Dia meninggal tapi menghantui istri ku.
Ku genggam tangan Dias yang terasa dingin dan Bergetar. Wajahnya pucat pasi dengan keringat membasahi anak rambut di wajahnya. Mulutnya terbuka menahan sakit yang luar biasa, sekalinya menarik nafas darah mengucur dari luka mengangga di bagian ulu hati.
"Bertahanlah Dias." ucapku.
Dia menggeleng, menarik nafas yang tersengal-sengal, lalu berkata dengan susah payah. "Eva."
Tubuhnya yang menegang kini melemas seiring dengan hembusan nafas terakhir.
Aku tercekat memandangi wajah sahabat ku dengan rasa yang berkecamuk hebat.
Mengapa Dias menyebut nama istriku diakhir nafasnya?
Apa hubungannya kematian Dias dengan istriku, Eva?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Selamat
Dias ikut bersamaku, tetap saja tidak membuat kami terhindar dari bahaya. Berlari melewati jalur yang sulit mengikuti sosok dias yang tak tergores oleh ranting dan rumput tajam, tentu ini menyulitkan mengingat kami manusia biasa. Terlebih lagi ketika cahaya matahari menelusup masuk melalui celah dedaunan, sosok Dias malah menghilang.
"Kita ke arah mana Li?" tanyaku bingung, mbok Yem pun sudah terengah-engah, sesekali memijat kakinya.
"Bismillah, kita lurus saja Mas." kata Zalli.
Baru saja kami berjalan, tiga orang pria menghadang kami dengan golok mengkilap.
Merasa tak yakin akan bisa berhadapan dengan mereka, namun apalah daya mati dalam keadaan pasrah sungguh bukan sebuah pilihan.
Akhirnya kami melawan, namun apalah daya kalah tenaga dan kalah jumlah. Aku harus menelan kenyataan kalau adik ipar ku tumbang tak bergerak dengan banyak luka mengenaskan di sekujur tubuhnya.
"Zalli...." lirihku, menoleh pula pada mbok Yem, perempuan tua itu sudah tergolek tak berdaya entah mati atau pingsan. Kini tinggal aku dan Seina yang mulai menangis.
"Hahaha!" mereka tertawa mendekati aku yang mulai gentar, bagaimana aku melawan mereka?
Aku memilih berlari kembali ke belakang, karena ke arah lain aku tak memiliki jejak, semak ini begitu padat.
"Kau tak akan bisa lari." pria itu mengejar.
"Ya Allah, tolong." ucapku, tak ada pilihan selain berlari sedangkan Seina menangis semakin kencang.
Hingga salah satu pria itu berhasil menarik Seina, aku pun ikut terhuyung ke belakang, beruntung kain pengikat cukup kuat.
"Ibuuu..." Seina menangis sambil memanggil istriku.
"Tugasku akan selesai." ucap pria itu menyeringai, satu pria lainnya pun ikut mendekat dengan mengayun-ayunkan goloknya.
"Tolonglah, jangan membunuh anakku." kataku memohon, namun suara derai tawa keras langsung terdengar mengerikan dari kedua pria di hadapanku.
"Tenang saja, kau tidak akan melihat kematian anakmu." salah satunya berkata sambil menertawai ku.
Pria itu mendekat, mengangkat goloknya yang mengkilap itu, mengayun ke arah samping bersiap menebas kepalaku.
"Tidak, jangaaann!!!"
"Aaaaarghhh."
Tak jadi, dia tidak jadi menebas kepalaku tapi di kejutkan oleh suara teriakan keras dari belakang mereka.
Pria itu meninggalkan aku, melihat temannya yang tertinggal di belakang.
"Sial!" dia mengumpat kesal.
"Siapa yang berani menghabisi adikku hah!" pria itu menebaskan pisaunya sembarang arah.
Seorang yang mengawasiku juga melihat kebelakang, bingung mendengar temannya yang lain sudah terbunuh. Aneh memang.
"Pengecut! Keluarlah!" teriak pria itu seperti orang kebingungan.
Merasa di permainkan, dia menendang pohon besar di dekatnya, menebaskan golok juga hingga menancap. "Sial!" dia mengumpat, kesulitan menarik pisau yang terjebak pada batang kayu tersebut.
Sumpah serapah terus keluar dari mulutnya, namun hal tak terduga dahan kering lumayan besar jatuh menimpa kepalanya.
"Aaarghhh!" dia mengerang langsung menutup mata.
"Hah!" Pria yang mengawasi ku itu juga sangat terkejut, dia mantap ragu padaku, antara ingin menghabisi atau_
"Bugh!" tiba-tiba sebuah hantaman mendarat di punggung pria itu.
Seorang laki-laki berjalan terhuyung membawa sepotong kayu memukul pria yang masih memegang golok itu.
"Kurang ajar!" teriak pria itu, menatap nanar laki-laki yang masih berdiri dengan sepotong kayu.
