"Kamu harus menikah dengan Seno!"
Alea tetap diam dengan wajah datarnya, ia tidak merespon ucapan pria paruh baya di depannya.
"Kenapa kamu hanya diam Alea Adeeva?"
hardiknya keras.
Alea mendongak. "Lalu aku harus apa selain diam, apa aku punya hak untuk menolak?"
***
Terlahir akibat kesalahan, membuat Alea Adeeva tersisihkan di tengah-tengah keluarga ayah kandungnya, keberadaannya seperti makhluk tak kasat mata dan hanya tampak ketika ia dibutuhkan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Favreaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6
Sudah dua hari Eyang Elaine bersantai di rumah sekembalinya ia dari rumah sakit. Ia di awasi ketat oleh Paman Emir agar tidak bertindak macam-macam lagi.
"Mom, aku akan kembali ke London minggu depan!"
Eyang Elaine melepas kacamata yang dikenakannya dan menatap Paman Emir tajam. "Enak saja kamu, tunggu Seno selesai menikah baru silahkan kamu kembali ke London, bahkan menetap di sana dan tidak pulang pun aku tidak peduli."
Wajah Paman Emir tertekuk masam. " Tidakkah terlalu lama, Mom?... Aku takut segala ide yang ada di kepalaku menguap sebelum tertuang menjadi sebuah karya."
"Ide-ide gundulmu itu!... Tidak ada kembali ke London!"
"Mommm," rengeknya.
Eyang memutar bola matanya jengah. "Pergi saja dan tidak usah kembali!"
"Benarkah?" tanya Paman Emir dengan wajah berbinar.
"Ya, tapi aku akan meminta Seno menghentikan jatah bulanan dari perusahaan untukmu. Aku yakin kamu belum bisa menghasilkan uang dari melukis," ancam Eyang Elaine disertai ejekan.
Paman Emir mendesah kecewa namun Eyang sama sekali tidak peduli. Netranya berulang kali menatap jam yang tergantung di dinding seolah tengah menunggu seseorang.
Suara langkah kaki juga kursi roda yang berjalan terdengar memasuki ruangan tempat Eyang Elaine dan Paman Emir berada. Dengan antusias Eyang Elaine beranjak dan menyambut kedatangan mereka.
"Akhirnya kamu datang juga, bagaimana?" Eyang Elaine langsung menodong Ilyas dengan pertanyaan begitu ia masuk, mengabaikan Seno dan sama sekali tidak menyapa cucunya itu.
Ilyas meraih tablet di tasnya lalu membaca catatan yang tertera di sana.
"Namanya Alea Adeeva, menempuh pendidikan di Universitas Bina Unggul di Jakarta. Jurusan akuntansi dan akan lulus setahun lagi," jelas Ilyas.
"Itu saja?" tanya Eyang Elaine tak puas.
"Masih ada informasi satu lagi yang masih saya ragukan kebenarannya, Eyang!"
"Katakan!"
"Di kampus tersebar berita bahwa dia adalah anak haram dari seorang pembantu yang menggoda majikannya. Setelah saya telusuri tempat tinggalnya, ternyata dia tinggal di kediaman keluarga Wicaksana. Dugaan saya dia adalah anak haram dari tuan Arkananta Wicaksana!" jelas Ilyas panjang lebar.
"Tidak ada yang namanya anak haram, Ilyas. Perbuatan orang tuanyalah yang disebut haram," sergah Eyang Elaine tak terima.
"Maaf, Eyang," ujar Ilyas merasa bersalah, ia lupa bahwa Eyang Elaine adalah orang yang bijak.
Eyang Elaine terdiam seolah tengah berpikir keras.
Seno yang sejak tadi memperhatikan dan mendengar obrolan keduanya tiba-tiba terkekeh dan bersuara dengan nada bicara mengejek. "Kenapa Eyang? ... Berubah pikiran, karena dia anak luar nikah?"
"Tidak!" jawab Eyang Elaine cepat dengan senyum menyeringai.
"Benarkah?... Tapi, aku melihat wajah Eyang di penuhi rasa keraguan!" ujar Seno yang masih berusaha memprovokasi Eyang Elaine untuk mengurungkan rencananya.
"Kamu masih muda tapi penglihatanmu sudah buram!" seru Eyang balas mengejek.
Seno mendengus. "Coba Eyang pikirkan lagi, apa kata publik dan keluarga besar Jenggala jika aku menikah dengan wanita yang tidak jelas asal-usulnya. Mereka pasti akan menertawakan dan mencemoohku seperti tidak ada wanita lain yang lebih masuk akal di dunia ini untuk menjadi istriku
Bibir Eyang Juwita mencebik. "Jangan berusaha membodohi Eyang, Seno. Eyang tahu kamu tidak akan pernah peduli dengan publik, apalagi omong kosong keluarga Jenggala yang sama sekali tidak memberi pengaruh apa-apa untukmu!"
Wajah Seno benar-benar masam dan terlihat tertekuk. Usahanya untuk mempengaruhi keputusan Eyang berakhir sia-sia, ia tidak lagi bisa membantah ucapan orang nomor satu dan pemilik kekuasaan tertinggi di keluarga Ravindra tersebut.
