“DASAR WANITA PEMBAWA SIAL KAU, DHIEN! Karena mu, putraku meninggal! Malang betul hidupnya menikahi wanita penyakitan macam Mamak kau tu, yang hanya bisa menyusahkan saja!”
Sejatinya seorang nenek pasti menyayangi cucunya, tetapi tidak dengan neneknya Dhien, dia begitu membenci darah daging anaknya sendiri.
Bahkan hendak menjodohkan wanita malang itu dengan Pria pemabuk, Penjudi, dan Pemburu selangkangan.
"Bila suatu hari nanti sukses telah tergenggam, orang pertama yang akan ku tendang adalah kalian! Sampai Tersungkur, Terjungkal dan bahkan Terguling-guling pun tak kan pernah ku merasa kasihan!" Janji Dhien pada mereka si pemberi luka.
Mampukah seseorang yang hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama itu meraih sukses nya?
Berhasilkah dia membalas rasa sakit hatinya?
Sequel dari ~ AKU YANG KALIAN CAMPAKKAN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
E ~ Bab 16
Terbentuknya Trio Cebol.
......................
“Ninik, Tia izin petik buah jeruknya ya?”
“Masya Allah, ternyata yang datang ... gadis Sholehah, cantik, baik hati, kalem. Petik saja Tia! Se pohon-pohonya pun boleh, bila Meutia mau bawa pulang!”
“Is Ninik, Tia jadi malu dipuji selengkap tu. Tapi, memang betul kalau diri ini nyaris sempurna tak ada cela. Ini Tia ambilnya tak banyak kok, cuma satu karung saja ... biar sekalian dijual buat tambahan uang jajan!”
“Tak apa. Petik saja, Tia! Jangan sungkan-sungkan!”
“Alhamdulillah … ayok wee! Sudah diizinkan ni!”
Meutia membuka pagar dari kayu, masuk begitu saja setelah berdialog dengan dirinya sendiri.
Ayek menatap aneh pada sosok wanita yang sudah lebih dulu memilih buah jeruk hendak dipetik.
“Kita betulan tak salah pilih guru ‘kan? Mengapa yang satu ni, ada senget-sengetnya (miring)?” bisiknya begitu pelan.
“Tak tahu lah, lagipula sudah terlanjur juga! Lebih baik kita diam saja, daripada nanti disuruh-suruh nya lagi!” Danang menyahut, lalu ikut masuk ke perkebunan jeruk berbuah lebat.
“Lama-lama darah tinggi aku dibuat Meutia, Mala. Mau ditinggal kasihan, tapi bila di bawak bikin naik pitam!” Dhien memilih berjalan masuk ke bagian tengah di mana ada bangunan rumah panggung.
“Sepertinya Ninik dan Aki sedang tak ada dirumah, Dhien!” Mala memperhatikan pintu yang tertutup rapat, mereka memilih duduk pada undakan anak tangga.
“Palingan ke Desa sebelah, kita tunggu saja! Lagipula badan si paok Meutia dan para Kurcaci, masih basah.”
Tidak seberapa lama, terdengar suara motor memasuki pekarangan depan, sosok yang dinanti pun datang dengan mengendarai motor Astrea.
“Sudah lama, atau baru datang?” tanya wanita bersarung, baju kurung dan mengenakan songkok, umurnya kira-kira 40 tahunan.
“Baru saja, Nik!” Dhien berdiri serta menghampiri pasangan suami istri itu, membantu menurunkan goni yang diletakkan pada bagian tengah motor.
“Sepertinya saya mendengar suara si biang rusuh, apa nya ikut serta, Dhien?” tanya Aki, yang mengenakan celana bahan, kemeja serta peci. Umurnya juga sepantaran dengan sang istri.
“Sedang panen jeruk nya, tadi sudah izin dengan jin Qorin nya Aki dan Ninik.”