"Mereka berkelahi dengan tak seimbang, aku beranjak mencari apa saja yang bisa aku gunakan untuk menolong pria yang aku kenal, dia Hanif.
Namun aku kalah telak, pria itu juga tak melepaskan ku, menendang ku hingga terjerembab, ku pastikan kaki Seina juga sakit sehingga anakku menjerit.
Hanif memukuli pria itu dari belakang hingga tersungkur, keduanya bergulat saling ingin membunuh namun Hanif lupa, pria itu memiliki golok dan langsung menancap di perut sahabatku.
"Hanif!" Baru saja aku mengangkat batu besar untuk memukul kepala pria itu, malah Hanif sudah di tusuk duluan.
Bugh!
Tak urung jua, aku memukul kepala pria itu dengan batu, Alhamdulillah, atau innalilahi, dia mati, tapi Hanif juga tak tertolong lagi.
"Nif!" lirihku, membalikkan tubuh sahabatku itu, memangkunya.
"Rena, Rena." ucapnya, sangat lirih nyaris tak terdengar.
"Maafkan aku Nif, maafkan aku, ini salahku." aku menangis tergugu bersahut-sahutan dengan tangisnya Seina yang tak kalah memilukan.
"Harusnya kamu tidak mendatangi tempat ini Nif!" sesalku.
Sudah tahu percuma menggoncang tubuhnya, tapi aku berharap dia masih menjawab panggilanku. Hanif sahabat setiaku, dia sahabat terbaik selain Dias.
Dua sahabatku meregang nyawa di depan mata, manusia seperti apa aku ini. Tak berguna, pembawa sial? Aku terus mengumpat diri sendiri sambil menangisi kepergian Hanif.
"Hanif." aku memeluknya sangat erat untuk terakhir kali, karena aku tidak mungkin membawanya dari sini, aku tidak akan mampu.
"Kebakaran! Kebakaran!"
Teriakan nyaring terdengar dari kejauhan, ku lepaskan Hanif di semak yang penuh darah. Aku berdiri sambil mengusap air mataku, mencoba menatap sekitar hutan mengerikan ini.
Memeluk Seina, menggendongnya di depan sambil berlari, mata pun awas menatap dedaunan di atas kepala sudah di penuhi asap.
Akhirnya aku keluar dari hutan rimbun itu dan berganti semak yang terasa panas.
"Astaghfirullah, ya Allah." aku bergumam sambil terus berlari ke arah yang lapang, menghindari nyala api yang menutupi penglihatan seluas mata memandang.
Demi Allah pertolongan itu ada. Aku menangis dengan rasa bercampur aduk, memandang hamparan semak menyala hingga ke hutan tempat kami bertaruh nyawa. Habislah orang-orang jahat penuh rahasia di dalam sana.
Tiba-tiba teringat Istriku, apakah Eva baik-baik saja, "Lindungilah dia ya Allah."
Tak mau terlibat dalam kerumunan orang yang berusaha memutus rantai api, mereka membersihkan semak dan menjauhkan rerumputan dari batas pemukiman.
Aku memilih pulang ke rumah karena Seina pasti sangat lapar, sama seperti aku.
"Alhamdulillah." aku sampai di belakang rumahku yang tak berpagar, namun dari sini ku lihat rumahku tertutup rapat. Apakah ibu dan Andin tidak menungguku? Dimana mereka?
Namun rengekan seina yang parau membuatku tak lama berpikir, mencoba membuka pintu belakang untuk menemukan segelas air dan makanan.
"Tenanglah Nak." ucapku, sebuah linggis berkarat tergeletak di dekat kotak sampah. Di saat seperti ini benda ini sangat berguna.
Kraak!
Suara serpihan kayu terdengar lantang, rusak sudah pintu belakang.
Ku panaskan sedikit air galon untuk membuat susu. Akhirnya anakku berhenti menangis, sungguh dia sangat kelaparan.
Aku membuka koper diatas lemari, mengisi dengan pakaian ku dan Seina secukupnya. Tak lupa mencari keberadaan dompetku, syukurlah isinya masih ada.
Tak akan ku buat anakku berada diambang Kematian lagi. Ku bawa anak ku pergi setelah mengganti pakaian yang bersih. Sialnya, motorku tak ada, ponselku pun tak ada.
"Ah iya, aku punya ponsel lama." ku raih lalu segera pergi mencari angkot di depan sana.
"Ibu...ibuuu.." Seina kembali merengek.
"Tenanglah Nak." ucapku, memeluk Seina dengan erat, mengecup pipinya hingga dia tenang, melaju bersama mobil angkutan membelah jalanan.
Lusia.. lusiapa siih, sampe seenaknya aja mau bunuh orang kek bunuh nyamuk 🦟/Slight/
Lusia.. lusialan emang 🤭🏃♀️🏃♀️🏃♀️
hais jd tegang nieh a1 bacanya