Paman Emir yang sejak tadi diam tak bersuara kini terkikik geli. Perdebatan antara Eyang dan cucu yang tidak pernah akur tersebut tentu sangat menghiburnya.
Seno menoleh dan menatap Paman Emir penuh permusuhan. "Aku membencimu, Paman Emir!"
Mendengarnya, bukannya marah Paman Emir malah semakin mengencangkan tawanya.
Seno yang kesal lalu meminta Ilyas mendorong kursi rodanya meninggalkan Eyang dan kembali ke kamarnya.
"Ilyas, apa kau punya fotonya?"
"Punya, Tuan!" jawabnya.
"Berikan padaku!" titahnya dengan tangan menengadah.
Langkah Ilyas terhenti, ia merogoh kantong saku jasnya lalu mengeluarkan beberapa lembar foto dan memberikannya pada Seno.
"Ke ruang kerjaku, Ilyas!" titah Seno yang urung ke kamar.
Ilyas membelokkan kursi roda yang didorongnya menuju ruangan yang letaknya paling ujung, beberapa pelayan yang berpapasan dengan mereka hanya membungkuk sopan sebagai sapaan.
"Manis, hanya terlalu alami." Seno mengomentari wajah Alea yang ada dalam foto.
Ilyas mengulum senyum. "Jika dilihat langsung, nona itu lebih cantik dan memiliki aura mahal serta daya pikat yang kuat, Tuan. Tapi, semua tertutup oleh penampilannya yang sederhana."
"Tidakkah penilaianmu terlalu berlebihan, Yas?" tanya Seno dengan dahi berkerut.
"Anda akan percaya jika bertemu langsung."
"Kau tidak dibayar olehnya 'kan?" tanya Seno sarkas.
Ilyas terkekeh. "Tentu saja tidak, Tuan."
Percakapan mereka terhenti ketika sampai di depan ruang kerja Seno. Ilyas membuka pintunya lalu kembali mendorong kursi roda yang diduduki Seno masuk.
"Ada satu informasi lagi yang tidak saya katakan kepada Eyang," ujar Ilyas kembali memulai percakapan.
Seno mendongak. "Benarkah? ... Apa itu ?" tanyanya penasaran.
"Perusahaan Wicaksana sedang terlilit hutang puluhan miliar. Perusahaan mereka di ambang kebangkrutan jika tidak mendapat investor baru."
"Penyebabnya?" tanya Seno ingin tahu.
"Direktur utama yang dijabat oleh pewaris Wicaksana sendiri, sering menghamburkan uang untuk berselingkuh dengan para wanita malam. Beliau juga terlibat hubungan terlarang dengan sekertarisnya," ungkap Ilyas.
Seno terkekeh sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. "Pria bermata keranjang!"
"Satu lagi, Tuan!"
"Adalagi?"
Ilyas mengangguk dan mulai menjelaskan. "Nona Alea mendapat perlakuan yang tidak adil di rumah tersebut."
Seno tersenyum misterius. "Menarik! Kerjamu sangat bagus karena informasi yang kamu dapatkan sangat akurat, Ilya."
"Terima kasih atas pujian Anda, Tuan.Akan lebih baik jika pujian tersebut dijadikan sesuatu yang lebih berguna, Tuan!"
Seno mengulum senyum. "Bonus menantimu akhir bulan!"
Ilyas tersenyum cerah, bekerja dengan Seno asal sudah mendapatkan kepercayaan maka uang bukanlah suatu hal yang sulit didapatkan.
"Bawa semua semua berkas yang membutuhkan tanda tanganku, aku akan mempelajarinya lebih dulu."
"Baik, Tuan!" Ilyas membungkuk sopan lalu pamit undur diri.
Sejak kecelakaan lima tahun silam yang membuat kedua orang tuanya tewas serta ia yang mengalami kelumpuhan, Seno sama sekali tidak lagi pernah menginjakkan kakinya di perusahaan. Ia tetap melaksanakan pekerjaan seperti biasa, hanya saja ia tidak pernah memunculkan dirinya.
Setiap ada pertemuan dengan klien ataupun undangan pesta, Ilyas atau Eyang Elaine sendiri yang turun tangan menggantikannya.
Ilyas menutup pintu dan meninggalkan Seno sendiri di ruang kerjanya. Sebelum kembali ke perusahaan menghampiri Eyang Elaine.
"Ilyas, aku seperti tidak asing dengan keluarga Wicaksana."
"Benar, Eyang. Keluarga Wicaksana menjadi salah satu keluarga terpandang setelah pewaris mereka menikah dengan putri keluarga Dirgantara!" jelas Ilyas yang sudah menyelidiki semuanya.
Eyang Elaine mengangguk-anggukan kepalanya mengerti, ia tahu keluarga Dirgantara tapi tidak mengenal secara pribadi.
"Menurutmu, alasan apa yang bisa aku pakai untuk menikahkan Seno dengan Alea ?" tanya Eyang Elaine meminta saran Ilyas.
Ilyas terdiam tidak berniat menjawab pertanyaan Eyang.
