Ariana selalu percaya bahwa hidup adalah tentang menjalani hari sebaik mungkin. Namun, apa yang terjadi jika waktu yang dimiliki tak lagi panjang? Dia bukan takut mati—dia hanya takut dilupakan, takut meninggalkan dunia tanpa jejak yang berarti.
Dewa tidak pernah berpikir akan jatuh cinta di tempat seperti ini, rumah sakit. Baginya, cinta harusnya penuh petualangan dan kebebasan. Namun, Ariana mengubah segalanya. Dalam tatapan matanya, Dewa melihat dunia yang lebih indah, lebih tulus, meski dipenuhi keterbatasan.
Dan di sinilah kisah mereka dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azra amalina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ariana Meminta Kepada Dokter untuk Melakukan Rawat Jalan
Keesokan paginya, saat dokter datang untuk mengecek kondisinya, Ariana sudah menunggu dengan wajah serius. Alana, Dewa, dan Bang Ardan juga ada di ruangan, memperhatikan dengan cemas.
Dokter membaca hasil pemeriksaan terakhir, lalu menghela napas pelan. “Ariana, kondisimu masih belum stabil. Kami sangat menyarankan agar kau tetap dirawat di rumah sakit untuk pemantauan lebih lanjut.”
Ariana menggigit bibirnya sebentar, lalu menatap dokter dengan penuh tekad. “Dok, aku ingin meminta sesuatu.”
Dokter mengangkat alisnya. “Apa itu?”
Ariana menarik napas dalam. “Aku ingin melakukan rawat jalan.”
Semua orang di ruangan terdiam.
Dewa menatap Ariana dengan mata melebar. “Ariana, kau tidak boleh memaksakan diri.”
Bang Ardan menimpali, “Dokter bilang kau butuh pemantauan intensif.”
Namun, Ariana tetap mempertahankan tekadnya. “Aku tahu risikonya, tapi aku ingin menghabiskan sisa waktuku di luar rumah sakit. Aku ingin berada di rumah, bersama keluarga, bersama orang-orang yang aku cintai.”
Dokter menatap Ariana lama, lalu melirik ke arah keluarganya. “Ini bukan keputusan yang mudah. Jika terjadi sesuatu, perawatan darurat akan sulit dilakukan.”
Ariana mengangguk pelan. “Aku sudah memikirkan semuanya. Aku janji akan menjaga kondisiku, meminum obat dengan teratur, dan rutin melakukan kontrol. Aku hanya… tidak ingin menghabiskan hari-hariku dengan hanya melihat dinding putih rumah sakit.”
Alana menggenggam tangan Ariana, matanya berkaca-kaca. “Apa ini benar-benar yang kau inginkan?”
Ariana menoleh ke saudari kembarnya, lalu tersenyum. “Ya. Aku ingin menikmati waktu yang tersisa dengan lebih bebas.”
Dokter masih terlihat ragu, namun melihat tekad kuat di mata Ariana, ia akhirnya menghela napas. “Baiklah, aku akan berdiskusi dengan tim medis dan keluargamu. Jika semua setuju, kita bisa mempertimbangkan rawat jalan. Tapi ingat, ini berarti tanggung jawab besar.”
Ariana tersenyum lega. “Terima kasih, Dok.”
Dewa masih terlihat khawatir, tapi ia tahu ini adalah keinginan terbesar Ariana. Bang Ardan mengusap wajahnya, masih sulit menerima keputusan ini, namun akhirnya ia mengangguk.
Keputusan telah dibuat. Ariana akan pulang. Dan semua orang berjanji untuk menjaganya sebaik mungkin.
...****************...
Malam itu, Ariana tampak lebih ceria dari biasanya. Setelah seharian beristirahat di rumah, ia mendadak meminta sesuatu yang membuat semua orang terkejut.
“Aku ingin makan malam di luar,” ucapnya tiba-tiba saat semua orang berkumpul di ruang keluarga.
Semua mata langsung tertuju padanya. Dewa, Alana, Bang Ardan, serta kedua orang tua mereka terdiam sesaat.
“Ariana, kau yakin? Kondisimu belum sepenuhnya pulih,” kata ibunya khawatir.
Ariana tersenyum lembut. “Aku merasa lebih baik, Bu. Lagi pula, aku ingin menghabiskan waktu bersama keluarga. Kapan lagi kita bisa makan bersama seperti ini?”
Ayahnya menghela napas, lalu mengangguk. “Baiklah, kalau itu yang kau inginkan. Tapi jangan terlalu lama, ya?”
Dewa langsung menghubungi keluarganya, dan mereka pun setuju untuk ikut. Bahkan, Ezra dan Rangga juga diajak untuk meramaikan suasana.
