NovelToon NovelToon
KAISAR IBLIS TAK TERKALAHKAN

KAISAR IBLIS TAK TERKALAHKAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Fantasi Timur / Iblis / Akademi Sihir / Light Novel
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: NAJIL

Menceritakan perjalanan raja iblis tak terkalahkan yang dulu pernah mengguncang kestabilan tiga alam serta membuat porak-poranda Kekaisaran Surgawi, namun setelah di segel oleh semesta dan mengetahui siapa dia sebenarnya perlahan sosoknya nya menjadi lebih baik. Setelah itu dia membuat Negara di mana semua ras dapat hidup berdampingan dan di cintai rakyat nya.

Selain raja iblis, cerita juga menceritakan perjuangan sosok Ethan Valkrey, pemuda 19 tahun sekaligus pangeran kerajaan Havana yang terlahir tanpa skill namun sangat bijaksana serta jenius, hidup dengan perlakukan berbeda dari ayahnya dan di anggap anak gagal. Meskipun begitu tekadnya untuk menjadi pahlawan terhebat sepanjang masa tak pernah hilang, hingga pada akhirnya dia berhasil membangkitkan skill nya, skill paling mengerikan yang pernah di miliki entitas langit dengan kultivasi tingkat tertinggi.

Keduanya lalu di pertemukan dan sejak saat itu hubungan antara bangsa iblis dan ras dunia semakin damai.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NAJIL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

11

"Jangan sok memberikan nasihat kepadaku, kakek tua!" seru Raja Iblis Zhask, suaranya bergemuruh, mengguncang udara di sekitarnya. Tatapan matanya menyala penuh amarah, bagaikan bara api yang siap membakar siapa pun. "Apalagi membawa nama Dewi Hestia hanya untuk mencoba membodohi prinsipku!"

Amarah Raja Iblis semakin memuncak. Baginya, kakek tua di hadapannya adalah pembohong yang tak tahu malu. Berani-beraninya menyebut nama suci maha dewi Hestia, mencoba merusak keyakinannya yang kokoh bagaikan baja.

Namun, kakek tua itu tetap tenang. Senyumnya yang penuh keteduhan tak luntur sedikit pun. "Aku tidak berbohong," ujarnya lembut namun tegas. "Kau benar-benar telah keluar jauh dari kebenaran yang diharapkan Hestia. Andai Hestia tahu ini, mungkin dia akan mengingatkanmu."

"Diam!" bentak Raja Iblis, kedua tangannya mengepal begitu kuat gagang sarung pedang hitam bermotif bunganya. Namun kakek tua itu tak gentar sedikit pun.

"Jangan tanyakan keraguan dalam hatimu padaku," lanjut sang kakek, nadanya masih lembut seperti embusan angin di pagi hari. "Resapi lah sendiri. Apakah hal yang kau lakukan ini sudah sejalan dengan impian Dewi Hestia?"

Ucapan itu bagaikan tamparan yang tak kasat mata, menusuk tepat ke dalam hati Raja Iblis. Sesaat ia terdiam. Matanya yang semula menyala penuh kebencian perlahan meredup. Ia menunduk, mencoba memahami pesan yang disampaikan oleh kakek tua itu.

Di dalam benaknya, ia berbisik penuh keyakinan: "Takdir yang kuambil ini sudah benar. Tidak ada keraguan!" Namun entah kenapa, suara lembut itu—suara sang maha dewi—tiba-tiba muncul di pikirannya. Suara yang dulu pernah membimbingnya, kini seolah mempertanyakan keputusannya.

"Mengapa, Enzo? Mengapa kau memilih jalan ini? Mengapa kau menyebarkan malapetaka dimana-mana?"

Raja Iblis menggeleng cepat, berusaha mengusir suara itu. "Tidak! Apa yang kulakukan sudah benar!" suaranya bergetar, matanya melotot liar. "Ibu pasti bangga padaku karena telah membunuh semua makhluk yang telah menyakitinya!"

Kakek tua itu tetap berdiri di tempatnya, matanya memandang Raja Iblis dengan penuh kebijaksanaan. "Apakah benar begitu?" tanyanya pelan namun menusuk. "Lantas, mengapa kau masih diselimuti keraguan tak berujung? Kau adalah Enzo, putra Hestia yang baik hati."

"Kenapa kau tahu nama asliku?!" seru Raja Iblis terkejut. Kedua tangannya mencengkeram kepalanya yang tiba-tiba terasa nyeri luar biasa. "Siapa kau sebenarnya, kakek tua sialan ini?! Dan... kenapa kepalaku sakit sekali?!"

Ia jatuh berlutut, menggeliat seperti ular berbisa yang terluka parah. Jeritan tertahan keluar dari mulutnya. Suara-suara aneh memenuhi kepalanya, suara kebencian bercampur dengan bisikan lembut maha dewi Hestia.

"Kebaikan dalam dirimu sedang bertarung dengan kebencian semesta di alam bawah sadar," ujar kakek tua itu pelan, memandang Raja Iblis yang kini berguling-guling di lantai, tubuhnya terhempas ke sana kemari seperti diterpa badai tak terlihat.

Tubuh Raja Iblis bergetar hebat, aura kegelapan yang semula meluap-luap kini bercampur dengan cahaya samar yang berkilauan di sekelilingnya. Pertarungan batin yang tak terlihat itu bagaikan perang dua kekuatan besar yang tak bisa dihentikan.

Raja Iblis menjerit keras, suara pekikan nya mengguncang seluruh penjuru ruang bagaikan gempa dahsyat. Tubuhnya sekali lagi bergetar hebat, kedua tangannya terus mencengkeram kepala seolah ingin meremukkan rasa sakit yang menusuk batinnya.

Namun perlahan demi perlahan rasa sakit itu mulai mereda, menguap seperti asap yang tertiup angin. Zhask, Raja Iblis Agung, bangkit dengan angkuh. Wajahnya kini datar, sedingin es, namun di balik itu, intimidasi memancar kuat dari sorot matanya.

Kebencian yang ia pendam terukir jelas dalam setiap gerakannya. Tanpa memberi kesempatan pada kakek tua untuk berbicara lebih lanjut, Raja Iblis mengangkat pedangnya. Aura putih berputar di sekeliling bilahnya, mengalir seperti arus sungai yang mengamuk.

Dengan satu ayunan cepat, ia melepaskan tebasan putih besar ke arah sang kakek. "Kau tak pantas berbicara tentangnya lebih jauh lagi!" suaranya menggema dingin, penuh dengan kesombongan yang merajai udara.

