Bukan salah Anggun jika terlahir sebagai putri kedua di sebuah keluarga sederhana. Berbagai lika-liku kehidupan, harus gadis SMA itu hadapi dengan mandiri, tatkala tanpa sengaja ia harus berada di situasi dimana kakaknya adalah harta terbesar bagi keluarga, dan adik kembar yang harus disayanginya juga.
"Hari ini kamu minum susunya sedikit aja, ya. Kasihan Kakakmu lagi ujian, sedang Adikmu harus banyak minum susu," kata sang Ibu sambil menyodorkan gelas paling kecil pada Anggun.
"Iya, Ibu, gak apa-apa."
Ketidakadilan yang diterima Anggun tak hanya sampai situ, ia juga harus selalu mengalah dalam segala hal, entah mengalah untuk kakak ataupun kedua adik kembarnya.
Menjadi anak tengah dan harus selalu mengalah, membuat Anggun menjadi anak yang serba mandiri dan tangguh.
Mampukah Anggun bertahan dengan semua ketidakadilan karena keadaan dan situasi dalam keluarganya?
Adakah nasib baik yang akan mendatangi dan mengijinkan ia bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUA PULUH TIGA
Anggun menghentikan kegiatan mencuci piringnya, ia berjalan menuju pintu untuk melihat siapa yang datang pagi ini.
“Eh, Thalia!” sambut Anggun saat melihat Thalia tersenyum di balik pintu.
“Kamu masih libur? Aku cuma berniat ngajakin berangkat bareng, kali aja kamu udah pengen masuk sekolah.”
“Aku ….” ucap Anggun tertahan, ia sedikit bingung untuk beralasan.
“Eh, Thalia, masuk dulu Nak!” sahut Bu Maryani ikut melongok.
“Mau berangkat sekolah Tante, nanti saja pulang sekolah saya mampir lagi,” pamit Thalia sedikit sungkan.
“Tunggu sebentar, ibu bikin kue kesukaanmu, mau bawa buat bekal sekolah?” rayu Bu Maryani dengan senyum teduh seperti biasanya. “Eh, Nggun tolong beli gula ke warung sebentar, tadi kamu mau bikin teh kan, gulanya ternyata habis.”
Bu Maryani mengeluarkan selembar uang dua puluh ribuan lalu menyerahkannya pada sang putri, Anggun pun segera melaksanakan permintaan ibunya.
Bu Maryani memperhatikan langkah Anggun hingga menghilang di ujung gang tak jauh dari rumahnya, ia segera meraih lengan Thalia dan mengajaknya duduk di ruang tamu.
“Nak, bisa kamu ceritakan lagi bagaimana kalian jatuh? Apa kalian benar-benar hanya jatuh? Kemarin pas di rumah sakit, ada pak guru BP, namanya siapa ya Ibu agak lupa ….” sasar Bu Maryani menyelidik.
Thalia terperanjat kaget dengan apa yang diketahui Bu Maryani, ia terlihat menjadi gugup dan bingung, “Di-dia bi-bi-bicara apa Tan-Tante?”
“Kenapa kamu gugup begitu? Ibu cuma mau nanya apa kamu tahu sesuatu tentang siapa yang mem-bully Anggun?” Bu Maryani menepuk punggung lengan Thalia dengan lembut.
Thalia menegaskan pandangnya karena tak mengerti dengan maksud Bu Maryani. “Bu-bully?!!” tanya baliknya.
“Iya, kata pak guru BP itu, ada teman sekelasnya Anggun yang mem-bully-nya hingga membuat Anggun ketakutan. Thalia nggak tahu itu?”
“Dih! Apa yang harus aku katakan? Aku juga tak begitu paham sebenarnya, tapi yang Anggun katakan itu pak Guru bejat itu yang menyakitinya.” batin Thalia bingung, ia tak ingin salah dalam berucap.
Di satu sisi ia sangat mempercayai sahabatnya itu, tapi entah kenapa guru BP itu mengatakan hal yang sebaliknya. “Aku tidak yakin sih Tante, aku ….” Thalia sangat ragu dengan ucapannya.
“Bahkan dokter itu juga menanyakan hal yang sama, aku kira mereka yang akan mengusutnya, tapi kenapa semua tampak adem ayem begini?” pikir Thalia lagi.
“Jika memang kamu tidak tahu ya sudah, tapi Tante minta tolong kamu cari tahu ya, Ibu sudah memaafkannya, hanya saja rasanya ibu juga penasaran, soalnya ….” Bu Maryani tak melanjutkan ucapannya, ia menghela napas begitu dalam seakan ingin melepaskan penat dan semua rasa penasaran.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Jika yang dikatakan Anggun waktu itu benar, kenapa keluarga ini diam saja? Atau Anggun berbohong padaku? Atau Deni yang sebenarnya telah melecehkan Anggun? Aku agak ragu juga sih kalau pak Tono tega melakukan hal seburuk itu?” pikir Thalia bimbang.
“Ya wes sudah siang, kamu berangkat sekolah saja dulu, nanti malah terlambat.”
Thalia pun berpamitan seperlunya, dengan pikiran yang masih kusut karena tak mengerti dengan beberapa hal.
