelah, tapi ia tetap diam, menundukkan kepala. Seorang satpam kantor masih mengawasinya, seolah-olah ia adalah tersangka atas kambuhnya penyakit jantung Pak Rangga. Situasi ini membuat Ardi sedikit kesal, tapi ia memilih untuk tetap diam dan menunggu.
Pintu ruang UGD terbuka, seorang dokter keluar dengan wajah tenang. "Keluarga pasien?" tanyanya sambil melihat ke sekeliling.
"Maaf, Dok, keluarga pasien masih dalam perjalanan. Kami hanya satpam kantor Pak Rangga," jawab satpam dengan sopan.
Dokter mengangguk. "Baik, kondisi Pak Rangga sudah stabil. Serangan jantung yang dialaminya tergolong ringan, tapi beliau masih membutuhkan waktu untuk sadar sepenuhnya. Tidak perlu khawatir, kondisinya terkendali."
Baru saja dokter menyelesaikan penjelasannya, suara teriakan panik terdengar dari arah koridor.
"Dok, di mana suami saya? Bagaimana keadaan Papa saya?!" Seorang wanita paruh baya dan seorang gadis muda berlari mendekat dengan napas terengah-engah.
Dokter berbalik menatap mereka. "Apakah Anda keluarga dari Pak Rangga?"
"Iya, Dok, saya istrinya, dan ini anak saya, Nazilla," jawab wanita itu.
"Baik, Ibu. Seperti yang tadi saya jelaskan, kondisi Pak Rangga sudah membaik. Serangan jantungnya ringan, tapi beliau masih perlu istirahat."
Nazilla menggenggam tangan ibunya erat, matanya berkaca-kaca. "Dok, bolehkah kami masuk melihat Papa?"
"Untuk sementara, belum bisa. Beliau masih dalam pemulihan," jawab dokter dengan sabar.
Nazilla menghela napas pelan. "Ya sudah, kalau memang belum boleh..." katanya dengan nada kecewa. Ia menoleh ke ibunya. "Ma, kita duduk di sana saja sambil menunggu Papa sadar. Yang penting Papa sudah stabil."
"Iya, Zil."
Setelah duduk, Nazilla melirik ke arah satpam yang masih berdiri di dekat Ardi. Ia memutuskan untuk bertanya tentang kejadian yang menimpa ayahnya.
"Pak, bagaimana bisa Papa terkena serangan jantung?"
Satpam itu tampak sedikit ragu sebelum menjawab. "Tadi kami menemukan Pak Rangga sudah pingsan di dalam lift, Mbak. Dan saat kami datang, beliau sedang dipangku oleh Mas ini," katanya sambil menunjuk Ardi. "Karena kami tidak tahu kronologinya, kami membawa Mas ini ke sini untuk berjaga-jaga. Takutnya, Mas ini yang menyebabkan Pak Rangga kena serangan jantung."
Nazilla menatap Ardi dengan tatapan tajam. Ardi, yang sejak tadi diam, tetap tidak bereaksi. Ia tidak berusaha menjelaskan dirinya sendiri.
Melihat sikapnya yang seakan acuh tak acuh, Nazilla mencoba bertanya dengan nada lebih lembut. "Mas, boleh saya tahu apa yang sebenarnya terjadi?"
Ardi masih terdiam. Ia menatap lantai tanpa ekspresi.
Nazilla menghela napas, lalu bertanya sekali lagi, kali ini dengan nada lebih tegas. "Mas, tolong bantu kami. Apa yang sebenarnya terjadi?"
Ardi akhirnya mendongak. "Maaf, Mbak. Bukan saya tidak mau menjelaskan, tapi lebih baik Mbak menunggu Pak Rangga sadar. Saya hanya menolong, bukan penyebab kejadian ini."
"Masih tidak bisa diceritakan sekarang?" Nada suara Nazilla mulai kesal.
"Bukan begitu, Mbak. Saya hanya tidak ingin nanti dianggap mengarang cerita. Saya hanya kebetulan ada di tempat kejadian. Saya tadi cuma datang untuk melamar kerja, itu saja."