"Aku, Raja Iblis Zhask, akan segera membunuhmu!" Tebasan itu melesat bagai cahaya yang membelah kegelapan, menyapu segala yang ada di jalurnya. Namun sang kakek, dengan gerakan yang lembut dan nyaris tidak terlihat, melangkah ke samping dan menghindarinya.

Seolah-olah waktu melambat hanya untuk dirinya. Kakek tua itu hanya menanggapi dengan senyum kecil—senyum penuh keteduhan yang mampu menenangkan badai paling mengerikan sekalipun.

Tak ada rasa takut di matanya, bahkan ketika berdiri di hadapan Raja Iblis yang menggelegar penuh amarah. "Enzo," ujarnya lembut namun tegas, "aku ajukan satu taruhan."

Raja Iblis menyipitkan mata, ekspresinya mengeras mendengar kata-kata itu. "Jika kau mampu menyarangkan satu serangan saja kepadaku, aku akan menyerahkan kepala Kaisar Langit kepadamu tanpa syarat."

Ucapan kakek tua menggema di antara kesunyian. Ia berhenti sejenak, tatapannya tajam menusuk jauh ke dalam mata Raja Iblis. "Namun jika kau gagal," lanjutnya pelan namun penuh penekanan, "kau harus segera pergi dari sini, menarik seluruh armada tempurmu dari medan perang, dan menyatakan kekalahan mu pada Alam Langit."

Raja Iblis terdiam sesaat, lalu—tawa kerasnya menggema. Suara itu menyayat udara, bagaikan benturan logam yang saling bergesekan. "Aku menolak!" suaranya lantang, penuh penghinaan. "Tidak ada yang bisa mengaturku karena aku adalah Raja Iblis!" Dengan kilatan kebencian di matanya, raja iblis Zhask melesat cepat bagaikan kilat hitam.

Energi dahsyat memancar dari tubuhnya saat ia mengayunkan pedangnya dengan penuh kekuatan. Tebasan itu bukan hanya serangan, itu adalah luapan kesombongan dan keangkuhan yang meluap dari dirinya. "Mati kau, kakek tua!"

Namun kakek tua itu tidak gentar. Ia tetap berdiri tenang, senyum ramahnya masih menghiasi wajahnya yang dipenuhi kerutan. Tatapannya lembut, seolah melihat sesuatu yang tak seorang pun mampu lihat—sebuah cinta yang masih bersembunyi di relung hati Raja Iblis.

Tebasan putih super besar meledak dari segala arah. Energi mengerikan itu bagaikan badai penghancur, memutar ganas kembali di sekeliling kakek tua. Gelombangnya memecahkan lantai dan dinding semesta, melemparkan serpihan-serpihan ke udara seperti pecahan kaca.

Serangan ini jauh lebih mengerikan dibandingkan dengan yang sebelumnya menumbangkan para menteri Kekaisaran surgawi. Namun kakek tua tetap tak bergerak. Matanya memandang Raja Iblis dengan penuh kasih dan iba.

"Jiwaku sudah berantakan sejak kepergian Ibu," ujar Raja Iblis tiba-tiba, suaranya bergetar di tengah tawa kebenciannya yang mereda. "Tapi aku malas untuk menjelaskannya! Cinta itu memang indah, namun aku lebih memilih untuk tidak lagi merasakannya."

Sebuah keheningan menusuk mengikuti kata-katanya. Angin energi di sekitarnya mulai mereda, meninggalkan sisa-sisa kehancuran yang menyedihkan.

Kakek tua tetap berdiri tegak, memandang Raja Iblis—bukan dengan amarah, tetapi dengan pengertian yang begitu mendalam. "Cinta tak pernah benar-benar pergi, Enzo. Kau hanya menolaknya."

Kakek tua seolah meraih tirai besar yang tak terlihat di udara. Dengan gerakan lambat namun penuh wibawa, ia menggulung serangan Raja Iblis—tebasan putih besar yang penuh dengan energi surgawi dan kutukan mencekam—ke dalam dimensi yang tidak diketahui. Dalam sekejap, kekuatan mengerikan itu lenyap tanpa jejak, seolah tidak pernah ada.

"Apa?! Tidak mungkin!" seru Raja Iblis, matanya melebar, penuh keterkejutan yang tidak dapat ia sembunyikan. Tubuh besarnya bergetar, bukan karena rasa takut, tetapi oleh amarah bercampur rasa hina. Namun ia tidak menyerah.

Dengan raungan keras, Raja Iblis mengayunkan pedangnya kembali. Tebasan kedua ini lebih buas, energinya meremukkan tanah di bawahnya sebelum bergerak menerjang sang kakek tua. Tapi hasilnya tetap sama—serangan itu dilahap oleh tirai udara yang aneh, menghilang ke dalam kehampaan.

Kakek tua berdiri dengan tenang, senyuman lembut menghiasi wajahnya. Sementara itu, Raja Iblis hanya bisa terpaku. Wajahnya yang angkuh kini berubah menjadi penuh kekalutan. Semua ini... terlalu sulit dipercaya.

"Ada apa? Apa kau terkejut?" tanya kakek tua, senyum ramahnya tak berubah, seperti embusan angin sejuk di tengah keganasan pertempuran. Tidak ada nada meremehkan di balik kata-katanya, namun di mata Raja Iblis, senyuman itu adalah penghinaan yang membakar harga dirinya.

Raja Iblis menggeram rendah. Dengan langkah besar dan penuh amarah, ia mendekati kakek tua. Tangannya mengepal kuat, pedangnya siap menebas. Kali ini, ia melancarkan serangan jarak dekat, pukulan dan tebasan yang bertubi-tubi dengan kekuatan yang dapat meruntuhkan gunung.

Namun, seperti bayangan yang tak tersentuh, kakek tua itu menghindar tanpa kesulitan. Gerakannya sederhana, tapi selalu tepat waktu, membuat serangan Raja Iblis seolah hanya mengenai udara kosong.

"Mustahil!" pikir Raja Iblis, wajahnya mulai memerah, tidak lagi oleh amarah saja, melainkan juga kebingungan. Semua serangannya, bahkan yang terkuat, tidak satupun berhasil menyentuh lawannya. "Kenapa?! Kenapa kakek tua bangka ini begitu kuat! Tidak mungkin!" batinnya penuh kekesalan. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri. "Aku pasti bisa mengalahkannya. Aku hanya perlu lebih kuat, lebih cepat!" Namun, tidak peduli seberapa kuat ia menyerang, setiap pukulan dan tebasannya hanya menjadi usaha sia-sia. Kebingungan mulai mencengkeram pikirannya.

