NovelToon NovelToon
Suatu Hari Di Tahun 2018

Suatu Hari Di Tahun 2018

Status: tamat
Genre:Action / Romantis / Fantasi / Tamat / Cintapertama / Cintamanis / Teman lama bertemu kembali
Popularitas:756
Nilai: 5
Nama Author: Gregorius Tono Handoyo

Alisa, harusnya kita tidak bertemu lagi. Sudah seharusnya kau senang dengan hidupmu sekarang. Sudah seharusnya pula aku menikmati apa saja yang telah kuperjuangkan sendiri. Namun, takdir berkata lain. Aku juga tidak mengerti apa mau Tuhan kembali mempertemukan aku denganmu. Tiba-tiba saja, seolah semua sudah menjadi jalan dari Tuhan. Kau datang ke kota tempat aku melarikan diri dua tahun lalu. Katamu,

ini hanya urusan pekerjaan. Setelah kau tamat, kau tidak betah bekerja di kotamu. Menurutmu, orang-orang di kotamu masih belum bisa terbuka dengan perubahan. Dan seperti dahulu, kau benci akan prinsip itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gregorius Tono Handoyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Nyanyian kucing

Dia menekuk lututnya, menutup matanya. Sudah setahun lebih ia seperti ini. Tidak ingin bergaul dengan orang-orang. Enam bulan lalu, ia masih mau bergaul dengan keluarganya. Namun, setelah itu ia memilih berdiam diri di kamar kecil yang gelap ini. Bahkan saat ibunya ingin menyalakan lampu, ia selalu menolak. "Aku lebih nyaman gelap begini, Bu," ucapnya. Dan ibunya selalu mengerti, bahwa lelaki yang dulu ceria itu sedang tidak ingin diganggu.

Beberapa orang saudara sudah menyarankan agar dia diserahkan ke rumah sakit jiwa. Ada juga yang menyarankan untuk didatangkan psikolog. Namun, ia tidak pernah bersedia. Ibunya tidak bisa memaksakan. Dari sekian banyak keluarganya ayah, dua adik, satu kakak perempuan. Tidak ada satu pun yang bisa mengajaknya bicara. Kecuali ibu.

Hingga malam itu, ibunya mendekati. Mencoba mencari cara agar bisa bicara dengannya. Sungguh, hati ibunya sudah teramat sedih melihat semua yang sudah terjadi. Anak lelaki kebanggaannya dulu kini seolah hilang. Memilih untuk menyepi dalam ruang gelap. Mencari dunia yang tidak dimengerti oleh banyak orang. Namun, ibunya sangat mengerti. Anak lelaki itu bahagia dengan semua yang ia lakukan. la tidak pernah setuju dengan pandangan orang lain. la masih yakin anaknya tidak gila.

"Rian. Dengarkan Ibu, Nak. Sampai kapan kamu ingin menyendiri seperti ini? Ibu mengerti perasaanmu Namun, bukan berarti kamu harus membunuh semua impianmu. Kau tidak seharusnya menghukum dirimu seperti ini. la mengelus kening lelaki muda itu. Anak kebanggaan yang dulu selalu ingin dan tak pernah menyerah mengejar cita-citanya. Kini, menjadi lelaki yang betah bertahan dalam gelap kamarnya. Tidak ingin keluar rumah, bahkan tidak ingin melihat cahaya.

Lelaki itu tidak bicara sepatah kata pun. la memang tidak suka ibunya membahas hal itu lagi. Namun, ia tidak ingin membantah ibunya. Ia tidak ingin membuat perempuan paruh baya itu sedih. Cukup hatinya saja yang teramat pedih dengan semua yang terjadi. Sungguh, bagi Rian, kesedihan tidak seharusnya menular kepada orang lain. Itulah mengapa ia tidak lagi ingin berhubungan dengan manusia lain. Sebab ia tidak pernah mampu membunuh kesedihannya.

