Btari harus menjalani pernikahan kontrak setelah ia menyetujui kerja sama dengan Albarra Raditya Nugraha, musuhnya semasa SMA. Albarra membutuhkan perempuan untuk menjadi istru sewaan sementara Btari membutuhkan seseorang untuk menjadi donatur tetap di panti asuhan tempatnya mengajar.
Sebenarnya Btari ragu menerima, karena hal ini sangat bertolak belakang dengan prinsip hidupnya. Apalagi Btari menikah hanya untuk menutupi skandal Barra dengan model papan atas, Nadea Vanessa yang juga adalah perempuan bersuami.
Perdebatan selalu menghiasi Btari dan Barra, dari mulai persiapan pernikahan hingga kehidupan mereka menjadi suami-istri. Lantas, bagaimanakah kelanjutan hubungan kedua manusia ini?
Bagaimana jika keduanya merasa nyaman dengan kehadiran masing-masing?
Hingga peran Nadea yang sangat penting dalam hubungan mereka.
Ini kisah tentang dua anak manusia yang berusaha menyangkal perasaan masing
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TEMAN BARU BTARI
Keesokan harinya, pagi di desa itu dimulai dengan kesibukan tim Btari. Mereka tampak bersemangat mempersiapkan peralatan kamera, tripod, dan perlengkapan lainnya untuk melanjutkan proyek fotografi alam yang menjadi tujuan utama mereka. Sementara itu, Btari hanya duduk di teras rumah sederhana tempat ia menginap, menatap mereka dengan wajah lesu.
Ia sudah mencoba berbicara dengan ketua tim pagi tadi, memohon agar diizinkan ikut meski kondisinya belum sepenuhnya pulih. "Aku bisa ikut, kakiku tidak separah itu. Aku bisa duduk sambil memotret," katanya dengan nada penuh tekad.
Namun, Alvian- ketua timnya, seorang pria paruh baya yang bijaksana, hanya menggeleng sambil menatapnya tegas.
"Btari, ini bukan hanya soal semangat. Keselamatanmu lebih penting. Kalau memaksakan diri, bisa makin parah," ujar Alvian serius, suaranya tegas namun tetap lembut. "Istirahat dulu. Kami masih bisa mengandalkan hasil fotomu sebelumnya untuk proyek ini."
Kata-kata itu membuat Btari hanya bisa mengangguk pasrah meski hatinya bergolak. Kini, ia hanya duduk diam, melihat rekan-rekannya berjalan menjauh menuju hutan dengan tawa ringan yang terasa jauh di telinganya. Kamera yang biasa ia bawa kini tergantung tak berdaya di samping tubuhnya.
Btari menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa kecewa. Kakinya yang masih terbalut perban terasa seperti pengingat bahwa ia tidak sekuat yang ia pikirkan. Namun, di balik rasa lesunya, ada perasaan aneh yang membuatnya berpikir. Apakah ini cara takdir untuk memberinya waktu istirahat?
Ia mendesah, mencoba mencari penghiburan dalam suara dedaunan yang bergemerisik pelan dihembus angin pagi. Tapi, perasaannya tetap berat. Ia hanya bisa berharap waktu ini tidak sepenuhnya terbuang sia-sia.
"Kita berangkat dulu, ya." Alexa menepuk bahunya. "Makanan sudah aku siapkan di meja ruang tengah ya. Pokoknya kamu istirahat saja. Kita nggak mau diomelin Pak Barra kalau kamu kenapa-napa." Lanjutnya sambil tersenyum.
Ariana-rekan Btari yang lain ikut mengangguk. "Pokoknya lo istirahat aja. Jangan banyak jalan dulu. Suami lo udah tau kaki lo sakit?"
Btari diam sejenak. Lalu ia menggeleng. "Nggak." Jawabnya berusaha bersikap biasa saja. Padahal di sudut hatinya, Btari merasa ada aneh karena sampai sekarang tidak ada pesan dari Barra yang masuk.
'Ayolah, Bi. Barra itu cuma suami sementaramu. Jangan berharap banyak.' Gumam Btari dalam hati.
"Oke, semuanya siap ya." Alvian berseru. "Ayo berangkat. Kamu baik-baik disini. Kalau ada apa-apa hubungi kita, ya." Ucapnya pada Btari.
"Iya, Mas." Jawab Btari. "Kalian hati-hati ya." Btari melambaikan tangan pada mereka.
