Elora percaya bahwa cinta adalah segalanya, dan ia telah memberikan hatinya sepenuhnya kepada Nolan, pria penuh pesona yang telah memenangkan hatinya dengan kehangatan dan perhatian. Hidup mereka terasa sempurna, hingga suatu hari, Nolan memperkenalkan seorang teman lamanya, kepada Elora. Dari pertemuan itu, segalanya mulai berubah.
Ada sesuatu yang berbeda dalam cara mereka bersikap. Perhatian yang terlalu berlebihan, dan senyuman yang terasa ganjil. Perlahan, Elora mulai mempertanyakan kebenaran hubungan mereka.
Apakah cinta Nolan kepadanya tulus, atau ada rahasia yang ia sembunyikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rose Skyler, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. Sakit
Elora melangkah masuk ke kantor dengan wajah pucat, berbeda dari biasanya. Beberapa rekan kerja yang melihat langsung menghampirinya.
"El, wajahmu pucat banget, kamu sakit?" tanya Clara
Belum sempat El menjawab, yang lain ikut menimpali. "Elora, kalau kamu nggak enak badan, kenapa nggak izin saja? Kamu bisa istirahat di rumah,"
Elora lantas tersenyum sembari mengangguk pelan, "makasih ya, udah perhatian. Tapi aku nggak apa-apa kok, lagi pula hari ini juga ada rapat penting, gak enak kalau aku nggak kerja,"
"Tetap saja, jangan memaksakan diri El, apa mungkin pak Al tidak memberimu ijin?" tanya rekan yang lainnya berbisik
"Bukan gitu,"
Lalu semuanya langsung terdiam saat Alden muncul di ujung koridor. Semuanya berbalik menghadapnya sambil tersenyum dan mengucap selamat pagi. Alden hanya mengangguk, tanpa menoleh dan lewat begitu saja. Mereka lantas kembali ke tempat masing-masing karena merasa tidak enak pada bos.
Alden keluar dari ruangannya, karena sebentar lagi rapat dimulai. Langkahnya terhenti begitu matanya menangkap wajah Elora. Ia tertegun, alisnya berkerut saat melihat ekspresi lelah dan pucat yang nampak jelas di wajah gadis itu.
“El,” panggilnya pelan, tapi cukup tegas untuk membuat gadis itu mendongak. Mata mereka bertemu, dan Elora tampak sedikit terkejut melihat Alden sudah berdiri di depannya.
"Iya pak, sudah waktunya rapat ya," ujarnya singkat, lalu menyiapkan berkasnya
“Kamu sakit?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi.
Elora menggeleng, mencoba tersenyum. “Aku baik-baik saja, hanya sedikit lelah,"
Namun, Alden tidak terlihat percaya. "Hanya lelah?" tanyanya pelan. Ia menyandarkan tangannya di meja Elora, menunduk sedikit agar berada pada level yang sama dengannya. “Kalau kamu tidak sehat, kamu harus pulang. Kamu tidak perlu memaksakan diri.”
"Aku tidak apa-apa pak, anda jangan berlebihan,"
Alden tidak bergeming, tatapannya tidak berpaling dari El. Tapi sebelum ia bisa mengatakan lebih banyak, Dani datang mengingatkannya untuk rapat, membuatnya terpaksa meninggalkan percakapan itu.
Rapat berlangsung dalam suasana serius, dengan suara diskusi dan presentasi di ruangan besar itu. Alden, matanya sesekali melirik ke arah Elora yang duduk di sampingnya. Wajahnya masih terlihat pucat, meskipun ia berusaha keras untuk terlihat fokus.
Elora merasakan pandangannya mulai kabur. Suara-suara di sekitarnya terdengar semakin jauh, seperti datang dari lorong panjang yang kosong. Kepalanya terasa berat, dan keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Ia mencoba meraih meja untuk menopang dirinya, tapi tubuhnya tak mau bekerja sama.
Brukk..
Dalam sekejap, tubuhnya ambruk, jatuh dari kursi dan menimbulkan kehebohan di dalam ruangan.
“Elora!” teriak Alden, refleks berdiri dari kursinya. Tanpa pikir panjang, ia segera berlari ke arahnya, mendapati tubuh Elora yang terkulai lemas di lantai.
Kekhawatiran memenuhi wajahnya saat ia berlutut, dan mencoba membangunkannya. “El, apa kamu bisa mendengarku?”
Semua yang ada di ruang rapat langsung mendekat karena panik. Seseorang langsung mencoba menelepon ambulans.
Alden menyentuh dahi Elora, jantungnya berdebar keras. “Dia demam." gumamnya
Tanpa menunggu lama, Alden mengangkat tubuh Elora dalam gendongannya, mengabaikan tatapan terkejut dari semua bawahannya. Tanpa mengucap sepatah kata, ia bergegas keluar ruangan, pikirannya penuh dengan kecemasan.
***
Elora perlahan membuka mata, menatap langit-langit putih di atasnya. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba mengenali di mana ia berada.
Ia melihat sekeliling, sebuah infus terpasang di tangannya. Dan juga Alden yang tengah sibuk menelpon, sambil melihat ke arah luar jendela.