Satu-satunya hal yang membuat Rian bisa kembali tersenyum dalam kamar gelap adalah sepasang mata kucing. Dan, seperti sudah menjadi kebiasaannya. Kucing-kucing di rumahnya -bahkan beberapa ekor kucing jalanan sering datang ke kamarnya. Dalam gelap, mata kucing itu bercahaya. Dan, itu yang membuat Rian merasa hidupnya tidak sedang bersedih. Melihat mata kucing, merasakan lembut rambut hewan itu selalu bisa membuat Rian merasa hidup lagi la seolah menemukan dunia baru. Tempat ketika ia tidak mengenal sedih. Seolah mata kucing yang bercahaya dalam gelap itu adalah matahari pagi. Sejuk dan menghangatkan.

Setiap kali kucing-kucing itu datang ke kamar. Rian selalu menggenggam kalung yang dipakainya. Kalung yang bertuliskan dua huruf 'R. Lalu berbisik, seolah sedang berbicara kepada seseorang. Mungkin juga. sedang berbicara kepada Tuhan. "Terima kasih sudah datang."

Dan, suara kucing menggema dalam kamar itu. Seolah sedang melakukan ritual. Terdengar mengeong seperti paduan suara. Sesekali terdengar seperti orang sedang bernyanyi lagu-lagu sedih. Dan, Rian selalu terdengar senang saat semua itu berlangsung. la tertawa cekikikan kegelian. Ibunya sering mengintip dari lubang pintu saat suasana itu berlangsung. Namun, tidak pernah melihat apa Tetapi ibunya paham apa yang sedang terjadi. Meski hal itu tidak pernah bisa diterima oleh keluarganya yang lain.

"Ibu tidak bisa terus membela Rian. Dia itu sudah gila! Suara kakak perempuannya terdengar meninggi.

"Kau tidak mengenal betul Rian." Bela ibunya.

"Aku mengenalnya, Bu. Dia adikku. Dan, aku tahu bagaimana dia."

"Kau hanya kakaknya, sedangkan aku ibunya. Aku lebih mengenal anakku lebih dari siapa pun."

Pertengkaran itu akan terhenti dengan sendirinya. Pembelaan ibunya memang tidak pernah bisa dibantah, bahkan oleh ayahnya sendiri.

Sementara, di dalam ruangan yang gelap itu. Rian menikmati hari-harinya. Bermain dengan kucing- kucing yang datang. Menikmati waktu yang mungkin hanya dia yang bisa menikmati. Mata-mata kucing yang bercahaya itu membuat kamar itu seolah terang benderang.

"Riza, bisiknya. Seketika sedih menyergap seisi ruangan. Mata kucing yang tadinya berbinar kini meredup. Dan, kesedihan pun kembali datang.

"Maaf, aku tidak bermaksud membuat kalian sedih." la merasa bersalah telah membuat mata kucing itu meredup. "Aku hanya sedang merindukannya. Suara itu terdengar lemah.

Dan, seperti semua kesedihan. Selalu ada air mata yang lepas meski sekuat tenaga ditahan. Lalu, mereka akan saling memeluk. Kucing-kucing itu menjilati tubuh Rian. Beberapa ekor mengusap-usapkan tubuh dan kepalanya. Mencoba menghibur lelaki itu. Rian mengusap rambut lembut kucing yang bersamanya. Lalu mereka akan bercerita. Mengenang Riza.

Dua tahun sudah perempuan itu pergi. Namun, Rian selalu merasa Riza pulang saat kucing-kucing itu datang. la selalu bisa merasakan suasana yang sama dengan dua tahun lalu.

Rian menyukai kucing sebab dia mencintai Riza. Perempuan yang gila akan kucing. Ia tidak akan jijik memeluk kucing jalanan yang dekil. Hal yang tidak pernah ditemukan oleh Rian dari perempuan lain sebelumnya. Setiap akhir pekan mereka akan berjalan- jalan menemui kucing jalanan. Memberi makan. Dan, bermain sepuasnya.

