Di sebuah negeri yang dilupakan waktu, seorang jenderal perang legendaris bernama Kaelan dikutuk untuk tidur abadi di bawah reruntuhan kerajaannya. Kutukan itu adalah hukuman atas dosa-dosa yang dilakukannya selama perang berdarah yang menghancurkan negeri tersebut. Hanya seorang gadis dengan hati yang murni dan jiwa yang tak ternoda yang dapat membangkitkannya, tetapi kebangkitannya membawa konsekuensi yang belum pernah terbayangkan.
Rhea, seorang gadis desa yang sederhana, hidup tenang di pinggiran hutan hingga ia menemukan sebuah gua misterius saat mencari obat-obatan herbal. Tanpa sengaja, ia membangunkan roh Kaelan dengan darahnya yang murni.
Di antara mereka terjalin hubungan kompleks—antara rasa takut, rasa bersalah, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan. Rhea harus memutuskan apakah ia akan membantu atau tidak.
"Dalam perjuangan antara dosa dan penebusan, mungkinkah cinta menjadi penyelamat atau justru penghancur segalanya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wati Atmaja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa Bayi Itu?
Di ruangan besar yang dipenuhi meja segi empat panjang, Kaelan berdiri di tengah. Ruangan itu remang-remang, hanya diterangi beberapa lentera gantung yang menggantung rendah. Di atas meja, berserakan peta, dokumen kuno, dan satu koran dengan judul besar yang mencolok: "Reinkarnasi Kaelan: Bayi Ajaib Pengganti Sang Pahlawan."
Wajah-wajah anggota Orde Bulan Biru memancarkan keseriusan. Suara debat memenuhi udara.
Kaelan mengangkat koran di tangannya, lalu meletakkannya dengan keras di meja. "Kalian semua sudah mendengar berita hari ini. Kerajaan telah menciptakan bayi reinkarnasi yang menggantikan aku."
Andrew, seorang pemuda dengan sifat ceria, berseru, "Bayi Kaelan? Anda sudah menjadi ayah, Yang Mulia?"
Kaelan menatap tajam ke arahnya. "Andrew, ini bukan lelucon. Perhatikan ini," katanya sambil menunjuk koran itu.
Ella, seorang wanita muda yang cermat, meraih koran dan membacanya dengan saksama. Ekspresi marah muncul di wajahnya. "Mereka mengganti Anda dengan bayi? Kerajaan ini benar-benar keji. Aku tidak percaya mereka akan sejauh ini memanipulasi rakyat!"
Kaelan mengangguk, suaranya tegas. "Kita harus menemukan asal-usul bayi ini. Apakah dia benar keturunan kerajaan atau hanya bayi tak bersalah yang diambil paksa? Jika benar diambil paksa, ini pengkhianatan yang tidak bisa dibiarkan."
Yasmine menambahkan, "Jika itu benar, maka orang tua bayi itu pasti masih berusaha mencarinya. Kita bisa gunakan itu sebagai jalan untuk mendekati mereka."
Adam, seorang anggota yang lebih tua, menyela, "Tapi bagaimana kita melacak keluarga bayi itu? Informasi ini pasti disembunyikan dengan sangat rapi."
Kaelan memandang mereka satu per satu. "Tidak ada yang sempurna. Kota asal bayi ini pasti memiliki jejak. Kita cari kota yang pernah berperang melawan kerajaan. Rakyatnya pasti tahu sesuatu."
Seorang anggota lainnya berkata, "Kami akan menyebar. Dari pasar hingga kedai minuman, bahkan ke para pengelana. Kita cari saksi mata atau siapa saja yang tahu tentang kejadian ini."
Rea, tangan kanan Kaelan, mengingatkan, "Hati-hati. Jika kerajaan tahu apa yang kita lakukan, mereka bisa menyerang lebih dulu."
Kaelan mengakhiri diskusi dengan tegas, "Bergeraklah dengan hati-hati. Jangan tinggalkan jejak. Kita tidak punya banyak waktu."
Selama beberapa minggu, anggota Orde Bulan Biru menyebar ke berbagai kota. Mereka bertanya, mendengar desas-desus, dan mencatat setiap informasi yang relevan.
Di salah satu kedai, seorang pedagang tua membisikkan cerita tentang keluarga bangsawan dari Rivendale yang kehilangan bayinya setelah berperang melawan kerajaan. Cerita itu segera dikirimkan ke markas Kaelan.
Pada bulan ketiga, Kaelan sedang duduk di ruangan dengan peta besar terbuka di hadapannya. Andrew masuk dengan tergesa-gesa, membawa kabar penting.
"Yang Mulia, kami menemukannya!" seru Andrew. "Bayi itu berasal dari keluarga bangsawan di Rivendale. Lord Adric dan keluarganya mencoba melawan saat kerajaan mengambil bayi mereka. Mereka kalah. Kekayaan mereka dirampas, pengaruh mereka dihancurkan. Kini mereka hidup dalam kehancuran."
Kaelan mengangguk perlahan, matanya penuh tekad. "Bagus, Andrew. Segera siapkan perjalanan. Kita harus bicara langsung dengan mereka."
Hujan deras mengguyur sepanjang perjalanan menuju Rivendale. Jalan berbatu yang berlumpur membuat kereta kuda yang mereka tumpangi beberapa kali terjebak. Setiap kali roda tersangkut, para pengawal harus turun dan mendorongnya, sementara Kaelan dan Rea menunggu di dalam kereta yang dingin.