"Bagaimana mungkin? Aku telah menyerang dengan semua kekuatanku, tapi kakek tua itu... semakin lama, semakin tidak terjangkau." Di tengah rasa frustrasi yang memuncak, tiba-tiba pukulan keras menghantam wajah Raja Iblis dari arah yang tidak terduga.

Ledakan kekuatan itu menghancurkan pertahanannya. Tubuhnya terpental jauh, membentur tanah dengan suara gemuruh. Rasa sakit menjalar di seluruh tubuhnya.

Namun sebelum ia sempat bernapas lega, gelombang pukulan berikutnya datang—tak kasatmata, tapi menghancurkan. Setiap pukulan terasa seperti palu raksasa yang menghantam jiwa dan tubuhnya tanpa ampun.

Tubuh Raja Iblis terhempas lagi untuk sekian dan kesekian kalinya, terlempar semakin jauh, hingga ia tak kuasa lagi berdiri. Kebingungannya semakin dalam seakan-akan bergejolak dalam pikirannya, membuatnya merasa kecil di hadapan kakek tua yang berdiri tenang, dengan senyuman yang tetap tidak berubah.

Kakek tua lantas tidak berhenti sampai di situ saja. Tinju angin tak terlihat terus menghantam tubuh Raja Iblis tanpa ampun, tanpa kepastian kapan berhentinya. Setiap serangan terasa seperti badai tak berujung, semakin kuat dan kuat.

Menghancurkan keangkuhan dan kekuatan sang raja iblis yang merasa tak terkalahkan. Tubuh Raja Iblis terpental berkali-kali untuk yang kesekian kalinya, menciptakan lubang-lubang besar di tanah lembah Adam yang keras penuh bebatuan kristal surgawi.

Akhirnya, tubuh besar Raja Iblis terkapar tak berdaya di tanah. Nafasnya tersengal, tubuhnya gemetar, tapi matanya masih memancarkan bara perlawanan.

"Apakah hanya seperti ini kekuatan seorang yang katanya Raja Iblis?" tanya kakek tua dengan nada datar, namun ada nada sinis yang samar. "Kau bahkan tak mampu memberikan satu pukulan pun kepadaku."

Wajah Raja Iblis mengeras. Rasa sakit tak terbayangkan menjalar di sekujur tubuhnya, namun yang lebih menyakitkan adalah ejekan terselubung dari setiap kata-kata kakek tua. Dengan susah payah, ia merangkak bangkit.

"Tua bangka sialan! Jangan sombong kau!" seru Raja Iblis dengan suara serak, tapi penuh amarah.

Dengan gemetar, ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya. Matanya melotot tajam ke arah kakek tua, penuh kebencian yang membara. Aura kelam di sekeliling tubuhnya semakin pekat, meresap ke udara seperti kabut hitam yang menyesakkan.

Sayapnya, yang semula bercahaya putih sebagai lambang keadilan, perlahan berubah. Warna cahayanya memudar, digantikan dengan merah pekat yang menyala seperti api neraka. Aura kehancuran mulai terpancar dari tubuh Raja Iblis, membuat tanah di sekitarnya bergetar.

"Majulah dan serang aku sekuat yang kau bisa!" ujar kakek tua kembali, suaranya tenang, dan senyum ramahnya masih tak berubah. Kata-katanya seperti undangan lembut, namun menyimpan tantangan yang tak bisa diabaikan.

"Kau akan membayar ini!" geram Raja Iblis, suaranya serak penuh kebencian. Aura gelap mulai merembes dari tubuhnya, seperti kabut pekat yang perlahan menelan dirinya sendiri. Kebencian itu begitu kuat, perlahan-lahan menyelimuti jiwanya, memakan sisa-sisa sifat baik yang pernah ia miliki.

Kebencian semesta telah mengubah Raja Iblis. Dahulu, ia adalah sosok yang bijaksana, enggan melukai makhluk yang lemah. Namun kini, ia tidak segan-segan menghancurkan siapa saja, bahkan anak-anak yang tidak bersalah.

Transformasi ini bukanlah hal baru, benih kebencian itu sudah tumbuh sejak pertempurannya dengan keempat menteri. Namun, kehadiran kakek tua yang misterius kini sepenuhnya memunculkan sisi gelapnya.

"Kau telah melampaui batas!" kata kakek tua, tatapannya tajam meskipun wajahnya tetap ramah. "Hanya kau yang mampu melawan kebencian dari dalam dirimu. Cepat bangkit, dan lawanlah kebencian itu!"

Namun, seruan itu hanya ditanggapi dengan tatapan penuh kebencian dari Raja Iblis. "Kau akan mati!" katanya dingin, suaranya menggelegar, penuh kemarahan yang sulit dibendung.

Langit di atas Lembah Adam mulai berubah. Aura kebencian semesta mengalir deras, menyelimuti cakrawala seperti badai gelap. Kebencian semesta itu tidak lagi hanya mengelilingi Raja Iblis, ia telah sepenuhnya merasuki tubuhnya. Raja Iblis, sosok yang menjadi perwujudan kebencian itu sendiri, kini berada dalam puncak kekuatannya.

Sebagai makhluk yang dilahirkan dari kebencian semesta, Raja Iblis dianugerahi kekuatan yang tidak tertandingi. Namun, kekuatan itu adalah pedang bermata dua. Kakek tua, berdiri dengan tenang, memperingatkan sekali lagi, "Kau harus menguasai kebencian dalam dirimu. Jangan biarkan kebencian itu mengendalikan mu."

Kata-kata kakek tua menggema di udara, namun Raja Iblis hanya diam, matanya menyala merah penuh amarah.

"Karena di ujung jalan ini," lanjut kakek tua, suaranya pelan namun penuh makna, "kau telah ditunggu Dewi Hestia. Kau adalah sosok yang ditakdirkan menyatukan perdamaian tiga alam. Jangan biarkan kebencian ini merusak takdirmu... Enzo!"

Raja Iblis semakin dibuat murka. Amarahnya memuncak, membakar setiap logika yang tersisa dalam dirinya. Bagaimana mungkin? Tidak peduli seberapa kuat serangannya—secepat angin atau sehebat badai—kakek tua itu selalu berada satu langkah di atasnya. Sebuah jurang kekuatan yang tak terjangkau.

Dengan teriakan penuh frustrasi, Raja Iblis menerjang kembali, tubuhnya kini memancarkan aura transformasi baru. Energi hitam bercampur merah darah melingkupi dirinya, berdenyut seperti jantung yang murka. Namun hasilnya tetap sama. Semua serangan, baik jarak dekat maupun serangan energi dari kejauhan, berakhir sia-sia.