---
Suasana di Restoran
Mereka memilih restoran dengan suasana yang nyaman, tidak terlalu ramai agar Ariana tetap merasa tenang. Lampu-lampu hangat menerangi ruangan, menciptakan suasana yang akrab dan menyenangkan.
Ariana duduk di tengah, diapit oleh Dewa dan Alana. Sementara itu, Bang Ardan, kedua orang tua mereka, serta keluarga Dewa duduk mengelilingi meja panjang. Ezra dan Rangga, seperti biasa, membawa energi ceria yang membuat suasana semakin hidup.
“Akhirnya kita bisa makan bersama seperti ini,” ujar Nayla, adik Dewa, dengan senyum lebar.
Ezra tertawa sambil menyentuh perutnya. “Yang penting kita makan enak malam ini!”
Ariana tertawa kecil. “Ezra, kau selalu memikirkan makanan.”
Makanan pun datang, dan mereka mulai menyantap hidangan dengan penuh kebersamaan. Sesekali Dewa menyodokkan makanan ke piring Ariana, memastikan ia makan cukup.
“Dewa, aku masih bisa makan sendiri,” protes Ariana sambil tersenyum.
Dewa mengangkat bahu. “Aku tahu, tapi aku hanya ingin memastikan kau makan dengan baik.”
Alana yang melihat interaksi mereka hanya tersenyum tipis. Ia mulai mengerti mengapa saudari kembarnya begitu mencintai Dewa.
Malam itu dipenuhi dengan tawa, cerita, dan kebahagiaan. Sejenak, mereka melupakan segala kecemasan tentang penyakit Ariana.
Di akhir makan malam, Ariana memandang semua orang dengan mata berbinar. “Terima kasih sudah memenuhi permintaanku. Malam ini aku benar-benar bahagia.”
Dewa menatapnya penuh kasih. “Kau selalu pantas mendapatkan kebahagiaan, Ariana.”
Dan malam itu, semua orang berharap kebahagiaan ini bisa bertahan lebih lama.
...****************...
Suasana di restoran semakin hangat seiring berjalannya waktu. Meja panjang yang dipenuhi hidangan lezat kini juga dipenuhi dengan tawa dan cerita. Ariana duduk di tengah, menikmati setiap momen bersama keluarganya, keluarga Dewa, serta Ezra dan Rangga yang selalu berhasil mencairkan suasana.
“Jadi, Nayla sekarang sudah kelas berapa?” tanya Bang Ardan sambil menyendokkan sup ke mangkuknya.
Nayla, adik Dewa, tersenyum cerah. “Aku sudah kelas dua SMA, Bang.”
Ezra tertawa kecil. “Wah, sebentar lagi kuliah, ya? Siap-siap ditinggal sibuk sendiri!”
Nayla mengerucutkan bibirnya. “Yah, kakakku sudah lebih dulu sibuk, sih.” Ia melirik ke arah Dewa dengan tatapan jahil. “Apalagi sekarang sibuk menjaga seseorang.”
Ariana tertawa mendengar sindiran itu. “Siapa pun yang dijaga Dewa pasti beruntung.”
Dewa mengangkat alis. “Aku merasa baru saja dijadikan bahan lelucon.”
Rangga, yang sejak tadi hanya mendengarkan, menimpali. “Bukan merasa lagi, Bro. Itu fakta.”
Semua tertawa. Malam itu terasa begitu ringan, seolah tidak ada beban atau kesedihan.
Ayah Ariana kemudian menatap ke arah Dewa. “Dewa, bagaimana pekerjaanmu di kantor ayahmu? Sudah mulai terbiasa?”
Dewa mengangguk. “Masih beradaptasi, Om. Tapi, aku mulai mengerti ritmenya. Berkat Ezra dan Rangga juga, pekerjaan terasa lebih mudah.”
Ayah Dewa tersenyum bangga. “Bagus, Dewa. Aku tahu ini bukan hal yang mudah, tapi aku yakin kau bisa.”
Ariana menatap Dewa dengan bangga. “Aku juga yakin. Kau selalu bisa menghadapi apa pun, Dewa.”
Dewa menatap Ariana, lalu tersenyum. “Aku hanya ingin memastikan bahwa orang-orang yang kusayangi tidak kekurangan apa pun.”
Ezra berdeham. “Dewa ini sebenarnya sangat romantis, hanya saja terlalu serius.”
Rangga tertawa. “Setuju. Kalau saja dia sedikit lebih santai, mungkin hidupnya lebih berwarna.”
Dewa menggeleng sambil tersenyum. “Sudah-sudah, aku bukan topik utama di sini.”