Sepasang suami istri itu hanya menggeleng kepala saja. Bila tentang Meutia tidak ada yang bisa mereka katakan, selain harus banyak-banyak beristighfar.
“Kalian sudah makan belum?”
“Belum, Nik!” jawab Dhien tidak malu, karena memang perutnya sangat lapar. Sedari pagi dirinya belum ada makan apapun, selain menelan air ludah.
“Mala!” Ninik memanggil salah satu muridnya. “Ini ada banyak nasi dari syukuran di Desa tetangga, bisa tak kau goreng?”
Mala mengambil ceting (bakul) nasi yang dibungkus plastik. “Hendak digoreng semua ni, Nik?”
“Iya. untuk bumbunya, cari saja di dapur serta halaman.”
"Bentar ... ku panggil dulu mereka! Biar ada gunanya, tak cuma merusuh saja bisanya!” Dhien berjalan mendekati barisan pohon jeruk manis berbuah lebat.
“Meutia! Kurcaci! Sini kalian!”
Munculnya sosok yang dipanggil, baju Meutia yang sudah setengah kering itu, penuh oleh buah jeruk, ciplukan. Ayek sendiri memegang satu janjang buah salak Sidempuan, sedangkan Rizal dan Danang bersama-sama membawa satu janjang kelapa muda.
“Tak tanggung-tanggung ya kalian merampok hasil bumi!” Dhien berkacak pinggang.
“Daripada Kak Dhien petantang-petenteng macam tukang palak, tolong gelar tikar di sini! Berat kali beban bawaan Tia, ni!” Meutia menghela napas panjang.
Bukan Dhien yang maju, tetapi Amala. Karena dia tahu pasti bakalan panjang ceritanya nanti. Mala menggelar tikar pandan di halaman rumah guru karate mereka.
“Ninik, Aki … Alhamdulillah, Meutia tak rindu kalian! Cuma kangen petik buah saja.” Setelah meletakkan barangnya, Meutia mendekati gurunya.
“Kapan kau hendak latihan lagi, Tia?” tanya Aki seraya melinting daun tembakau.
“Jangan merokok Ki, nanti cepat dipanggil Yang Maha Kuasa! Kan, Tia juga yang merugi … tak dapat menikmati hasil panen lagi!”
“Astagfirullah.” Aki pun tidak jadi menghisap rokoknya.
“Tak mau Tia latihan lagi, sia-sia saja rasanya. Capek badan ni, tetap gagal membanting Kak Dhien! Malah awak yang dibantai nya terus!” Meutia duduk di tanah bawah rumah panggung.
“Niat kau karate tu, ingin memiliki ilmu bela diri agar bisa menjaga diri sendiri, atau melawan orang yang tak kau sukai, apa hanya sekedar ajang pamer, Tia?”
“Ketiganya benar, Ki!”
“Terserah kau, Tia!” Aki pergi menjauhi sosok gadis yang sering membuatnya menghela napas panjang.
“Wee para Kurcaci!" Dhien kembali berteriak.
"Janganlah panggil Kurcaci, Kak! Kami tak sekecil tu, lagipula belum juga tua dan berjenggot!” Ayek mengajukan protes, dia tidak suka dengan julukan kurcaci.
“Betul tu, Kak! Yang di buku cerita kan, Kurcaci tu sudah tua, jenggotnya pun panjangnya hampir mencapai tanah, mana keriput lagi kulitnya. Yang lain lah Kak!” Rizal ikut menimpali.
"Trio Cebol saja kalau macam tu! Cocok dengan kalian! Kecil, kurus, pendek, mana yang satu masih ngompeng lagi!” Meutia memberikan usul.
"Boleh lah, walaupun tetap jelek namanya!” sahut mereka dengan nada lesu.
"Apa? Hendak protes? Tak terima?!” Dhien menatap galak.
“Tak, kami menerimanya guru, Dhien! Terima kasih banyak atas nama indahnya!” Ayek menunduk hormat dengan diikuti lainnya, sedangkan Meutia dan Dhien sudah menahan tawa.
