Diselingkuhi sedih? Sudah tidak jaman! Angkat kepalamu, gadis, mari kita balas dendam.
Betari diselingkuhi oleh kekasih yang dia pacari selama tiga tahun. Alih-alih menangis, dia merencanakan balas dendam. Mantan pacarnya punya ayah duda yang usianya masih cukup muda. Tampan, mapan, dan kelihatannya lebih bertanggungjawab. Jadi, Betari pikir, kalau dia tidak dapat anaknya, dia akan coba merebut ayahnya.
Namun ditengah misi balas dendamnya, Betari justru dikejutkan oleh semesta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Rumah Melvis
Pagi yang cerah setelah malam suram penuh alkohol dan beban pikiran. Betari tidak ingat sampai batas mana dia menenggak minuman. Tidak ingat kapan tepatnya dia pingsan. Tidak pula ingat bagaimana caranya dia meninggalkan bar. Satu hal yang pasti Betari yakini ketika membuka mata adalah bahwa dia tidak sedang berada di kediamannya. Kamar yang luasnya dua kali lipat dari kamarnya, ranjang queen size dengan selimut tebal nan hangat, jendela kaca besar berselimut gorden abu-abu tua yang tersingkap sedikit. Tatanan ruangnya juga tidak tampak seperti lay out kamar hotel kebanyakan.
Maka kemungkinan paling masuk akal baginya sekarang adalah, dirinya sedang berada di kediaman Melvis. Entah di kamar mana. Bisa jadi kamar utama, atau kamar tamu yang memang desainnya agak lebay karena tidak akan selalu terpakai.
Betari menarik sudut bibirnya. Orang-orang seperti Melvis tidak tampak seperti akan bisa memasukkan sembarang orang ke kediamannya. Jadi bukankah wajar jika sekarang Betari merasa sedikit di atas awan? Bukankah langkahnya akan semakin mulus setelah ini?
Dengan kepala yang masih terasa berat dan tenggorokan yang kering, Betari menapakkan kakinya ke lantai marmer. Pelan-pelan dia berjalan menuju pintu, menarik handle dengan hati-hati, lalu mulai melangkah keluar.
Bertepatan dengan itu, seseorang muncul dari kamar di seberangnya. Seseorang yang tidak asing lagi. Yang akhir-akhir ini dia kutuk beribu-ribu kali.
Betari berdiri di depan pintu dengan tatapan tajam, berbanding terbalik dengan Nando yang tampak terkejut dan kebingungan. Dia mendapati bibir lelaki itu bergerak perlahan.
"Be, kamu kenapa ada di sini?"
Tadinya Betari mau jawab sama seperti pertanyaan Nando, kenapa laki-laki itu ada di sini juga? Kan ceritanya Betari pura-pura tidak tahu kalau Melvis adalah ayah Nando. Pacaran tiga tahun tidak membuat Betari dan Nando tahu segalanya satu sama lain. Tahu sendiri, Betari mengetahui Nando punya bapak seorang duda pun dari hasil menggali info dari Ardhan--sepupu yang kurang baik hubungannya dengan Nando-- ketika mau berencana balas dendam.
Namun, sebelum suara Betari keluar, suara lain sudah lebih dulu menginterupsi.
Betari dan Nando sama-sama mengalihkan padangan ke arah sumber suara. Menemukan Melvis datang dari tangga bawah membawa sebotol air dan obat pereda pengar. Lelaki itu menatap mereka bergantian. Kerutan muncul di dahinya.
“Saya bawain obat pereda pengar,” ucap Melvis begitu tiba di hadapan Betari.
Betari menerima botol air dan obat pereda pengar yang Melvis berikan ketika tatapannya masih terpaku pada sosok Nando yang tampak menegang.
“ART saya lagi siapin sarapan. Sebaiknya Mbak Betari masuk lagi ke kamar dan istirahat lebih lama. Minum pereda pengarnya biar pusingnya hilang,” tutur Melvis lagi.
Betari terdiam sejenak. Namun tak urung tetap menuruti perkataan Melvis. Dia balik badan tanpa berucap terimakasih. Menutup pintu buru-buru, membiarkan tubuhnya ditelan sepenuhnya dan hilang dari pandangan ayah dan anak di depan sana.
Sementara itu, Nando masih membisu setelah tak mendapat jawaban apapun dari Betari. Dia ingin tahu kenapa Betari bisa ada di rumahnya dan bagaimana mantan kekasihnya itu bisa mengenal ayahnya. Dia merasakan dadanya dirambati sesak dan emosi yang perlahan-lahan siap meledak.
"Kamu kenapa?" tanya Melvis.
"Itu siapa Pa? Dan kenapa bisa ada di sini?" tanya Nando akhirnya, setelah lidahnya kelu untuk beberapa saat karena sibuk mencerna situasi.
