Di Kota Sentral Raya, kejahatan bukan lagi bayangan yang bersembunyi—ia adalah penguasa. Polisi, aparat, hingga pemerintah berlutut pada satu orang: Wali Kota Sentral Raya, dalang di balik bisnis ilegal, korupsi, dan kekacauan yang membelenggu kota ini.
Namun, ada satu sosok yang tidak tunduk. Adharma—pria yang telah kehilangan segalanya. Orang tua, istri, dan anaknya dibantai tanpa belas kasihan oleh rezim korup demi mempertahankan kekuasaan. Dihantui rasa sakit dan dendam, ia kembali bukan sebagai korban, tetapi sebagai algojo.
Dengan dua cerulit berlumuran darah dan shotgun di punggungnya, Adharma tidak mengenal ampun. Setiap luka yang ia terima hanya membuatnya semakin kuat, mengubahnya menjadi monster yang bahkan kriminal pun takut sebut namanya.
Di balik topeng tengkorak yang menyembunyikan wajahnya, ia memiliki satu tujuan: Menumbangkan Damar Kusuma dan membakar sistem busuk yang telah merenggut segalanya darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertarungan Di Menara Pernata
Darma terhuyung. Asap dari ledakan masih memenuhi ruangan, bercampur dengan bau mesiu dan darah. Telinganya berdenging, tapi ia bisa melihat dengan jelas—enam orang berbaju khusus dengan emblem berbentuk kepala serigala sedang mengepungnya.
Raden Wijaya berdiri di belakang mereka, menyaksikan dengan senyum puas.
"Bunuh dia," perintahnya singkat.
Darma menggeram, menggenggam cerulitnya lebih erat. Kali ini, ia tak akan jatuh begitu saja.
Salah satu pria berbaju khusus melangkah maju, mengayunkan belati besar ke arah Darma.
Cletak!
Darma menangkis serangan itu dengan cerulitnya, lalu dengan cepat menendang pria itu ke belakang. Dua orang lainnya langsung menyerbu, salah satunya menembakkan pistol.
Dor! Dor!
Darma melompat ke samping, menghindari peluru pertama dan menangkis pisau lempar yang datang dari sisi lain. Ia berputar, mencabut shotgun dari pinggangnya dan menembakkan peluru ke dada salah satu musuh.
Duar!
Darah menyembur ke udara. Pria itu terpental ke belakang, menabrak meja rapat hingga pecah berantakan.
Tersisa lima orang.
Seorang lawan lain mengayunkan baton listrik ke arah Darma. Ia merunduk, lalu membalas dengan menebas lutut lawannya menggunakan cerulit.
Cras!
Pria itu berteriak kesakitan sebelum Darma mengakhiri nyawanya dengan menusukkan cerulit ke leher.
Tersisa empat orang.
Melihat dua rekannya tumbang, sisa pasukan itu langsung berkoordinasi. Salah satunya menarik senapan otomatis.
Darma langsung berlindung di balik meja.
"Buka formasi! Jangan biarkan dia lari!" salah satu dari mereka berteriak.
Darma menarik napas cepat, lalu melemparkan pisau ke lampu di atas mereka.
Crak!
Lampu pecah, menciptakan kilatan dan kegelapan singkat. Dalam waktu yang sama, ia berlari ke depan dengan kecepatan penuh.
Musuh yang berada di tengah tidak sempat bereaksi. Dalam satu tebasan cepat, Darma membelah dadanya dengan cerulit.
Tersisa tiga orang.
Dua orang menyerang bersamaan, satu dengan pisau, satu dengan baton listrik.
Darma menangkis serangan pisau dengan cerulit kiri, sementara tangan kanannya menangkap baton lawan sebelum mengenai kepalanya.
Dengan kekuatan penuh, ia menghantam wajah musuh dengan gagang shotgun.
Krak!
Hidung pria itu hancur seketika. Darma memutar tubuhnya dan menusukkan cerulit ke perutnya hingga tembus.
Tersisa dua orang.
Salah satu dari mereka menembak. Peluru meleset tipis dari kepala Darma.
Darma membanting tubuh lawan yang baru saja ia bunuh ke arah penembak itu. Sementara pria itu sibuk menyingkirkan mayat rekannya, Darma berlari dan menembakkan shotgun tepat ke wajahnya.
Duar!
Tersisa satu orang.
Yang terakhir mencoba kabur.
Tidak akan kubiarkan.
Darma melempar cerulitnya.
Srett!
Ujungnya menancap di punggung pria itu, membuatnya jatuh tersungkur.
Darma mendekat, mencabut cerulitnya, lalu menatap pria itu yang kini gemetar ketakutan.
"Siapa kalian?"
Pria itu terbatuk darah. "Kau... Kau sudah mati. Mereka akan datang memburumu."
"Siapa 'mereka'?"
"Ordo Serigala Hitam... Kami hanya pion... Mereka yang mengendalikan kota ini..."
Sebelum Darma bisa bertanya lebih lanjut, pria itu menggigit sesuatu di mulutnya.
Ceklek!
Racun sianida.
Dalam hitungan detik, tubuhnya kejang-kejang, lalu diam.
Darma menoleh ke tempat Raden Wijaya tadi berdiri.
Kosong.
Bajingan itu kabur.
Darma mengamati sekeliling. Ruangan berantakan, mayat-mayat berserakan. Ia tahu ia harus pergi sebelum bala bantuan datang.
