NovelToon NovelToon
Serat Wening Ening Kasmaran

Serat Wening Ening Kasmaran

Status: sedang berlangsung
Genre:Percintaan Konglomerat / Mengubah Takdir
Popularitas:971
Nilai: 5
Nama Author: RizkaHs

Pada masa penjajahan Belanda, tanah Jawa dilanda penderitaan. Mela, gadis berdarah ningrat dari Kesultanan Demak, terpaksa hidup miskin dan berjualan jamu setelah ayahnya gugur dan ibunya sakit.

Saat menginjak remaja, tanah kelahirannya jatuh ke tangan Belanda. Di tengah prahara itu, ia bertemu Welsen, seorang tentara Belanda yang ambisius. Pertemuan Welsen, dan Mela ternyata membuat Welsen jatuh hati pada Mela.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaHs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

ꦢꦸꦮꦥꦸꦭꦸꦲꦼꦤꦏ꧀

Pagi itu, Mela mempersiapkan segala sesuatunya untuk berangkat ke pasar, seperti biasa. Ia mengemas botol-botol jamu yang ia buat sendiri dengan harapan bisa mendapatkan uang untuk bertahan hidup. Ia menyusun barang-barang dagangannya dengan rapi di keranjang kayu, melipat kain dan memastikan semuanya siap untuk dibawa. Pikirannya terfokus pada pasar, berharap mendapatkan cukup uang untuk membeli bahan-bahan jamu lagi atau sekadar menutupi kebutuhan sehari-hari. Namun, baru saja ia menutup pintu rumah, suara langkah kaki berat terdengar dari luar.

Dengan hati yang sedikit cemas, Mela membuka pintu dan terkejut saat melihat Herlic dan beberapa tentara Belanda berdiri di hadapannya. Mereka datang lagi.

“Aku belum punya duit, aku baru saja ingin menjual jamu-jamu ini,” ujar Mela, mencoba tenang meskipun matanya tampak gelisah.

Herlic melangkah maju, tatapannya tajam dan dingin. “Kau sudah kami beri waktu. Sekarang bayar pajakmu, tanpa alasan apa pun,” katanya dengan nada yang menggetarkan.

Mela menundukkan kepala, suaranya gemetar. “Aku belum punya duit untuk membayar pajak,” jawabnya pelan.

“Tidak ada alasan lagi! Kami akan tembak sekarang juga!” bentak salah seorang tentara Belanda, wajahnya merah karena amarah.

“Sudah ku bilang, tembak saja!” jawab Mela dengan suara yang sedikit lebih lantang, meskipun ada getaran ketakutan di dalam hatinya. Ia merasa sudah tidak ada lagi yang perlu ia takuti—keluarganya telah pergi, dan hidupnya terasa seperti sudah tak berarti lagi.

Prajurit itu semakin mendekat, senjata di pinggangnya tampak jelas. Mereka terlihat sangat marah, hampir siap untuk menyerang. Namun, Herlic tiba-tiba mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk menghentikan semua tindakan tersebut.

“Tahan senjata kalian,” kata Herlic dengan suara lebih rendah, tapi penuh kekuatan. “Tidak perlu menembaknya.”

Prajurit yang hendak bertindak terdiam sejenak, bingung, sebelum akhirnya menurunkan senjatanya, mengikuti perintah Herlic yang tegas. Mela mengangkat wajahnya, masih merasa tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Herlic menatapnya dengan tajam, namun kali ini tidak ada kemarahan di wajahnya. “Kau kerjakan dulu pekerjaanmu. Aku akan kembali nanti untuk menagih pajakmu,” ujar Herlic, nada suaranya kali ini aneh, lebih lembut daripada biasanya.

Mela terdiam, tak tahu harus mengatakan apa. Herlic berpaling dan melangkah pergi, diikuti oleh pasukannya yang tampak bingung dengan perintah yang diberikan. Mela berdiri di depan pintu, menatap punggung mereka yang menjauh.

Setelah mereka pergi, suasana rumah kembali sunyi. Mela menutup pintu pelan, merasa kebingungannya semakin dalam. Mengapa Herlic bertindak seperti ini? Mengapa ia melunak? Mela tak bisa memahami keputusan itu.

"Wis, ngapa aku kudu mrenani wong kaya Herlic?"

Sore hari di sebuah desa kecil, tampak ladang-ladang mulai lengang, dengan para petani yang perlahan pulang membawa cangkul dan hasil panen. Langit jingga berbaur dengan semburat merah matahari yang mulai tenggelam di cakrawala.