Kaelan duduk diam, pandangannya tertuju pada jendela. Butiran hujan menghantam kaca, menciptakan irama yang monoton. Pepohonan basah melintas di kejauhan, tampak seperti bayangan kelam di bawah langit mendung.
Rea, yang duduk di seberangnya, akhirnya memecah keheningan. "Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya bagi Lord Adric. Kehilangan anak, kekayaan, dan kehormatannya sekaligus. Dia pasti membawa luka yang mendalam."
Kaelan mengangguk pelan. "Dia mungkin menyalahkan dirinya sendiri. Tapi luka itu adalah alasan kita harus bertindak. Dia adalah kunci untuk membuka kedok kerajaan."
Rea menatap Kaelan dengan serius. "Bagaimana jika dia menolak? Bagaimana jika dia tidak percaya pada kita atau bahkan takut terlibat lebih jauh?"
Kaelan menarik napas dalam. "Maka kita harus membuatnya percaya. Kita tidak bisa memaksa. Tapi aku yakin dia tahu bahwa membiarkan kejahatan ini terus berlanjut hanya akan memperburuk segalanya."
Saat malam semakin larut, kereta mereka terhenti lagi, kali ini di depan sebuah jembatan kayu yang rusak. Salah satu pengawal turun, memeriksa kekuatan jembatan, sementara yang lain berjaga di sekitar. Kaelan keluar dari kereta, merasa udara dingin menerpa wajahnya. Ia melihat ke arah sungai yang mengalir deras di bawah jembatan, membayangkan semua keluarga yang telah dihancurkan oleh kekuasaan kerajaan.
"Kita harus segera sampai di Rivendale," gumam Kaelan, matanya tajam memandang ke depan.
Pertemuan dengan Lord Adric
Setelah perjalanan dua bulan yang melelahkan, mereka akhirnya tiba di Rivendale. Desa kecil itu sunyi dan terpencil, seperti dilupakan oleh dunia. Rumah Lord Adric berdiri di pinggir desa, tampak jauh dari kemegahan seorang bangsawan. Dinding kayunya mulai lapuk, sementara atapnya penuh tambalan dan lumut.
Malam itu, hujan masih turun dengan deras. Genangan air memenuhi jalanan berbatu. Kaelan dan Rea turun dari kereta, mantel mereka basah oleh air hujan. Kaelan mengetuk pintu kayu yang berat, suara ketukannya hampir tenggelam dalam suara hujan.
Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan seorang pria paruh baya dengan rambut beruban dan mata yang tampak sayu. Ia menatap mereka dengan curiga.
"Lord Adric?" tanya Kaelan dengan suara rendah.
"Siapa kalian? Apa yang kalian inginkan?" Adric menjawab dengan nada tajam, meskipun lelah terlihat di wajahnya.
Kaelan mengangkat tangannya, mencoba menunjukkan niat baik. "Kami datang untuk membicarakan anak Anda."
Mata Adric menyipit, dan wajahnya berubah dingin. "Kalian tidak tahu apa yang kalian bicarakan. Pergi dari sini sebelum aku mengusir kalian."
Rea melangkah maju, suaranya tegas namun penuh empati. "Kami tahu kerajaan merampas bayi Anda. Kami tahu Anda melawan mereka, dan karena itu, Anda kehilangan segalanya. Kami di pihak Anda, Lord Adric."
Adric menghela napas panjang, matanya memandang tajam ke arah mereka. "Apa kalian diutus oleh kerajaan? Atau kalian hanya orang-orang yang ingin mempermainkan tragedi keluargaku untuk agenda kalian sendiri?"
Kaelan menatap langsung ke mata Adric, lalu dengan perlahan melepas topinya. Wajahnya menunjukkan kesungguhan. "Aku adalah Kaelan. Bukan reinkarnasi, bukan boneka kerajaan. Aku adalah Kaelan yang asli. Aku tahu rasa kehilangan Anda. Tapi ini lebih besar dari sekadar anak Anda. Kerajaan telah menghancurkan banyak keluarga, termasuk keluarga Anda."
Adric tersentak, tangannya mulai gemetar. "Kaelan? Tapi... mereka bilang kau telah mati dan lahir kembali. Bagaimana aku tahu kau bukan penipu lainnya?"
Dari sudut ruangan, seorang wanita muncul. Lady Adric, mengenakan pakaian lusuh, berjalan dengan langkah pelan. Tangannya memegang sebuah mainan bayi yang sudah usang—satu-satunya kenangan yang tersisa dari anaknya. Matanya berkaca-kaca, dan suaranya bergetar. "Kami hanya ingin anak kami kembali. Itu saja. Aku tidak peduli soal politik atau perang. Tolong... kembalikan anak kami."
Kaelan mengangguk pelan, suaranya lembut namun tegas. "Aku mengerti rasa kehilangan Anda. Tapi untuk menyelamatkan anak Anda, kita harus berani melawan. Kerajaan telah menghancurkan hidup Anda dan menggunakan anak Anda sebagai alat politik mereka. Bersama-sama, kita bisa mengambil kembali anak Anda sekaligus menghancurkan kebohongan mereka."
Adric menatap istrinya, lalu kembali ke Kaelan. Matanya menunjukkan konflik batin yang mendalam. Ia mengingat malam ketika pasukan kerajaan datang, menghancurkan rumahnya dan merebut bayinya. Setelah beberapa saat, ia menarik napas panjang dan berkata, "Jika ini untuk anakku... aku akan ikut. Apa rencananya?"
semangat terus yaa berkarya
oh iya jangan lupa dukung karya aku di novel istri kecil tuan mafia yaa makasih