"Sialaaaaaaaan!" teriak Raja Iblis, suaranya menggema seperti gemuruh badai. Matanya menyala penuh kebencian, seakan hendak membakar dunia di hadapannya. "Apa kau benar-benar mempermainkan ku?"

Kakek tua itu tersenyum tipis, tak menunjukkan sedikit pun tanda kelelahan. "Serang aku lagi. Apa kau ragu?" ucapnya, nadanya tetap ramah, namun justru semakin terdengar seperti penghinaan di telinga Raja Iblis.

Langit di atas Lembah Adam semakin gelap. Gelombang angin kencang menggulung, membawa petir yang menari di antara awan-awan hitam pekat. Suasana berubah mengerikan, seolah alam pun merespon kebencian yang memuncak.

Awan-awan itu berkumpul, berputar seperti pusaran maut di atas Raja Iblis yang berdiri mematung di bawahnya.

Tiba-tiba, gumpalan angin, awan gelap, dan petir melahap tubuh Raja Iblis. Ledakan energi dahsyat meletus, mengguncang lembah Adam. Asap merah tebal muncul, memenuhi seluruh sudut pandang, bahkan kakek tua itu pun tak mampu melihat apa yang terjadi di dalamnya.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang mencekam. Ketika asap merah itu perlahan menghilang, sosok Raja Iblis dengan penampilan baru muncul dari baliknya. Tubuhnya kini lebih besar, aura kebenciannya semakin pekat, meliputi dirinya seperti perisai kegelapan.

Raja Iblis akan terus berevolusi, semakin kuat setiap kali ia mendekati kekalahan, seolah kebencian semesta tidak akan membiarkannya mati begitu saja. Ia adalah perwujudan murni dari kebencian semesta, sosok yang tak pernah benar-benar bisa dikalahkan.

Kakek tua tetap tersenyum, sama seperti sebelumnya, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa takut atau panik. Bahkan ketika aura Raja Iblis terus menguat, dan tubuhnya berevolusi menjadi semakin mengerikan, ekspresi kakek tua tetap tak tergoyahkan.

"Aku akan melayani mu sampai kau puas," ucapnya tenang, seolah menghadapi Raja Iblis hanyalah bagian dari rutinitas sehari-hari.

Sementara itu, bola-bola energi hitam bercampur percikan listrik mulai bermunculan dari kedua tangan Raja Iblis. Energinya terasa begitu padat, seolah mampu menembus dimensi.

Wajah Raja Iblis semakin dipenuhi kebencian membara, matanya bersinar merah seperti bara api neraka. Ia memusatkan seluruh kekuatan sejatinya ke dalam bola-bola energi itu, siap melumat lawannya hingga tak bersisa.

"Terima ini! Matilah!" teriak Raja Iblis, suaranya mengguncang ruang dan waktu. Bola-bola energi penuh kilatan listrik itu melesat dengan kecepatan yang mustahil dilihat oleh mata biasa, membawa daya penghancur tingkat nirwana semesta.

Namun, kakek tua tak terlihat gentar. Dengan gerakan sederhana, ia kembali membuka tirai udara seperti sebelumnya. Gerakannya terlihat ringan, seperti mengibaskan debu dari jubahnya. Tirai itu mulai menyerap bola-bola energi yang mengerikan.

Namun, kali ini Raja Iblis sudah menyiapkan sesuatu. Ia tersenyum penuh kemenangan, matanya bersinar penuh kebencian dan tipu muslihat.

"Kutukan penciptaan ruang! Kena kau!" seru Raja Iblis.

Saat bola-bola energi hampir sepenuhnya terserap ke dalam tirai udara, ruang di sekeliling mereka mendadak retak seperti kaca yang pecah. Waktu terasa melambat sesaat, sebelum ledakan besar terjadi. Kakek tua dan Raja Iblis seketika berpindah ke dimensi lain, dimensi yang diciptakan oleh Raja Iblis sendiri.

Di dalam dimensi itu, langitnya merah pekat, penuh awan gelap yang bergerak liar. Permukaan tanah hitamnya terlihat kasar, seperti terbakar. Udara di sana begitu berat, seolah dipenuhi dengan kebencian dan keputusasaan. Raja Iblis kini berada di puncak kekuatannya, dan ia tersenyum puas.

"Selamat datang di neraka pribadiku, kakek tua. Di sini, akulah penguasa mutlak!" katanya dengan nada penuh keyakinan.

Dimensi Penciptaan Ruang adalah salah satu kemampuan tingkat tertinggi dalam seni manipulasi realitas. Kemampuan ini memungkinkan penggunanya untuk menciptakan ruang dimensi yang sepenuhnya terpisah dari dunia nyata. Segala sesuatu di dalam dimensi tersebut—dari bentuk, iklim, hingga hukum alam—dikendalikan sepenuhnya oleh sang pencipta.

Bentuk dimensi ini sangat bervariasi, bergantung pada kekuatan, imajinasi, dan sifat penggunanya. Ada yang berbentuk kastil tua yang penuh jebakan mematikan, hutan gelap dengan makhluk-makhluk buas, atau bahkan ruang yang melawan hukum waktu itu sendiri. Namun, satu hal pasti: semakin besar kekuatan penciptanya, semakin luas dan kompleks dimensi yang dihasilkan.

Pengguna Dimensi Penciptaan Ruang juga mendapat keunggulan besar dalam pertarungan. Efek dari dimensi itu memberikan mereka tambahan kekuatan, seolah tempat tersebut menjadi medan yang mendukung keberadaan mereka sepenuhnya. Di dalam dimensi itu, mereka hampir mustahil dikalahkan kecuali oleh seseorang yang melampaui batas kekuatan mereka.

Dalam kasus ini, kita telah melihat sekilas cara kerja Dimensi Penciptaan Ruang. Jika masih belum memahami sepenuhnya, cobalah mengingat kembali pertempuran epik antara Asmodeus dan Julius, di mana kemampuan ini pertama kali ditampilkan secara penuh. Pertarungan itu menjadi bukti nyata bahwa dimensi ini bukan sekadar ruang, melainkan senjata strategis yang mengubah arah pertempuran.

Raja Iblis sudah bisa menggunakan teknik ini bahkan ketika dia masih dalam base mode. Namun cara itu tidak akan efektif mengingat musuh raja iblis saat ini sangat amat kuat. Jadi dia perlu berubah ke mode terkuat nya agar dimensi ruang miliknya menjadi lebih mengerikan dari sebelumnya.