"Emir!" bentak Eyang nyaring.
Paman Emir tersentak dan menatap Eyang bingung.
"Bantu Mommy berpikir, jangan diam saja!" hardiknya kesal.
Melihat Ilyas yang masih berdiri mematung Eyang Elaine lalu menyuruhnya pergi.
"Bagaimana kalau kita meniru adegan dalam drama, Mom?" tanya Paman Emir serius.
"Apa?" Eyang Elaine memicing tak yakin.
"Membuat perusahaan mereka hampir bangkrut agar kita bisa menawarkan bantuan, tapi dengan syarat meminta salah satu putri dari mereka untuk dinikahkan dengan Seno."
Eyang Elaine bergeming, menimbang saran Paman Emir yang tak masuk akal.
"Kamu benar, Emir. Sekarang tugasmu untuk melakukannya. Jika berhasil, Aku akan mengizinkanmu kembali ke London lebih cepat dan datang lagi ke Indonesia saat pernikahan Seno dilaksanakan."
Paman Emir mengangguk mantap tak perlu berpikir dua kali. Ia sudah sangat merindukan kuas kesayangannya, untuk apapun akan ia lakukan asal bisa cepat kembali ke paris.
Paman Emir yang sudah berusia hampir kepala empat masih betah melajang, karena ya lebih mencintai kuas dan cat warna-warni dibanding wanita. Bahkan ia rela melepas perusahaan untuk Seno demi hobinya melukis.
Eyang Elaine duduk di kursi sembari tersenyum puas, ia tidak perlu berbuat apa-apa untuk mewujudkan keinginannya.
Paman Emir mendatangi ruang kerja Seno, tampak keponakannya itu sedang serius membaca kertas yang berisi banyak tulisan juga angka-angka yang entah apa artinya.
"Aku tidak menerima tamu seorang penghianat!" ujar Seno sinis tanpa mengalihkan perhatiannya dari lembaran kertas di tangannya.
Paman Emir terkekeh dan sama sekali tak tersinggung. "Ayolah, Boy. Aku melakukannya demi kebaikanmu, kamu membutuhkan pendamping agar emosimu lebih stabil."
Seno mendengus. "Dasar pembual. Katakan, Paman ingin aku melakukan apa lagi kali ini?"
Paman Emir sekali lagi terkekeh. "Buat perusahaan Wicaksana goyah."
Dahi Seno berkerut heran. "Kenapa aku harus melakukannya?"
"Lakukan saja, tidak usah banyak bertanya!" keluh Paman Emir kesal. Tidak mungkin ia mengatakan jika itu bagian dari rencananya.
"Kita tidak perlu menggunakan cara-cara murahan seperti itu. Perusahaan mereka sudah terlilit banyak hutang dan hampir bangkrut," terang Seno santai.
"Dari mana kau tahu?" Paman Emir bertanya dengan ekspresi wajah tentara ragu dan tidak percaya.
"Ilyas tidak memberitahumu dan Eyang?" tanya Seno balik dengan senyum meremehkan.
"Ilyasss ...." Paman Emir menggeram dengan tangan terkepal. "Kalian benar-benar menyebalkan!" gerutu Paman Emir sembari berjalan meninggalkan ruang kerja Seno.
Brak!
Ia menutup pintu ruang kerja Seno dengan keras untuk mengekspresikan rasa kesalnya.
"Tahu begitu, aku tidak perlu repot-repot berpikir apalagi meniru adegan klasik dalam film. Memalukan!" gerutunya sembari berjalan dengan wajah bersungut-sungut.
Melewati beberapa ruangan dan berulang kali berpapasan dengan pelayan yang bekerja di kediaman Ravindra, ia sama sekali tidak menoleh dan langkahnya lurus menuju ruang tengah di mana Eyang Elaine berada.
"Mom... Mommy!" teriak Paman Emir. Meski usianya telah memasuki usia matang, tak jarang ia masih bertingkah kekanakan.
Eyang Elaine menutup telinganya sembari melirik putranya sinis. "Ada apa?" tanyanya ketus.
"Perusahaan Wicaksana hampir bangkrut karena terlilit banyak hutang," jelasnya.
"Ya sudah, pergilah ke perusahaannya dan lakukan negosiasi. Terserah kamu mau bilang apa yang penting mereka mau menyerahkan Alea untuk dinikahkan dengan Seno!"
"Siap, Eyang!" jawab Paman Emir bersemangat.
Paman Emir sudah berniat pergi, tapi suara Seno yang memanggilnya dari kejauhan membuat langkahnya terhenti.
"Paman, tunggu!"
Paman Emir berbalik dan menatap Seno dengan alis terangkat. "Ada apa?"
"Katakan padanya bahwa pria yang akan dinikahkan dengan salah satu putrinya, menderita kelumpuhan dan memiliki wajah cacat yang buruk rupa akibat kecelakaan."
Paman Emir dan Eyang yang mendengar saling bertatapan. Tak lama kemudian senyum lebar menakutkan milik Eyang Elaine muncul ke permukaan.
"Aku tahu maksudmu, Seno!" ujar Eyang dengan senyum puas.