“Rizal, kau pergi ke kandang Ayam, ambil telur didalam tarangan (tempat Ayam bertelur)!” titah Dhien.
“Tapi, Kak. Kalau nanti awak diterkam induknya macam mana?”
“Ya tinggal lari, macam tu saja kau tak tahu!” timpal Meutia.
“Ayek. Kau petik daun seledri yang masih segar dan gemuk-gemuk! Terus, petik juga cabai rawit satu genggam!”
“Tapi, nanti telapak tanganku panas bila menggenggam cabai, Kak!” tolak Ayek, yang memang malas berurusan dengan bumbu pedas itu.
“Baru panas di tangan saja, sudah mengeluh kau! Macam mana bila Burung mu yang cabean? Pasti langsung menangis sambil mengompeng!” cibir Meutia, yang berdiri di dekat Dhien.
“Ini Kak!” Danang memberikan arang bekas kayu bakar, dan sobekan kardus mie, serta bambu kecil lumayan panjang yang sudah dibelah bagian ujungnya.
Bergegas Meutia menulis; SAMSON SEKARAT, BUTUH TINDAKAN DARURAT! TOLONG ANGKUT PELAN-PELAN, JANGAN SAMPAI NYA TAMBAH KESAKITAN!!!
“Kau lari lah ke tempat di mana Samson pingsan! Terus tancapkan bambu ini di tanah! Setelahnya segera berlari lagi kesini!” titah Meutia, biasanya pada waktu sore hari, pickup ataupun truck abangnya pasti ada melintasi wilayah Pertanian.
“Laa .. terus tugas Kak Meutia apa?” protes Ayek, dia masih belum melakukan bagiannya.
“Menyuruh kalian tu juga termasuk sebuah tugas! Tak nya kalian tengok, sedari tadi mulutku komat-kamit terus?!”
Begitulah hari itu dihabiskan dengan perdebatan, kebersamaan, serta kehangatan, satu bakul nasi goreng sederhana mereka santap ramai-ramai.
.
.
Dhien pulang ke rumahnya dengan jalan kaki sambil mendekap plastik di dada. Netranya memicing, dengan bibir tersenyum muak, menatap para titisan Fir'aun sudah menunggu nya di depan teras rumah.
“Ya ampun! Baru sehari nikah, sudah jadi Janda. Pasti anak dalam kandungan mu tu bukan milik si Fikar, makanya langsung diceraikan dirimu! Benar begitu ‘kan, Dhien?” Winda menghadang langkah sepupunya.
“Betul, Win. Ini anak Bapak kau! Siap-siap ya punya Mamak tiri macam aku. Harap waspada, agar tak mati sia-sia!” Dhien begitu tenang menghadapi sepupunya.
“Kau!” Winda menuding wajah Dhien, hatinya begitu meradang.
“Apa? Ck … beraninya cuma main keroyokan, bersembunyi di balik punggung Nenek titisan Fir'aun! Kalau bernyali, sini lawan aku!” Dhien menggulung lengan baju panjangnya, menjatuhkan plastik di atas tanah, dia maju mengikis jarak.
"Mau apa kau, Dhien ..?!"
.
.
“Dhien! Kembalikan surat pembelian tanah yang tempo hari kau rebut paksa!” Nek Blet, berteriak nyaring.
“Rumah ni, sudah saya beli!”
.
.
Bersambung.
brulah apalgi biar prasaanmu senang?
coba klo terima lamaran s ikram,,bnyak cara brbuat ulh sma nya,krna ikram mau aja kau buat apapun.../Joyful/
/Facepalm//Facepalm//Facepalm/trio cebol koplak
Zikri ikutin saran Bang Agam dalam meraih pujaan hatinya🤭😁😁
Meutia dan trio cebol kalian jangan buat ulah, ya🤣🤣🤣