Setelah itu semua timnya mulai berjalan menuju lokasi mereka selanjutnya. Sementara Btari hanya duduk sendiri. Ia harus memikirkan apa yang harus ia lakukan agar tidak bosan. Apalagi dengan kakinya yang masih terasa nyeri membuat geraknya terbatas.
Hampir satu jam berlalu. Btari masih termenung di teras, menikmati hembusan angin pagi yang menyejukkan. Namun, lamunannya terputus ketika ia mendengar langkah kaki mendekat. Ia menoleh dan mendapati Raka, si mantri yang semalam mengobati lukanya, berdiri di hadapannya sambil membawa tongkat kayu kecil. Wajah pemuda itu dihiasi senyum tipis yang hangat.
"Assalamu'alaikum, Btari," sapa Raka sambil menyodorkan tongkat itu. "Saya buatkan ini untuk membantu kamu berjalan. Dengan begini, kamu nggak perlu terlalu membebani kaki yang terluka."
Btari tertegun, memandang tongkat itu sejenak sebelum menerimanya. "Wa'alaikumsalam. Terima kasih, tapi… saya nggak kemana-mana, kok. Tim saya nggak mengizinkan saya ikut," jawabnya berusaha tenang, padahal ia sangat sedih karena tidak ikut.
Raka tertawa kecil. "Makanya, aku mau mengajak kamu keluar. Nggak jauh, hanya ke tempat yang bisa bikin kamu merasa lebih baik."
Btari mengerutkan kening, merasa ragu. "Tapi... kaki sayabelum sepenuhnya sembuh."
"Itu sebabnya aku bawa tongkat ini," sahut Raka cepat. "Kamu butuh udara segar. Kalau cuma duduk diam seperti ini, pikiranmu nggak akan tenang."
Btari menggeleng. Bagaimana pun mantri ini baru dikenalnya. Lagipula ia tidak nyaman terlalu akrab dengan lelaki asing.
"Nggak apa-apa. Saya disini saja."
"Kamu akan bosan menunggu mereka pulang. Ayo, ikut denganku saja. Aku rasa kamu bukan orang yang betah berdiam diri." Bujuk Raka.
Setelah berpikir sejenak, Btari akhirnya mengangguk. Raka membantu Btari bangkit dengan hati-hati, memastikan ia tidak terlalu banyak bertumpu pada kaki yang terluka. Dengan tongkat kayu itu, langkah Btari terasa lebih ringan meskipun masih sedikit tertatih.
"Ke mana kita?" tanya Btari saat mereka mulai berjalan perlahan.
Raka hanya tersenyum tulus pada Btari. "Kamu lihat saja nanti. Aku janji, tempat ini akan membuatmu merasa lebih baik."
Perjalanan mereka diwarnai keheningan yang nyaman, ditemani suara burung-burung yang bernyanyi di kejauhan. Hati Btari perlahan terasa lebih ringan, meski ia masih bertanya-tanya apa yang Raka rencanakan untuknya.
Semoga ini bisa membuatnya lebih baik. Ia bahkan tidak lupa membawa kamera polaroidnya berharap akan menemukan banyak hal-hal menarik nanti.
Perjalanan mereka akhirnya membawa Btari ke sebuah bangunan sederhana yang terbuat dari kayu dan beratapkan seng. Di depan bangunan itu, beberapa anak kecil berlarian sambil tertawa riang. Mereka tampak ceria meski seragam mereka terlihat lusuh dan kaki-kaki kecil mereka yang beralaskan sepatu dan sandal yang sederhana.
Btari berhenti sejenak, menatap pemandangan itu dengan mata yang melembut. "Ini... sekolah?" tanyanya, setengah tak percaya.
Raka mengangguk sambil tersenyum. "Iya. Ini sekolah di desa ini. Tempat anak-anak di sini belajar meski dengan segala keterbatasan." Ia menatap Btari sejenak sebelum melanjutkan. "Selain menjadi mantri, aku juga suka membantu mengajar di sini, kapan pun aku punya waktu luang."
Mata Btari membesar. Ia menatap Raka dengan kekaguman yang sulit disembunyikan. "Kamu... mengajar juga? Kok bisa? Disini nggak ada guru?"
Raka tersenyum kecil. "Ada. Dua orang. Tapi yang satunya lagi sakit. Makanya aku ajak kamu kesini. Untuk bertemu mereka. Mereka adalah salah satu alasan kenapa aku bertahan di desa ini."
Sebelum Btari sempat menjawab, beberapa anak kecil berlari mendekat. "Pak Raka!" seru mereka riang, wajah mereka berseri-seri melihat kehadirannya.