Alana, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. “Aku senang bisa berada di sini. Rasanya… seperti keluarga yang selama ini kurindukan.”
Semua terdiam sejenak, lalu Bang Ardan tersenyum hangat. “Alana, mulai sekarang kau tidak perlu merasa sendiri lagi. Kau adalah bagian dari keluarga ini.”
Ariana menggenggam tangan Alana. “Benar. Aku ingin kita menghabiskan lebih banyak waktu bersama.”
Alana menahan air matanya yang hampir jatuh. Malam itu, ia merasa benar-benar diterima.
Obrolan terus mengalir, dari cerita masa kecil hingga impian masing-masing. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi esok hari, tapi malam itu, mereka semua menikmati kebersamaan yang hangat dan penuh kebahagiaan.
...****************...
Setelah menikmati hidangan yang lezat dan obrolan yang penuh kehangatan, mereka akhirnya menyelesaikan makan malam. Beberapa pelayan datang untuk merapikan meja, sementara keluarga Ariana, keluarga Dewa, serta Ezra dan Rangga mulai bersiap untuk pulang.
“Malam ini benar-benar menyenangkan,” ujar Ariana sambil merentangkan tangannya sedikit, wajahnya penuh kebahagiaan.
Dewa menatapnya dengan lembut. “Aku senang melihatmu tersenyum seperti ini.”
Ayah Ariana menepuk bahu Bang Ardan. “Ayo, kita pulang. Jangan sampai Ariana kelelahan.”
Mereka semua kemudian berjalan keluar restoran. Udara malam terasa sejuk, langit dihiasi bintang-bintang yang berkelap-kelip.
Di parkiran, Ezra dan Rangga berdebat kecil tentang siapa yang akan mengemudi.
“Kau sudah makan terlalu banyak, Ezra. Aku saja yang menyetir,” kata Rangga sambil mengambil kunci mobil.
Ezra mendengus. “Bilang saja kau tidak percaya dengan keahlianku.”
Semua tertawa mendengar celotehan mereka.
Ariana berdiri di samping mobil Dewa, menghirup udara malam dalam-dalam. Ia memejamkan mata sejenak, menikmati momen itu.
Alana, yang berdiri di sebelahnya, tersenyum. “Apa yang kau pikirkan?”
Ariana membuka matanya dan menoleh ke arah saudari kembarnya. “Aku hanya ingin mengingat malam ini. Aku ingin menyimpannya dalam hati.”
Dewa, yang mendengar itu, mendekat. “Kita bisa membuat lebih banyak kenangan seperti ini, Ariana.”
Ariana tersenyum lembut. “Aku berharap begitu.”
Setelah memastikan semua siap, mereka pun masuk ke dalam mobil masing-masing dan berangkat pulang.
Dalam perjalanan, Ariana bersandar di jendela, melihat pemandangan kota di malam hari. Cahaya lampu jalan berpendar, memberikan ketenangan dalam hatinya.
Dewa, yang menyetir di sampingnya, melirik sekilas. “Kau lelah?”
Ariana menggeleng pelan. “Tidak, aku hanya merasa… bahagia.”
Dewa tersenyum. “Itu yang terpenting.”
Mobil terus melaju di jalan yang lengang, membawa mereka pulang setelah malam yang penuh kebersamaan dan kebahagiaan. Mungkin mereka tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari, tetapi malam ini, semuanya terasa sempurna.
...****************...
Setelah perjalanan yang cukup tenang, mereka akhirnya sampai di rumah. Semua orang mulai masuk, merasa sedikit lelah setelah makan malam yang menyenangkan. Ayah dan ibu Ariana langsung menuju kamar mereka, sementara Bang Ardan memastikan semua pintu terkunci dengan baik.
Di kamar, Ariana duduk di tepi ranjang sambil melepas syal yang melingkar di lehernya. Alana, yang masih merasa asing dengan rumah ini, berdiri di dekat pintu dengan sedikit ragu.
Ariana menoleh dan tersenyum. “Alana, kau mau tidur sendiri atau tidur bersamaku?”
Alana terdiam sejenak, menimbang jawabannya. Ia memang sudah terbiasa tidur sendiri di rumah orang tua angkatnya, tapi kali ini berbeda. Ada rasa hangat yang ia rasakan sejak bertemu keluarganya, terutama Ariana.
“Aku…” Alana melangkah mendekat, lalu tersenyum kecil. “Bolehkah aku tidur bersamamu malam ini?”
Ariana tertawa pelan dan meraih tangan saudari kembarnya. “Tentu saja. Aku juga ingin menghabiskan lebih banyak waktu denganmu.”
Alana duduk di sisi ranjang, merasa nyaman. “Terima kasih, Ariana.”