Namun sebelum itu, ia mengambil pisau dan menuliskan sesuatu di dinding dengan darah.
"ADHARMA"
Ketidakadilan.
Aku akan memburu kalian semua.
Di dalam sebuah mobil hitam yang melaju cepat, Raden Wijaya menekan nomor di ponselnya dengan tangan gemetar. Matanya dipenuhi kemarahan dan ketakutan.
Tuut... tuut...
Sambungan tersambung.
"Kenapa kau meneleponku sepagi ini, Raden?" Suara di seberang terdengar dingin, penuh wibawa.
Wali Kota Sentral Raya.
Raden menelan ludah. "Dia masih hidup, Pak. Orang itu... Darma... dia membantai pasukan saya di Menara Permata."
Hening sejenak.
"Kau bilang apa?" Nada suara wali kota berubah, kini terdengar tajam dan berbahaya.
"Dia menghancurkan segalanya! Enam orang berbaju khusus kita mati, dan dia menuliskan ‘Adharma’ dengan darah di dinding!"
Suara di seberang menghela napas panjang.
"Ini buruk."
Raden meremas ponselnya. "Pak, kita harus bertindak cepat. Jika dia menemukan fakta lebih dalam, kita semua dalam bahaya."
"Aku tahu itu, bodoh!" bentak wali kota. "Tapi aku tidak butuh kepanikanmu. Kita harus menyelesaikan ini secara rapi."
"Apa yang harus kita lakukan?" Raden bertanya dengan nada penuh harap.
"Aku akan menghubungi seseorang yang lebih kompeten dari pasukanmu. Seseorang yang bisa menghabisi Adharma sebelum dia mengungkap lebih banyak."
"Siapa?"
"Kau tak perlu tahu. Cukup siapkan dirimu jika sewaktu-waktu aku memanggilmu."
Klik.
Sambungan terputus.
Raden Wijaya bersandar di kursinya, menyadari satu hal: pertarungan ini baru saja dimulai.
Di dalam sebuah mobil hitam yang melaju cepat, Raden Wijaya menekan nomor di ponselnya dengan tangan gemetar. Matanya dipenuhi kemarahan dan ketakutan.
Tuut... tuut...
Sambungan tersambung.
"Kenapa kau meneleponku sepagi ini, Raden?" Suara di seberang terdengar dingin, penuh wibawa.
Wali Kota Sentral Raya.
Raden menelan ludah. "Dia masih hidup, Pak. Orang itu... Darma... dia membantai pasukan saya di Menara Permata."
Hening sejenak.
"Kau bilang apa?" Nada suara wali kota berubah, kini terdengar tajam dan berbahaya.
"Dia menghancurkan segalanya! Enam orang berbaju khusus kita mati, dan dia menuliskan ‘Adharma’ dengan darah di dinding!"
Suara di seberang menghela napas panjang.
"Ini buruk."
Raden meremas ponselnya. "Pak, kita harus bertindak cepat. Jika dia menemukan fakta lebih dalam, kita semua dalam bahaya."
"Aku tahu itu, bodoh!" bentak wali kota. "Tapi aku tidak butuh kepanikanmu. Kita harus menyelesaikan ini secara rapi."
"Apa yang harus kita lakukan?" Raden bertanya dengan nada penuh harap.
"Aku akan menghubungi seseorang yang lebih kompeten dari pasukanmu. Seseorang yang bisa menghabisi Adharma sebelum dia mengungkap lebih banyak."
"Siapa?"
"Kau tak perlu tahu. Cukup siapkan dirimu jika sewaktu-waktu aku memanggilmu."
Klik.
Sambungan terputus.
Raden Wijaya bersandar di kursinya, menyadari satu hal: pertarungan ini baru saja dimulai.
Di sebuah ruangan luas dengan jendela yang menghadap langsung ke pusat Kota Sentral Raya, Wali Kota duduk di balik meja kayu mahalnya. Di depannya, seorang pria berjas hitam berdiri dengan tangan bersedekap. Tatapannya tajam, penuh ketenangan yang berbahaya.
Telepon yang tadi ia gunakan untuk berbicara dengan Raden Wijaya kini sudah tergeletak di meja. Wajahnya tetap datar, tetapi matanya menunjukkan bahwa ia sedang berpikir keras.
"Adharma..." gumamnya pelan.
Pria berjas hitam di depannya menyipitkan mata. "Kau tampak gelisah."
"Bukan gelisah," jawab wali kota dengan suara dingin. "Aku hanya tak menyangka bahwa seseorang yang seharusnya sudah mati kini menjadi ancaman terbesar bagi kita."
Pria itu menyeringai. "Tak ada yang benar-benar mati sebelum kau melihat mayatnya hancur berkeping-keping."
Wali kota menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu menatap pria itu dengan penuh makna. "Itu sebabnya aku memanggilmu."
Pria itu mengangguk. "Aku tahu tugas ini tidak bisa diserahkan pada pasukanmu yang tidak kompeten. Aku akan mengurusnya."
"Bagus. Aku tidak ingin ada kesalahan lagi."
Pria itu berbalik, berjalan menuju pintu, lalu berhenti sejenak. "Aku akan memburu Adharma. Dan aku akan pastikan kali ini dia benar-benar mati."
Klik!
Pintu tertutup.
Wali Kota Sentral Raya tersenyum tipis. Ia tahu, badai akan segera datang.
Bersambung...