“Eh! Thalia! Nebeng dong sampai kampus! Boleh dong kan sekolahmu melewati kampusku!” seru Aulia yang tiba-tiba nongol dari dalam rumah.
Thalia hanya bisa mengangguk meski ada rasa keragu-raguan di benaknya. Aulia bersalaman pada ibunya lalu berlari kecil menuju Thalia.
“Aku yang bawa motornya ya!” setu Aulia tanpa malu menyerobot posisi Thalia yang baru saja mau meraih stang motornya. “Ah! Kapan ya aku bisa punya motor sendiri, kamu mah enak, anak orang kaya mau apa saja tinggal minta!
Thalia tak bisa bereaksi dengan tepat atas sikap Aulia, ia hanya bisa tersenyum canggung bercampur jengah.
“Ya sabar dulu, orang kampus juga nggak jauh-jauh banget, naik angkot masih cukup lima ribu, kebutuhan kita itu ….”
Belum selesai ucapan Bu Maryani, Aulia memotongnya dengan sadis, “Halah kebutuhan terus Bu! Seumur hidup juga bakal ada kebutuhan terus!”
Thalia yang canggung terasa semakin canggung dengan keberadaannya yang sekarang di posisi tak tepat. Ia hanya bisa bereaksi nyengir seraya memasangkan kunci motor untuk Aulia.
Setelah kembali berpamitan seperlunya, Aulia menggeber motor Thalia tanpa canggung bahkan berani membawanya dengan sedikit ugal-ugalan.
Thalia berpegangan erat pada pinggang Aulia seraya menahan takut “Mbak, jangan ngebut! Aku takut!” Thalia menepuk punggung Aulia berharap agar kakak dari sahabat baiknya itu mengurangi kecepatan motornya.
“Heleh! Gini aja kok takut! Belum ngebut ini namanya! Baru juga delapan puluh loh, belum seratus! Ha … ha … ha …!” Entah apa yang merasukinya, Aulia justru memutar gasnya.
Thalia hanya bisa memejamkan mata seraya meremas bagian baju Aulia serta melafalkan doa-doa sebisanya, hingga akhirnya Aulia menghentikan motornya tiba-tiba dengan rem cekatan namun cukup mengagetkan bagi Thalia.
Perlahan Thalia membuka mata dan kembali terkejut lagi ketika melihat dimana Aulia menghentikan motornya.
“Loh! Kok berhenti di sini, Mbak?” Thalia menelisik pemandangan sekeliling, tak ada yang salah dengan penglihatannya, Aulia menghentikan motornya tepat di depan sebuah kos-kosan, sedikit masuk ke dalam gang di area belakang kampusnya Aulia.
“Kenapa?” pelotot Aulia menghakimi pendapat Thalia. “Aku mau mampir ke kosan temenku dulu, kuliahku masih sejam lagi, nggak ada salahnya kan kalau aku nebeng biar hemat ongkos?”
Thalia terkesiap tak punya jawaban cepat, “Eee … eee … ya—”
“A-e-a-e! Kamu nggak bisa omong?” sewot Aulia berbalik begitu saja meninggalkan Thalia, tanpa mengucapkan terima kasih, tanpa berpamitan.
“Huh! Kalau bukan karena kamu kakaknya Anggun, aku nggak bakal lagi ngasih ijin pakai motorku! Sungguh bertolak belakang sama sifat Anggun!” gerutu Thalia lalu kembali melakukan motornya ke sekolah ya.
Sementara itu di rumah, Anggun kembali melanjutkan membereskan pekerjaan dapur, sementara Bu Maryani menyapu dan mengepel bagian rumah.
“Nggun, nanti sore adekmu ada undangan ulang tahun di rumah teman sekolahnya, kamu pingin nemenin adekmu nggak?” seru Bu Maryani seraya melanjutkan aktivitasnya mengepel lantai di ruang tengah.
Anggun berpikir sejenak untuk menimbang-nimbang. “Hmm, dimana itu Bu?” selidiknya.
“Nanti ibu berikan share lokasi rumahnya, kamu mau?”
“Hmm, ya gapapa Bu,” jawab Anggun patuh.
“Asiiik! Nanti sore ditemenin mbak Andun!” pekik girang Arpan yang mendengar percakapan itu.
Anggun tersenyum hangat menyambut adiknya, “Sekarang kita mandi, biar nggak terlambat sekolah, oke?” tanyanya teduh.
“Asiik! Dianter mbak Andun!” sahut Arpin yang juga muncul dari kamar.
Anggun terdiam sesaat, sebenarnya ia masih merasa belum siap untuk bepergian terlalu jauh dari rumahnya, ditambah lagi dengan lokasi sekolah si kembar tepat bersebelahan dengan sekolahnya sendiri.
Anggun kembali ragu, ia masih tak yakin mampu, namun di sisi lainnya ia tak tega mengecewakan kedua adiknya. Bola mata Anggun kembali bergerak cemas, napas dan detak jantungnya kembali memburu.
...****************...
To be continue....
Ini Anisa sama temennya kan 😮💨
Apa ig nya 🤭
lebih cocok jadi anaknya Tono dia 😩