"Oh itu. Dia Mbak--"
Pintu kamar yang Betari tempati sekonyong-konyong terbuka, membuat perbincangan mereka terhenti.
"Pak Melvis, maaf, tadi saya lupa bilang sesuatu."
"Bilang apa Mbak?"
"Saya mau bilang terimakasih, Pak."
Melvis tersenyum, "Oh itu, sama-sama Mbak Betari."
Tuh kan benar, Betari.
Setelahnya, Betari masuk kembali ke dalam kamar menyisakan dua manusia yang gagal meneruskan perbincangan.
“Mandi gih, habis itu turun buat sarapan.” Begitu kata sang ayah, seakan lupa sebelumnya berbicara tentang apa.
Nando melirik bengis sosok ayahnya yang melenggang turun setelah memberi perintah. Punggung tegapnya Nando amati lekat-lekat. Seolah tatapannya bisa menerobos, menciptakan lubang besar yang membuat ayahnya sekarat.
...****...
Daripada kecanggungan, Betari justru merasakan aura kemarahan yang begitu besar di meja makan yang hanya dihuni oleh dirinya, Melvis dan Nando saat ini. Sejak dia mendudukkan bokongnya di kursi dekat Melvis, Nando tak henti-hentinya melayangkan tatapan tidak suka. Betari bisa merasakan seberapa besar ketidaksukaan itu karena seperti itulah caranya menatap Nando dan Andara ketika perselingkuhan mereka terungkap.
“Anak saya kerja di kantor yang sama dengan Mbak Betari.” Suara Melvis menyita perhatiannya.
Betari tersenyum canggung, mengangguk sedikit. “Saya beberapa kali ketemu, tapi belum pernah berinteraksi secara langsung.” Dengan segala upaya, dia berdusta.
"Berarti saling kenal, tapi tidak saling dekat ya." Timpal Melvis. Betari hanya tersenyum seraya bergumam dalam hati. Kenal banget kok Pak sama manusia satu enih.
Nando jelas tidak senang. Terlihat dari genggamannya pada ujung sendok yang mengerat secara signifikan. Bukannya takut, Betari malah jadi memiliki ide untuk membuat Nando semakin terbakar.
Oh, bukankah memang ini tujuannya mendekati Melvis?
Meniru beberapa modus dari potongan drama yang pernah dia tonton, Betari meraih gelas di hadapannya, cosplay menjadi wanita lemah lembut yang memegang gelas dengan benar saja tidak mampu. Alhasil, bukannya masuk ke dalam mulut, air di gelas justru tumpah mengenai Melvis. Mengalir membasahi baju bawah dan celananya.
“Aduh, Maaf!” seru Betari, melebih-lebihkan refleks panik sampai serabutan mencabut berlembar-lembar tisu dari kotak. Tangannya serampangan hendak mengelap area tubuh Melvis yang basah.
“Mbak Betari, it’s ok. Sini, sini, kasih saya tisunya, saya bersihkan sendiri.” Melvis merebut lembut lembaran tisu dari tangan Betari.
“Maaf, Pak Melvis, saya nggak sengaja.” Betari masih dengan aktingnya. Dia menangkup tangan Melvis dengan kedua tangannya. Matanya sayu seolah betulan penuh penyesalan.
“Nggak apa-apa, Mbak Betari. It’s not a big deal. Mbak Betari lanjut makan lagi aja,” ucap Melvis lembut. Penuh pengertian.
Pemandangan itu terkesan manis untuk yang lain, tetapi untuk Nando, itu seperti neraka yang apinya membuat seluruh sel di tubuhnya habis terbakar. Dia tidak bisa lagi menahan diri. Emosi meledak-ledak di dadanya. Dia bangkit dari kursi, membanting sendok di genggamannya hingga jatuh terpental ke lantai setelah menabrak piring.
Tanpa sepatah kata apa pun, Nando pergi meninggalkan meja makan. Langkahnya terburu dengan napas yang memburu. Dari sekian banyak hal tidak masuk akal di dunia, dia tidak pernah menduga mendapati mantan kekasihnya dekat dengan ayahnya akan terjadi dalam hidupnya. Seperti sinetron. Terlalu mengada-ada.
Di meja makan, setelah sosok Nando sepenuhnya menghilang, Betari menyudahi aktingnya. Sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas. Tersenyum penuh kemenangan.
“Maafkan sikap anak saya. Dia cuma nggak terbiasa lihat ayahnya bawa tamu ke rumah.”
Betari mengangguk dan full senyum. “Iya, Pak. Saya ngerti,” ucapnya lembut bagai ibu peri baik hati.
.
.
.
Bersambung.