"Kau sudah bangun," ucapnya berjalan mendekat, wajahnya terlihat lega tapi tetap penuh perhatian.
"Kenapa aku bisa ada di sini?" tanyanya pelan, suaranya serak.
Alden mendesah pelan, menatap El dengan serius. Kamu pingsan di ruang rapat," jawabnya, suaranya rendah tapi jelas.
Elora mengerutkan kening, mencoba mengingat kejadian sebelumnya. "Aku pingsan...?" gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. Ia terdiam beberapa detik, lalu memandang Alden. "Jadi pak Al.."
Alden memotong, ekspresinya sedikit kesal. "Kenapa kau begitu keras kepala? suka menyiksa diri sendiri. Sudah jelas kau sedang sakit, tapi tetap memaksakan diri."
Elora terdiam, ia tahu Alden benar, "maaf, aku sudah merepotkan Pak Al," ucapnya pelan, menunduk.
Alden mendesah, nadanya melunak. "Kau tidak perlu minta maaf, aku hanya tidak ingin kau menyakiti diri sendiri seperti ini," Tatapannya lembut, tapi tegas, membuat Elora tak bisa membantah lagi.
Elora melirik ke arah jam dinding, matanya membelalak saat melihat jarum jam sudah menunjukkan pukul enam sore. "Jam enam?" gumamnya, terkejut. "Berapa lama aku tertidur?"
Alden menyandarkan punggungnya ke kursi, "Lima jam," jawabnya santai. "Kau butuh istirahat, jadi aku nggak berniat membangunkanmu."
"Lalu... Pak Al nggak kembali ke kantor? Gimana dengan rapatnya?" tanyanya, suaranya terdengar ragu namun penuh keingintahuan.
Alden tersenyum kecil, tidak menyangka dia masih memikirkan pekerjaan di saat seperti ini. "Rapatnya tetap berjalan, aku meminta Dani yang memimpin,"
Elora baru ingin bersuara, namun Alden memotongnya. "Kau tidak perlu khawatir tentang hal lain, kesehatanmu lebih penting daripada rapat mana pun," ucapnya, matanya menatap langsung ke dalam mata Elora.
Belum sempat Elora merespons ucapan Alden, pintu kamar terbuka perlahan. Dani muncul pertama dengan senyum lebar. Diikuti beberapa rekan kantor lainnya membawa tas kecil berisi makanan dan buah-buahan.
"Elora!" seru Clara. "Kamu bikin kami semua panik tadi siang. Gimana sekarang, udah mendingan?"
Elora sontak tersenyum, "aku udah lebih baik, kok," jawabnya pelan
"Syukurlah," ucap Clara dan yang lain bersamaan.
Alden memilih keluar, karena tidak ingin membuat suasana.menjadi canggung. Dan benar saja, begitu Alden keluar, ruangan itu dipenuhi dengan suara tawa.
"El, kamu tahu nggak betapa paniknya Pak Alden waktu kamu pingsan?" tanya Dani membuka pembicaraan.
Elora mengerutkan kening, sedikit terkejut. "Apa maksudnya?"
Begitu kamu jatuh, dia langsung lari ke arah kamu tanpa pikir panjang. Semua orang di ruang rapat cuma bisa terdiam ngelihat dia berusaha membangunkan kamu," ujarnya serius
Clara, yang ikut mendengar, menimpali sambil mengangguk. "Iya, dia benar-benar panik, El. Nadanya tegas banget waktu minta kita semua nggak panik. Terus, dia langsung angkat kamu sendiri ke mobil. Nggak nunggu ambulans atau minta orang lain bantu."
Elora membelalak, sulit membayangkan Alden, dengan sikap dinginnya, bisa bereaksi seperti itu. "Dia... melakukan semua itu?" gumamnya tak percaya.
Dani tertawa kecil. "Dia bahkan nggak peduli sama rapat. Dan langsung nyuruh aku lanjutin rapat, terus pergi gitu aja. Kita semua sempat bengong ngelihatnya."
Clara menatapnya sambil tersenyum menggoda. "Pak Al perhatian banget sama kamu, kayaknya kamu spesial buat dia,"
Elora hanya tersenyum kecil, "itu pasti karena dia takut kak Nolan akan menyalahkannya," batin El
Setelah beberapa saat mengobrol, mereka memutuskan untuk pulang.
Tidak lama, Alden kembali dan duduk di kursi sebelahnya.
"Pak Al nggak pulang?" tanyanya pelan
"Kenapa? Kamu mau aku pergi?" jawabnya dengan nada bercanda, meskipun ekspresinya tetap serius
"Bukan begitu, tapi anda kan juga butuh istirahat,"
"Kalau aku pulang, apa kau berani tidur sendirian di sini?"
"Aku akan meminta Feby kemari,"
Alden mengangguk pelan, "aku akan pergi kalau mereka sudah datang."
Tidak lama pintu kamar perlahan terbuka.
"Feb, lo udah dateng!" seru El
Namun dia terkejut, ternyata yang datang bukan sahabatnya, melainkan Nolan. Dan yang lebih mencengangkan, dia tidak datang seorang diri, melainkan bersama Celine.
*
*