Ariana menggenggam tangan Alana erat. “Kita telah berpisah begitu lama. Aku ingin menikmati setiap momen bersamamu.”
Alana mengangguk setuju. Malam itu, mereka tidur berdampingan, menikmati kehangatan sebagai saudari kembar yang akhirnya dipertemukan kembali.
...****************...
Telepon dari Ibu Sambung Alana
Saat Ariana mulai memejamkan mata, suara getaran ponsel memecah keheningan kamar. Alana, yang masih terjaga, meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja kecil di samping ranjang. Di layar, tertera nama ‘Ibu’—ibu sambung yang telah merawatnya sejak kecil.
Dengan hati-hati, Alana bangkit dari tempat tidur agar tidak membangunkan Ariana. Ia berjalan ke balkon dan menjawab telepon itu.
“Halo, Bu?” suaranya sedikit berbisik.
Dari seberang, terdengar suara lembut namun sedikit cemas. “Alana, bagaimana keadaanmu? Kami sangat merindukanmu.”
Alana tersenyum tipis. “Aku baik-baik saja, Bu. Aku senang di sini.”
Ibunya terdiam sejenak, lalu berkata, “Ibu senang mendengarnya. Tapi, jangan terlalu memaksakan diri, ya? Ini pasti bukan hal yang mudah bagimu.”
Alana mengangguk pelan, meskipun tahu ibunya tidak bisa melihatnya. “Awalnya terasa aneh, Bu. Tapi aku mulai merasa nyaman. Mereka menerimaku dengan sangat baik.”
Ibunya menghela napas lega. “Itu bagus. Kau tahu, tidak peduli di mana pun kau berada, kau tetap anak ibu. Jika kau merasa rindu atau butuh sesuatu, jangan ragu untuk menelepon, ya?”
Alana menggigit bibirnya, menahan emosi yang tiba-tiba muncul. “Terima kasih, Bu. Aku sangat beruntung memiliki dua keluarga yang begitu menyayangiku.”
Dari dalam kamar, Ariana menggeliat pelan, membuat Alana menoleh.
“Ibu, aku harus masuk. Nanti kita bicara lagi, ya?”
“Baiklah, Nak. Jaga dirimu.”
Alana menutup telepon, menarik napas dalam sebelum kembali ke kamar. Ia menatap Ariana yang sudah tertidur pulas, lalu berbaring di sampingnya.
Malam itu, Alana menyadari satu hal—hatinya kini memiliki dua rumah.
...****************...
Bang Ardan Menghibur Alana
Pagi masih begitu tenang ketika Alana duduk di balkon sendirian, memeluk lututnya sambil menatap langit yang mulai terang. Wajahnya terlihat sedikit sendu, pikirannya melayang jauh ke tempat lain. Ia merindukan keluarga sambungnya.
Bang Ardan, yang baru saja keluar dari kamarnya, melihat adiknya di balkon. Ia menghela napas kecil sebelum mendekat dan duduk di samping Alana.
“Kenapa melamun pagi-pagi begini?” tanyanya dengan nada lembut.
Alana tersenyum tipis, tapi jelas ada kegelisahan di matanya. “Aku hanya… sedikit rindu rumah.”
Bang Ardan mengangguk pelan. “Itu wajar, Alana. Mereka sudah menjadi bagian dari hidupmu selama bertahun-tahun.”
Alana menatap jemarinya sendiri. “Aku senang bisa bertemu kalian semua. Tapi, ada bagian dari diriku yang tetap merasa… kehilangan.”
Bang Ardan menepuk pundaknya dengan lembut. “Tidak apa-apa. Kau tidak perlu memilih salah satu dari kami. Mereka keluargamu, dan kami juga keluargamu.”
Alana menghela napas. “Aku takut mereka merasa aku mulai menjauh.”
Bang Ardan tersenyum hangat. “Tidak ada yang akan merasa kehilanganmu, selama kau tetap menjaga hubungan dengan mereka.”
Alana terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Mungkin aku bisa menelepon mereka lebih sering.”
Bang Ardan mengacak rambut adiknya pelan. “Itu ide yang bagus. Lagipula, kau sekarang punya dua rumah. Dua tempat untuk kembali.”
Alana menatap Bang Ardan dan akhirnya tersenyum lebih lebar. “Terima kasih, Bang.”
Bang Ardan tertawa kecil. “Sudah, ayo sarapan. Sebelum Ariana mengomel karena kita terlambat makan.”
Alana mengangguk dan berdiri. Rasa rindunya memang belum sepenuhnya hilang, tapi kini hatinya terasa lebih ringan. Ia menyadari bahwa memiliki dua keluarga bukanlah kehilangan, melainkan anugerah.