"Suatu hari nanti aku ingin punya rumah kucing." Ucap Riza

Begitulah awal mula Rian menyukai kucing. Jatuh cinta kepada Riza membuatnya menyukai kebiasaan yang dulu bahkan tidak pernah dia lakukan. Sejujurnya Rian adalah lelaki yang phobia terhadap kucing. Rizalah yang meyakinkan bahwa kucing tidak semenakutkan yang ia kira. Pelan-pelan, setelah itu akhimya Rian menyukai kucing. Dan, bahkan lebih fanatik daripada Riza.

Pernah suatu kali, Rian membunuh anjing tetangganya. Karena anjing itu membercandai kucing. jalanan hingga ketakutan. Rian melempar dengan batu ke kepala anjing itu hingga mati Riza sempat menyesalkan hal itu.

"Anjing itu mungkin hanya ingin bercanda, Sayang." Meski tidak suka anjing, tetap saja la sedih melihat anjing yang mati berdarah itu.

"Harusnya dia tidak melakukannya." Jawab Rian santai.

"Kau ini.."

"Kau harusnya tahu. Banyak kasus pembunuhan di negara ini, awalnya juga sekadar bahan becandaan. Korban tidak sadar, orang yang dibercandain bisa saja memendam dan mendendam. Lalu akhirnya membunuh. Ucapnya dingin, "Harusnya anjing itu paham.

Riza tidak ingin memperpanjang. la paham orang yang sudah terlalu cinta sering buta logika. Ia juga mengerti, ia yang membuat Rian menyukai kucing. Itu juga bagian dari kesalahannya.

Setelah mengenang kembali Riza. Semakin lama cahaya dari mata kucing-kucing itu akan semakin redup. Lama-kelamaan akan hilang. Rian paham, kucing-kucing itu telah pergi. Ia akan kembali sendiri dalam ruangan ini. Akan kembali menghabiskan waktu mengenang dan menikmati suasana yang sama saat kucing-kucing itu datang lagi.

Beberapa menit kemudian, ibunya datang. membawakan makanan.

"Rian, makanlah, Nak."

la menerima sepiring ikan yang digoreng kering. Sejak memilih berada dalam kamar la tidak ingin memakan apa yang dulu ia makan. Ia hanya ingin memakan ikan kering. Dan, ibunya selalu memenuhi inginnya. Sama seperti ia melakukan dua tahun lalu. Apa pun yang diinginkan Rian selalu ia penuhi Termasuk mengizinkan Rian menjadikan Riza kekasih. Meski awalnya ia tidak pernah setuju perempuan itu dekat dengan anaknya. Keluarga Rian adalah keluarga yang tidak menyukai kucing. Kesukaan Riza terhadap kucing adalah salah satu hal yang tidak bisa diterima ibunya.

Cinta Rian yang terlalu besarlah yang akhirnya mengubah segalanya. Ibunya belajar menerima kebiasaan baru Rian. Menyukai kucing.

Rian menikmati ikan kering pemberian ibunya. Tidak lagi menghiraukan perempuan yang berada di depannya itu. Sejak dua tahun lalu, ibunya tidak pernah bisa memaafkan dirinya sendiri. Itulah sebabnya ia selalu membela Rian. Setiap kali orang mangatakan Rian gila, ia selalu tidak bisa menerima. Ia paham, Rian seperti ini karena kematian Riza dua tahun lalu.. Pembunuhan yang ia lakukan untuk membuat anak lelaki kebanggaannya itu kembali normal -tidak menyukai kucing.

Setelah makan ikan kering dengan lahap Rian tersenyum pada ibunya. la mulai melihat mata ibunya bercahaya seperti mata kucing. Dan ibunya tidak pernah menyadari hal itu. Seperti Rian yang tidak pernah menyadari siapa pembunuh kekasihnya.

1
Akun Kedua
ini sudut pandang orang berapa kak, maksudnya povnya? 1, 2, 3? soalnya agak aneh pas baca dialog irvan sama alisa.. deskripsinya agak sedikit diperbaki lagi kak, soalnya baca deskripsinya serasa baca surat hehe.. tapi untuk cerita udah bagus, 😊👍 plotnya juga dibuat dengan matang 😊👍
Akun Kedua: sama2 kak 😉
IJ: siap kakak terimakasih banyak🙏😚
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!