Kakek tua membuka kembali tirai udara seperti sebelumnya, namun sesuatu yang aneh terjadi. Udara di sekitarnya terasa berat, seolah dipenuhi dengan energi yang tak kasatmata. Tangannya yang biasanya melayang dengan mudah kini seperti tertahan. Tirai itu gagal terbuka.

Di saat yang sama, bola-bola kutukan Raja Iblis yang juga ikut berpindah ke dimensi ciptaannya masi melesat menerjang tanpa ampun. Ledakan besar tercipta, memecah keheningan dimensi gelap itu.

Energi kutukan menghantam kakek tua tanpa henti, menciptakan gelombang kehancuran yang seolah tak pernah berakhir. Setiap ledakan terasa seperti guntur yang mengguncang dasar dimensi.

Asap pekat membubung tinggi, mengaburkan pandangan siapa pun yang melihatnya. Raja Iblis berdiri tegak di tengah kekacauan itu, tubuhnya bergetar bukan karena kelelahan, tetapi oleh perasaan puas yang akhirnya menyeruak.

"Memikirkan banyak hal membuatku sakit," ucap Raja Iblis perlahan, suara dinginnya menggema di ruang yang mulai hening. Ia menghela napas panjang, seolah beban berat di pundaknya telah terangkat.

"Sampai aku lupa bagaimana cara untuk berpikir pada sesuatu yang jauh lebih sederhana!" lanjutnya, dengan nada penuh kelegaan.

Raja Iblis menyeringai lebar, tatapannya tertuju ke tempat di mana ledakan terus berlangsung. Meskipun hanya sekali, ia berhasil menyarangkan serangannya. Dalam hatinya, ia merasa kemenangan ini adalah titik balik, sebuah awal untuk benar-benar menghancurkan kakek tua yang selama ini tampak tak terkalahkan.

Raja Iblis tersenyum lepas, senyuman yang penuh kesombongan dan kepuasan. Serangan yang selama ini gagal akhirnya berhasil. Kali ini, ia benar-benar meyakini kemenangannya.

"Bagaimana? Apa kau masih bisa tersenyum lagi, hah? Ha-ha-ha! Rasakan itu, kakek tua sialan!" ejeknya, suara tawanya menggema di ruang dimensi yang dipenuhi sisa-sisa ledakan.

Namun, di tengah asap dan kilauan energi yang masih berkecamuk, sesosok tubuh muncul. Langkahnya tenang, auranya tak tergoyahkan. Kakek tua itu berdiri tegap, tanpa satu pun luka atau bahkan goresan kecil di pakaiannya. Tubuhnya seperti dilindungi oleh penghalang tak kasatmata, sebuah barrier yang terasa mustahil untuk ditembus.

Dengan senyuman yang sama seperti sebelumnya, ia berjalan mendekati Raja Iblis, langkah demi langkah. Raja Iblis tertegun, matanya membelalak. Kali ini, ia benar-benar kehilangan kata-kata.

"Tidak... Ini tidak mungkin! Mengapa... mengapa kau selalu bisa menghindari semua serangan ku!" jerit Raja Iblis, suaranya penuh amarah bercampur ketidakpercayaan.

Kakek tua berhenti, pandangannya lembut namun penuh ketegasan. "Kau masih dikuasai oleh kebencian. Lihatlah dirimu... sungguh begitu menyedihkan."

Kata-kata itu menusuk dalam, memecahkan keheningan.

"Apa katamu? Menyedihkan?" potong Raja Iblis dengan tatapan membara. "Jangan bercanda, kakek tua keparat!" teriaknya, matanya melotot seolah hendak keluar.

"Dirimu... sudah jauh berbeda dari apa yang diharapkan oleh Maha Dewi," lanjut kakek tua, suaranya kini lebih berat, senyumnya perlahan memudar. "Hatimu telah sepenuhnya dikuasai oleh kebencian."

"Sudah cukup!" bentak Raja Iblis. "Jangan bawa-bawa nama ibu di hadapanku! Aku tahu kau hanya membual sejak awal! Membawa nama ibu untuk membohongiku? Itu tidak bisa dimaafkan!"

Amarahnya memuncak, dan tanpa pikir panjang, Raja Iblis mengangkat dua pedang legendarisnya. Dengan kekuatan penuh, ia mulai melancarkan tebasan demi tebasan. Serangannya datang dari segala arah, dengan kecepatan dan kekuatan yang jauh lebih besar daripada sebelumnya.

Ruang dimensi ciptaannya memberikan pengaruh besar. Setiap ayunan pedang menciptakan gelombang energi dahsyat yang beresonansi dengan dimensi itu sendiri. Namun, kakek tua tetap tak tergoyahkan, menunggu serangan itu dengan ketenangan yang tak pernah luntur.

Raja Iblis melangkah maju dengan langkah berat, amarah dan kebenciannya memuncak. Tubuhnya penuh aura kegelapan yang membakar, energi yang seolah tak berujung. Namun, di balik itu semua, ada keraguan kecil yang mulai menyusup, perlahan menggerogoti keyakinannya.

"Mengapa semua serangan ku mampu kau hindari dengan mudah? Bahkan ketika aku sudah menggunakan semua kekuatanku!" teriak Raja Iblis penuh frustrasi.

Kakek tua, dengan tenang, tetap berdiri di tempatnya. Tak ada sedikit pun tanda kelelahan pada wajahnya. Hanya senyum lembut yang terus terpancar, cukup untuk membuat Raja Iblis semakin geram.

"Apakah hanya seperti ini kekuatanmu? Aku bahkan tak perlu menggunakan skill terkuat ku untuk menghindari semua seranganmu." Ucapannya datar, namun cukup untuk menusuk harga diri Raja Iblis.

Raja Iblis menggeram, matanya menyala penuh amarah. Dia kembali melancarkan tebasan demi tebasan dengan dua pedangnya yang bercahaya pekat, diiringi pukulan bertenaga kutukan.

Bahkan semua skill terkuatnya ia lepaskan tanpa ragu. Namun, hasilnya tetap sama—kakek tua menghindar dengan gerakan lincah tanpa sedikit pun kesulitan.

"Sudah cukup!" bentak kakek tua."Aku akan segera menyegel mu karena semua malapetaka yang telah kau buat."

"Beraninya kau!" Raja Iblis kembali berdiri tegak, tubuhnya bersinar merah kehitaman. "Ini belum selesai! Aku masih bisa bertarung!"