Di jalan utama, suara roda pedati yang berderak di atas tanah bercampur dengan langkah kaki para penduduk pribumi yang membawa hasil bumi menuju pasar atau pulang ke rumah mereka yang sederhana. Di sisi lain, terlihat sekelompok serdadu Belanda berseragam rapi berjalan beriringan sambil mengawasi suasana sekitar.

Rumah-rumah dengan gaya arsitektur kolonial tampak kontras dengan gubuk-gubuk penduduk yang terbuat dari bambu dan beratap ilalang. Dari arah tangsi Belanda, terdengar dentingan piano yang dimainkan seorang nyonya, sementara di dapur seorang pribumi tengah sibuk menyiapkan hidangan untuk tuannya.

Di pelabuhan atau kota besar, suasana lebih ramai. Kapal-kapal layar terlihat merapat, membawa barang-barang dagangan. Orang-orang Eropa dengan pakaian formal melintas di trotoar, sementara para kuli pribumi sibuk menurunkan peti-peti kayu dari kapal.

Angin sore membawa aroma khas: campuran bau tanah basah, asap dapur kayu, dan sesekali harumnya bunga-bunga dari taman rumah Belanda. Suara azan dari surau kecil di kejauhan mengiringi berakhirnya hari, mengingatkan penduduk untuk pulang dan bersiap menghadapi malam.

Mela melangkah pelan memasuki rumahnya yang begitu sunyi, hanya terdengar suara pintu kayu yang berderit saat ia membukanya. Hawa dingin menyambutnya, seolah menyimpan kenangan yang diam-diam bersemayam di sudut-sudut ruang.

Tangannya meraba dinding, mencari saklar lampu. Begitu lampu menyala, cahaya kuning temaram perlahan mengusir kegelapan, tapi tidak sepenuhnya menghapus kesunyian yang melekat di dalam rumah itu.

Ia meletakkan bakul yang terbuat dari di dekat pintu, lalu berdiri sejenak, memandangi ruang tamu yang sepi. Kursi-kursi rotan tua dan meja dengan taplak usang tetap diam di tempatnya, seakan menunggu kehadiran percakapan yang tak kunjung tiba. Hanya bayangannya sendiri di dinding yang kini menjadi temannya.

"Sepi sekali rasanya rumah ini," gumam Mela pelan, suaranya hampir tenggelam dalam heningnya suasana. Biasanya, begitu pulang dari pasar setelah menjual jamu, ruang pertama yang ia tuju adalah kamar ibunya. Di sana, ia selalu mendapati ibunya duduk di ranjang, tersenyum hangat menyambut kepulangannya sambil menanyakan bagaimana dagangannya hari itu.

Namun kini, kamar itu terasa berbeda. Sejak ibunya meninggal beberapa bulan lalu, ruangan itu seperti kehilangan nyawanya. Mela berdiri di depan pintu kamar, menatap perlahan ke dalam. Tempat tidur yang dulu selalu rapi kini dibiarkan kosong, hanya dipenuhi debu yang menumpuk tipis. Aroma khas minyak kayu putih yang biasanya memenuhi kamar itu telah lama sirna.

Air matanya mengalir tanpa ia sadari. Kehilangan itu terasa begitu nyata, menghantui setiap sudut rumah. Tapi Mela tahu, ia harus tetap kuat, seperti pesan terakhir ibunya sebelum berpulang. Dengan berat hati, ia menutup pintu kamar itu dan melangkah pergi, membawa rindu yang terus menyesakkan dadanya.

Malam itu, Herlic duduk sendirian di kamarnya. Suara riuh dari pesta bir yang diadakan para serdadu Belanda terdengar samar-samar dari arah tangsi, tapi ia sama sekali tidak tertarik untuk bergabung. Lampu minyak di sudut kamar memancarkan cahaya redup, menerangi meja kecil tempat sebuah buku terbuka setengah terbaca.

Herlic duduk di tepi ranjang, memandang jendela yang separuh terbuka. Angin malam menyelinap masuk, membawa aroma tanah basah setelah hujan ringan tadi sore. Namun, suasana itu tidak mampu mengusir kekosongan yang ia rasakan. Ia memilih menyendiri malam ini, membiarkan pikirannya melayang tanpa arah, mungkin berharap rasa hampa itu perlahan menghilang.

Dengan tubuh yang terasa lelah, ia merebahkan diri di atas ranjang, menatap langit-langit kamar yang gelap. Dalam kesunyian, satu nama tiba-tiba keluar dari bibirnya.

"Mela," bisiknya pelan, hampir tak terdengar.

Setelah itu, matanya terpejam. Mungkin dalam tidur, ia akan bertemu kembali dengan sosok yang terus menghantui pikirannya, meski hanya dalam mimpi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!