Sejak kejadian di mana Ardi pernah dituduh memanfaatkan Aysila, kini ia bersikap lebih tegas. Ia tidak peduli apakah yang berbicara dengannya orang kaya atau bukan. Yang penting baginya sekarang adalah prinsip. Selama ia berkata jujur, ia tidak akan memperdulikan apa yang orang lain katakan tentang dirinya.
Nazilla menatap Ardi dengan wajah penasaran. Tapi sebelum ia bisa membalas, ibunya memotong pembicaraan. "Zil, sudahlah. Kalau Mas ini tidak mau cerita, jangan dipaksa. Kita tunggu Papa sadar saja. Mas ini benar, bisa saja nanti kita malah salah menuduh."
Nazilla menatap ibunya dengan ragu, lalu mengangguk pelan. "Ya sudah, Ma."
Tak lama, pintu UGD kembali terbuka. Dokter muncul dengan senyum tipis. "Keluarga pasien?"
"Iya, Dok, kami," sahut Ibu Intan cepat.
"Pak Rangga sudah sadar dan bisa ditemui. Silakan masuk."
Mendengar itu, Ibu Intan segera masuk dengan tergesa-gesa. Nazilla yang hendak masuk, menoleh ke Ardi sebelum berjalan ke dalam ruangan.
"Mas, jangan berpikir untuk pergi dulu, ya. Saya ingin mendengar langsung dari Papa," ucapnya memperingatkan.
Ardi hanya mengangguk ringan, tanpa ekspresi.
Di dalam ruangan, Pak Rangga yang masih terlihat lemah menatap pintu saat istrinya dan putrinya masuk.
"Pa, kenapa Papa tiba-tiba kena serangan jantung? Apa yang terjadi?" tanya Ibu Intan, suaranya sedikit bergetar.
"Ma, jangan tanya dulu, kasihan Papa baru sadar," sela Nazilla.
Ibu Intan menghela napas. "Maaf, Zil, habis Mama jengkel. Udah tahu nggak boleh capek, masih aja kerja terus! Udah disuruh cari asisten pribadi, nggak mau! Jadi kayak gini, kan?!"
Pak Rangga tersenyum lemah. "Papa nggak apa-apa. Ini semua cuma gara-gara keponakanmu itu, bikin Papa kaget aja."
Ibu Intan mengernyit. "Maksud Papa apa?"
"Sudahlah, Ma, nggak usah ribut di sini. Kita pindah ke kamar VIP saja, biar Papa lebih nyaman," usul Nazilla.
Ibu Intan mengangguk. "Baiklah, kamu urus, Zil."
Setelah pindah ke kamar VIP, suasana lebih tenang. Ardi dan seorang satpam masih berada di ruangan, menunggu. Pak Rangga, yang kini duduk di ranjang dengan bantal menyangga punggungnya, menatap Ardi.
"Kamu... bukankah kamu yang mau melamar kerja tadi? Dan kamu juga yang nolongin saya di dalam lift?"
Ardi mengangguk pelan. "Iya, Pak. Saat saya mau keluar lift, tiba-tiba Bapak jatuh sambil memegang dada. Saya khawatir, jadi saya langsung membawa Bapak turun dan meminta bantuan karyawan kantor."
Pak Rangga mengangguk mengerti. Nazilla menunduk sedikit, merasa bersalah.
"Maaf ya, Mas. Saya nggak berniat menuduh, saya hanya khawatir," ucap Nazilla dengan tulus.
Ardi tersenyum tipis. "Santai aja, Mbak. Saya udah biasa."
Nazilla mengernyit. "Biasa gimana, Mas?"
"Bukan apa-apa," jawab Ardi singkat. "Saya boleh pulang sekarang?"
Sebelum Ardi bisa melangkah keluar, Ibu Intan menahan. "Tunggu, Mas. Saya ingin bicara sebentar. Tolong tunggu di luar."
Ardi mengangguk. "Baik, Bu."
Setelah itu, satpam yang tersisa pun dipersilakan kembali ke kantor. Kini hanya tersisa Pak Rangga, Ibu Intan, dan Nazilla di dalam ruangan. Nazilla menatap pintu tempat Ardi baru saja keluar, perasaannya campur aduk. Ia ingin tahu lebih banyak tentang lelaki itu...