"Tidak, ini sudah selesai," jawab kakek tua dengan nada yang tegas namun tetap lembut. "Kau bahkan sudah tak bisa mengontrol dirimu sendiri. Lihatlah tubuhmu, lihatlah dirimu—kau bertarung hanya untuk membuktikan sesuatu yang tidak pernah ada."

"Aku adalah Raja Iblis! Aku tidak pernah kalah!" teriaknya lagi, penuh kebencian yang membakar.

Kakek tua melangkah maju, matanya memandang Raja Iblis dengan penuh pengertian. "Aku mengerti perasaanmu. Semua ini kau lakukan untuk mendapatkan pengakuan dari Dewi Hestia, bukan?"

"Pengakuan?!" Raja Iblis tertawa sinis. "Jangan membuatku tertawa, kekek tua sialan! Aku tidak butuh pengakuan dari siapapun. Aku bertarung untuk membalas dendam pada mereka yang telah membuat ibu menderita!"

"Itu yang kau katakan, tetapi hati kecilmu berbicara lain," potong kakek tua, kali ini senyumnya memudar, digantikan oleh ekspresi serius. "Kau mungkin ingin membalas dendam, tetapi di dasar hatimu, yang benar-benar kau inginkan hanyalah melihat Dewi Hestia tersenyum bahagia. Semua ini... hanya untuk itu, kan?"

Kata-kata itu menghentikan Raja Iblis di tempatnya. Sebuah kilas balik masa kecilnya terlintas di pikirannya. Saat-saat ia bermain di bawah pohon besar, saat Dewi Hestia membelai kepalanya penuh kasih, memberikan senyum hangat yang membuat hatinya damai.

Namun, bayangan itu segera hilang, tergantikan oleh kegelapan yang ia peluk selama ini. "Diam! Jangan berani-berani bicara seolah kau tahu segalanya!" geramnya, meskipun matanya kini tampak bergetar, menahan emosi yang mulai memuncak.

Kakek tua tidak berkata apa-apa lagi, hanya menatap Raja Iblis dengan pandangan penuh iba. "Kau adalah Raja Iblis, itu benar. Tapi kau juga seorang anak yang hanya ingin ibunya bahagia."

Raja iblis sontak terkejut dan tersungkur ke lantai mendengar ucapan kakek tua barusan. Yang dikatakan kakek tua memang benar adanya—Raja iblis ingin selalu melihat Dewi Hestia tersenyum penuh kebahagiaan.

Bagi Raja iblis, Dewi Hestia adalah sosok yang paling berharga dalam kehidupannya. Oleh sebab itu, ia tidak pernah mau melihat air mata sang Maha Dewi jatuh ke tanah, apa pun yang terjadi.

Ia pun selalu melakukan hal-hal menakjubkan, semata-mata untuk mendapatkan pengakuan dari Dewi Hestia. Mulai dari berhasil menangkap burung, menjinakkan kerbau neraka yang buas, dan masih banyak lagi.

Dengan begitu, Raja iblis bisa selalu melihat senyum bahagia Dewi Hestia yang terpancar begitu indah. Pengakuan yang Maha Dewi berikan padanya hanyalah bonus kecil, senyum itu adalah tujuan utama.

Akan tetapi, semua kebahagiaan itu seketika sirna tatkala kepergian Maha Dewi yang tak kunjung kembali. Hingga pada akhirnya, rumor bahwa Maha Dewi telah dieksekusi sampai ke telinga Raja iblis.

Kebencian mulai menguasai dirinya. Kebencian itu perlahan mengambil alih, sedikit demi sedikit, mengubah Raja iblis menjadi sosok yang jahat dan kejam.

"Hentikan! Aku sudah tidak sanggup mendengar kebenaran itu!" potong Raja iblis, tak tahan lagi dengan kenyataan pahit tersebut.

"Ada apa? Apa yang aku katakan benar? Sadarlah, kau adalah Enzo, putra Hestia yang baik hati," ujar kakek tua, nadanya semakin serius.

"Sudah terlambat! Dewi Hestia telah mati, dan aku tak akan melihatnya lagi untuk selamanya!"

"Diah belum mati! Apa kau ingin bertemu dengannya?"

"Jangan membual! Itu tidak mungkin! Jangan mencoba membodohiku hanya karena kau mengetahui sedikit masa laluku, pak tua sialan!"

Kakek tua mengangkat satu jarinya ke atas, dan seketika, ruang dimensi Raja iblis hancur berantakan dengan mudahnya, seperti pecahan kaca yang rapuh. Raja iblis, yang biasanya penuh emosi, kini hanya diam termenung, terkejut tanpa kata.

"Kalau begitu, mari ikut denganku. Aku akan mempertemukanmu dengan Dewi Hestia."

"Apa aku bisa memercayaimu?" tanya Raja iblis, ragu namun penuh harap.

Dimensi ruang raja iblis hancur sepenuhnya. Segalanya runtuh menjadi butiran debu yang melayang seperti abu yang rapuh. Di tengah kehancuran itu, kakek tua melangkah perlahan. Jubahnya sedikit putih bersih berkibar penuh kelembutan, namun sorot matanya penuh tekad. Di hadapannya, Raja Iblis tersungkur, tubuhnya tak bergerak dalam diam, mencoba meyakinkan hatinya.

Kakek tua berhenti tepat di hadapan sang raja iblis. Dengan suara yang serak tapi penuh keyakinan, ia berkata, “Ayo kita pergi ke tempat Dewi Hestia sekarang.”

Raja Iblis mendongak. Matanya menyala dengan keraguan, emosi yang bercampur antara rasa ingin tahu dan ketidakpercayaan yang menusuk jiwanya. Perjalanan panjang yang ia pikir sudah berakhir kini terasa seperti baru dimulai kembali. Bayangan harapan lama yang pernah ia kubur perlahan menyusup ke dalam hatinya.

Tubuh Raja Iblis yang sebelumnya telah berevolusi ke bentuk-bentuk mengerikan—cakar hitam yang menjulang, sayap raksasa yang melipat bayangan ke seluruh lembah—mulai berubah. Perlahan, tubuhnya kembali ke wujud aslinya, sosok yang tak ubahnya seperti saat pertama kali ia menjejakkan kaki di Istana Langit. Pria tampan berambut hitam dan empat tanduk.

“Aku masih belum sepenuhnya percaya padamu!” tegasnya dengan suara tajam, berusaha menjaga jarak. “Jangan coba-coba terlalu dekat denganku!”

Kakek tua itu tersenyum tipis, senyuman yang tampak seperti mengetahui sesuatu yang tidak diketahui Raja Iblis. “Bersiaplah,” ucapnya dengan nada tenang tapi menggetarkan. “Kita akan melakukan perjalanan jauh.”