Raka tertawa kecil, berjongkok untuk menyapa mereka. "Halo, semuanya. Sudah siap belajar hari ini?" tanyanya hangat.
"Sudah, Pak!" jawab mereka serempak, beberapa di antaranya mencuri-curi pandang ke arah Btari.
Raka berdiri dan menoleh ke Btari. "Bagaimana? Mau ikut masuk? Aku yakin kamu bisa menginspirasi mereka dengan cerita-cerita fotografimu."
Btari terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. Meski hatinya masih diliputi rasa ragu, ia tak bisa menolak antusiasme anak-anak itu. "Baiklah," ujarnya pelan, melangkah pelan dengan bantuan tongkat kayu.
Di dalam kelas, Btari merasa jiwanya seperti diisi ulang. Melihat senyum polos anak-anak itu dan mendengar tawa mereka saat Raka mengajar, ia menyadari bahwa ada kebahagiaan yang sederhana namun mendalam di tempat ini. Btari beraksi dengan kamera kecilnya. Ia akan mengabadikan momen spesial ini.
Tanpa ia sadari, Raka juga tersenyum dan menatapnya penuh makna.
Tidak terasa waktu terus berjalan. Hingga matahari sudah hampir mencapai puncaknya ketika anak-anak berlarian pulang. Btari kira ia akan langsung pulang, namun ternyata tidak. Raka justru mengajaknya untuk makan siang bersama.
Dengan senyuman ramah, ia menunjuk sebuah warung sederhana milik warga tak jauh dari sekolah tempat mereka mengajar pagi tadi. "Ayo, makan siang dulu. Aku tahu tempat itu punya makanan enak," katanya.
Btari awalnya ragu, tetapi akhirnya mengangguk. "Baiklah, tapi saya ikut hanya karena lapar," ujarnya sambil tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan rasa segannya.
"Iya. Aku juga kesana karena lapar." Jawab Raka.
Setibanya mereka di warung, aroma masakan tradisional yang menggugah selera menyambut mereka. Raka memesan beberapa hidangan khas desa, seperti sayur asem, ikan goreng, dan sambal terasi. Sementara itu, Btari duduk di bangku kayu, mengamati aktivitas sederhana di sekitar warung.
Ketika makanan datang, Raka membuka percakapan. "Jadi, Btari, apa yang membuatmu tertarik jadi fotografer? Di alam pula. Ini agak terlihat aneh sebenarnya." tanyanya, memulai dengan nada santai.
Btari awalnya terdiam, seolah ingin menghindari pertanyaan itu. Namun, entah mengapa, senyuman tulus dan nada hangat Raka membuatnya merasa nyaman untuk bercerita. "Awalnya, saya hanya suka menikmati pemandangan. Tapi kemudian saya merasa, ada banyak keindahan yang jarang orang sadari. Saya ingin menangkap itu, mengabadikannya," Jawabnya pelan.
Raka mengangguk, tampak terkesan. "Menarik. Nggak semua orang punya pandangan seperti itu. Apa ada foto favorit yang kamu ambil?"
Pembicaraan berlanjut dari satu topik ke topik lain. Dari pengalaman Btari memotret hingga cerita Raka tentang pekerjaannya sebagai mantri desa sekaligus pengajar. Btari, yang biasanya pendiam dan cenderung menutup diri, mendapati dirinya berbicara lebih banyak dari biasanya. Kehangatan dan kesederhanaan Raka membuatnya merasa nyaman.
Senyuman kecil sesekali tersungging di bibir Btari, seolah sejenak melupakan kekhawatiran yang menghantuinya semalam, termasuk kejadian sulitnya menghubungi Barra. Waktu berlalu dengan cepat, hingga akhirnya piring-piring di meja mereka kosong.
"Terima kasih sudah menemani makan siang," Ujar Raka sambil membereskan meja. "Aku senang akhirnya bisa dengar cerita-ceritamu, Btari."
Btari tersenyum, kali ini lebih lepas. "Saya juga, maaf kalau ceritanya membosankan. Saya tidak terlalu bisa bercerita." Ujarnya sambil sedikit bercanda.
Raka tertawa kecil. "Lain kali, kalau kamu butuh teman cerita, aku siap jadi pendengar."
Btari hanya mengangguk dan setidaknya berteman dengan Raka bukanlah hal yang buruk.
Sementara itu, jauh dari tempat Btari dan Raka bertukar cerita, Barra sibuk menelpon Btari. Namun tidak juga ada jawaban.
"Angkat, Bi. Ini penting." Kata Barra gusar.
ceritanya kayak beneran, jd senyum" sendiri