Raja Iblis menyipitkan mata, amarahnya bercampur dengan kebingungan. “Apa maksudmu?”

Namun, sebelum ia sempat memprotes lebih lanjut, tubuhnya tiba-tiba terasa ringan—terlalu ringan. Kesadarannya terhempas keluar dari tubuhnya seperti debu yang ditiup badai. Ia tersentak, mencoba meraih kendali, tapi sia-sia. Dalam sekejap, jiwa dan raganya terpisah.

Pandangan Raja Iblis berubah kabur, tetapi ia mulai menyadari sesuatu, mereka telah meninggalkan Lembah Adam. Tidak ada lagi kegelapan pekat atau puing-puing dimensi yang hancur. Yang ada hanyalah ruang tanpa batas, lautan cahaya hitam penuh keindahan yang membutakan.

"Woy-woy-woy, kakek tua! Apa yang terjadi dengan diriku?!" seru Raja Iblis panik, suaranya bergema di ruang kosong yang tak berujung. "Kok bisa aku terpisah dari jiwa ragaku?!"

Kakek tua itu, berjalan di depannya dengan langkah ringan seolah gravitasi tak berlaku padanya, hanya melirik sekilas. Tatapan matanya tenang, tapi mengandung perintah yang tak terbantahkan. "Tadi kau bilang ingin bertemu dengan Dewi Hestia, bukan?" Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan nada tegas, "Jadi diam... dan ikuti perintahku!"

Raja Iblis mendengus keras. "Tch! Kau pikir aku ini siapa?! Aku adalah Raja Iblis! Jangan lupakan itu." Namun, meski suaranya menggema penuh arogansi, ada kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan. Ini benar-benar di luar kendalinya.

Kesadarannya yang terpisah dari tubuh membuatnya merasa aneh, seperti berenang di lautan tanpa dasar. Tidak ada berat, tidak ada bentuk. Hanya kesadaran mentah yang terbang tanpa arah. Ini pertama kalinya ia merasakan hal seperti ini—perasaan melayang, bebas, tapi sekaligus kehilangan kendali sepenuhnya.

Mereka terus naik, menembus ribuan lapisan hamparan keindahan yang menusuk kesadaran. Raja Iblis, meski penuh kebencian, tak bisa menahan rasa takjub yang mulai menguasai dirinya. Di atas sana, di tempat yang belum pernah ia jelajahi bahkan dalam mimpi paling liar sekalipun, terbentang langit hitam yang dipenuhi galaksi berkilauan.

Cahaya bintang-bintang yang terpancar di angkasa terlihat begitu menawan, seperti taburan permata yang dipahat dengan penuh cinta. Pancaran mereka lembut, memeluk kegelapan dengan nuansa ketenangan yang hampir magis. Raja Iblis terdiam. Ia tak menyangka bahwa di atas semua kehancuran, ternyata ada tempat seindah ini.

“Ini… apa?” gumamnya, suara rendahnya penuh kekaguman.

Kakek tua itu tidak menjawab, hanya terus berjalan seolah waktu bukanlah urusan yang penting. Setiap langkahnya seperti menembus ruang dan dimensi, membawa mereka lebih jauh ke dalam misteri alam.

Hati Raja Iblis bergolak. Ia, yang biasa melihat dunia sebagai arena pertempuran dan penghancuran, kini merasakan sesuatu yang tak ia pahami, keindahan yang menenangkan, tapi juga memunculkan rasa takut. Di tempat setinggi ini, kekuatan dan statusnya terasa kecil, hampir tidak berarti.

“Kita sedang menuju Alam Kayangan,” jawab kakek tua itu dengan tenang. “Tempat para dewi yang telah meninggal berada.”

Raja Iblis membatu. Hatinya bergejolak, pikirannya berkecamuk. Alam Kayangan—tempat yang bahkan ia pikir hanyalah mitos. Namun, suara kakek tua itu begitu tegas, begitu meyakinkan, hingga ia tak mampu menolak arus perjalanan ini.

Ketegangan merayap di udara, seolah menahan napas menyaksikan makhluk sang pembawa kehancuran dan penjaga rahasia alam—memasuki wilayah yang bahkan para petinggi langit pun tak berani singgahi tanpa alasan. Sebenarnya bukan tanpa alasan tapi lebih tepatnya mereka tidak bisa pergi ke tempat ini.

“Sejak kapan kau mengenal Ibu?” tanya Raja Iblis tiba-tiba, suaranya penuh rasa ingin tahu, meski ia berusaha menyembunyikannya di balik nada dingin.

Kakek tua itu melirik sekilas tanpa memperlambat langkahnya. “Aku sudah mengenalnya jauh sebelum kau bertemu dengannya. Memangnya kenapa?”

“Tidak, aku cuma basa-basi saja. Perjalanan ini sunyi sekali!” jawab Raja Iblis, berpura-pura acuh.

Kakek tua terkekeh pelan, suaranya terdengar seperti ejekan yang penuh ironi. “Basa-basi? Justru lebih aneh kalau perjalanan ini jadi ramai! Mana mungkin Raja Iblis yang ditakuti seluruh 3 alam bisa diajak berbasa-basi.”

Raja Iblis mendengus keras. “Sialan kau, tua bangka!” gerutunya kesal, tapi ada nada malu yang sulit ia sembunyikan.

Perjalanan mereka berlangsung hampir tiga puluh menit, menembus dimensi yang tampaknya tak memiliki ujung. Hingga akhirnya, mereka tiba di sebuah tempat yang membuat Raja Iblis terdiam.

Di depan mereka terbentang pemandangan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Tumbuhan yang bersinar lembut seperti dihiasi embun kristal, air terjun megah yang mengalir deras dengan warna yang bukan hanya biru, tetapi seolah memancarkan kehidupan itu sendiri. Udara di sini terasa ringan, namun penuh kehangatan.

“Keindahan Istana Langit bahkan tak bisa disandingkan dengan ini…” gumam Raja Iblis pelan, matanya menyapu sekeliling. “Hanya ada tumbuhan dan air terjun, tapi keindahannya… ini di luar imajinasi siapa pun.”

Kakek tua hanya tersenyum samar, lalu berkata, “Tempat ini bukan sembarangan. Ini adalah dimensi berbeda yang disebut Khayangan—alam kematian.”

“Khayangan? Jadi ini yang disebut Khayangan…” Raja Iblis menyeringai kecil, berusaha menutupi kekagumannya. “Tidak buruk juga.” Ia menoleh ke kanan dan kiri, matanya masih tak henti memandangi pemandangan luar biasa itu.

Namun, seketika ekspresinya berubah. Matanya membelalak. “Eh, tunggu-tunggu! Apa kita berdua sudah mati?! Oh, tidaaaaaak!”

Kakek tua menggeleng pelan, hampir seperti mengasihani. “Kita tidak mati. Kita hanya melewati Khayangan untuk menemui Dewi Hestia. Itu yang kau inginkan, bukan? Jadi tetaplah ikuti jalanku.”

Raja Iblis mendengus lagi, mencoba menyembunyikan rasa lega. “Baiklah! Aku berusaha percaya padamu. Tapi sampai kapan kita akan terus berjalan seperti ini?!” protesnya dengan nada tidak sabar.

Kakek tua berhenti sejenak, lalu menunjuk dengan tenang ke sebuah gunung yang menjulang tinggi, puncaknya tersembunyi di balik awan keemasan. “Kita akan menuju puncak gunung itu.”

“Gunung?” Raja Iblis menatap gunung itu dengan alis berkerut. “Kenapa kita tidak terbang saja? Akan jauh lebih cepat!”

“Coba saja kalau kau bisa,” jawab kakek tua dengan senyum penuh misteri.

Raja Iblis mendengus keras, kemudian mencoba melompat. Tapi tidak ada yang terjadi. Bahkan sayapnya—yang biasanya cukup untuk menghancurkan langit—tidak bisa. Ia mencoba berkali-kali, namun sia-sia. Setelah beberapa saat, ia menyadari sesuatu yang mengerikan, semua kekuatannya telah menghilang di tempat ini.

Ia mendengus frustrasi. “Apa-apaan ini?! Tidak ada kekuatan… ini tempat macam apa?!”

Kakek tua itu tidak menjawab, hanya melangkah dengan tenang, seolah perjalanan ini adalah rutinitas yang biasa baginya. “Ayo, kita hampir sampai,” katanya singkat.

Dengan berat hati, Raja Iblis mengikuti. Perjalanan mereka terasa seperti keabadian. Sangat lama dan menguras banyak tenaga. Namun, ketika mereka berdua akhirnya sampai di puncak. Wajah raja iblis sangat terlihat aneh.

“Sialan! Gunung ini tinggi sekali! Aku hampir mati kelelahan!” gerutu Raja Iblis, napasnya tersengal-sengal. Tubuhnya terasa lemah, seperti telah kehilangan semua daya tahan fisiknya. Ia bahkan tidak percaya, tubuhnya yang selama ini tak pernah menyerah kini terasa seperti milik manusia biasa.

Kakek tua di depannya hanya tertawa kecil, suaranya penuh ejekan. “Hanya berjalan sedikit saja kau sudah hampir mati? Betapa memalukannya. Jadi seperti ini ya Raja Iblis yang terkenal itu?”

Raja Iblis mendelik, matanya memerah menahan lelah. “Sialan kau, kakek tua! Aku akan menghajar mu begitu kita kembali ke Alam Langit!” desisnya dengan lidah terjulur, nyaris kehabisan tenaga.

Namun, kakek tua tidak menanggapi ancamannya. Sebaliknya, ia melangkah mendekati tepi puncak gunung, lalu memberi isyarat dengan tangannya. “Kemari. Lihatlah ke bawah.”

Meski kesal, Raja Iblis menyeret kakinya dengan berat. Saat ia melihat ke jurang lembah di bawah mereka, napasnya tercekat. Di dasar lembah itu terdapat ribuan kuil yang menjulang megah. Tumbuhan hijau melilit tiang-tiang bangunan, seperti ornamen hidup yang menyatu dengan arsitektur kuno yang tak pernah ia lihat sebelumnya.

Di tengah lembah, sebuah lapangan besar berlantai marmer hijau bersinar lembut memancarkan keindahan yang sulit digambarkan. Namun yang paling mencuri perhatian Raja Iblis adalah ribuan sosok wanita yang menari di sana. Para dewi, dengan gaun-gaun mereka yang berkilauan, bergerak serentak, tarian mereka sempurna tanpa ada kesalahan sedikit pun.

Ribuan dewi itu menari dengan penuh kebahagiaan. Tawa mereka bergaung, memecah sunyi dengan irama yang terasa seperti nyanyian surgawi. Raja Iblis tertegun. Tidak ada kata yang cukup untuk menggambarkan harmoni itu, kebahagiaan murni yang terpancar dari setiap gerakan mereka.

Kakek tua menunjuk ke arah salah satu barisan. “Sekarang lihat baris ketiga, posisi paling tengah. Dia menari dengan sangat bahagia, tanpa sedikit pun beban di wajahnya. Penuh kelembutan dan kasih sayang!”

Raja Iblis memicingkan mata, mencoba menemukan yang dimaksud. “Sebelah mana? Aku tidak melihatnya!” serunya kesal.

“Itu sudah jelas! Apa kau tidak tahu arah? Jangan-jangan kau buta arah!” balas kakek tua dengan nada bercanda. “Ayo, coba lagi. Sudah menemukannya?”

Namun, Raja Iblis tidak menjawab. Matanya perlahan terfokus pada satu sosok di tengah barisan ketiga. Tetesan air mata jatuh satu per satu, membasahi pijakannya. Ia tidak bisa menjelaskan apa yang ia rasakan—campuran rasa sedih, senang, rindu, dan kagum yang bercampur menjadi satu.

Di barisan ketiga itu, tepat di posisi tengah, tampak seorang wanita. Maha Dewi Hestia. Wajahnya berseri-seri dengan senyuman yang begitu lembut, penuh kehangatan dan kebahagiaan. Bahkan dalam kenangan Raja Iblis, ia belum pernah melihat Dewi Hestia setenang dan sebahagia ini.

“Dia… menikmati ini,” gumam Raja Iblis tanpa sadar, matanya terpaku pada sosok yang menari di bawah sana.

Kakek tua melirik Raja Iblis dengan senyum penuh arti. “Ada apa? Kenapa kau tiba-tiba diam? Tidak ribut seperti tadi? Apa kau sudah menemukannya?”

Raja Iblis masih tak menjawab, seolah seluruh dunia telah hilang dari pikirannya. Ia hanya berdiri terpana, menyaksikan Dewi Hestia yang tenggelam dalam tarian bersama teman-temannya, begitu damai dan jauh dari segala beban dunia.

“Ibu… apakah itu kau?” suara Raja Iblis akhirnya keluar, lirih dan bergetar.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!