Haura, seorang gadis pengantar bunga yang harus kehilangan kesuciannya dalam sebuah pesta dansa bertopeng. Saat terbangun Haura tak menemukan siapapun selain dirinya sendiri, pria itu hanya meninggalkan sebuah kancing bertahtakan berlian, dengan aksen huruf A di dalam kancing itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lunoxs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MGTB And CEO BAB 7 - Mencari Petunjuk
"Abang," panggil Azzam lagi karena Nanjan hanya terdiam.
Ditatapnya kedua mata Azzam yang penuh dengan harap, jujur saja Nanjan merasa iba. Laki-laki remaja ini lalu menoleh kepada Labih, meminta persetujuan untuk menceritakan semuanya.
Azzam, bagi mereka berdua sudah cukup dewasa untuk memahami. Azzam, bagi Nanjan dan Labih bukanlah anak kecil.
Pelan, Labih mengangguk. Ia pikir, Azzam memang harus tahu.
"Abang tidak tahu banyak Zam, tapi sepertinya ayahmu masih hidup," jawab Nanjan setelah lama terdiam.
Mendengar itu, hati Azzam bergemuruh, bibirnya tersenyum tipis. Merasa bahagia, keyakinannya jadi kenyataan, ayahnya dan Azzura masih hidup.
"Abang tahu siapa ayahku? dimana dia tinggal sekarang?" tanya Azzam menuntut, ia harus tahu semuanya.
Kali ini Nanjan tak kuasa menjawab, Labih lah yang buka suara. Labih bercerita, jika ibunya Azzam adalah seorang pendatang di desa mereka, datang jauh dari ibu kota Jakarta sana. Saat pertama kali datang kesini, Haura datang seorang diri dalam kondisi hamil.
Hanya itu yang Labih ceritakan, selebihnya sumpah demi apapun dia tidak tahu.
"Ku rasa, acik Haura punya alasan kenapa dia selalu mengatakan ayahmu sudah meninggal. Mungkin Acik tidak ingin kamu menemuinya Zam," ucap Labih lagi setelah selsai bercerita.
Azzam hanya terdiam, mencerna semua cerita yang baru ia ketahui.
"Kalau aku jadi kamu aku juga tidak mau menemui ayah seperti itu Zam, untuk apa? aku yakin dia juga yang meninggalkan ibumu, karena itulah ibumu pergi jauh kesini," timpal Nanjan dengan geram, ia pun merasa kesal jika mengingat ayah Azzam adalah pria yang tidak bertanggung jawab.
Mengatakan itu, Labih kembali memukul bahunya.
"Kalau Acik Haura punya alasan, pasti ayahmu juga punya alasan Zam," ucap Labih menengahi.
"Terima kasih Bang," jawab Azzam setelah cukup lama terdiam.
Aku harus tahu apa yang sudah terjadi di masa lalu Ibu, memperbaiki masa lalu itu agar ibu tidak menangis lagi. Batin Azzam.
Keinginannya bukan hanya tentang menemukan sang ayah, namun membuka tabir kehidupan sang ibu di masa lalu. Masa yang membuat sang ibu termenung dalam tangis.
Azzam lalu bangkit dan pamit pulang, seperti biasa Labih akan memberinya uang 20 ribu rupiah sebagai upah.
Kini, Azzam dan Azzura sudah kembali berjalan kaki menuju rumah mereka sendiri. Rumah paling ujung di desa ini. Namun sepanjang perjalanan begitu rindang, banyak pepohonan di setiap sisi jalan.
"Abang, kaki Zura sakit," rengek Azzura saat merasa kakinya lecet, tadi tanpa sengaja ia menyandung batu. Tadi, ia memilih diam merasa sanggup untuk menahan sakit, ternyata tidak. Kakinya berdenyut dan terasa perih.
Keduanya berhenti, Azzam lalu berjongkok dan memeriksa keadaan kaki sang adik. Dan benar saja, ada darah yang sudah menggumpal di pinggiran ibu jari Azzura.
"Sini, biar Abang gendong," titah Azzam, ia memasang punggungnya untuk dinaiki sang adik. Tapi Azzura sungguh tidak tega, apalagi saat menyadari ia lebih gendut daripada sang kakak.
Pelan, Azzura menggeleng.
"Tidak Abang, Zura nggak mau digendong. Jalannya pelan-pelan saja, terus aku jadikan lengan Abang jadi sandaranku," pinta Azzura berceloteh.
"Gendong saja Ading, nanti kakimu tambah sakit," tawar Azzam lagi, ia bahkan belum merubah posisinya sedikitpun.
"Nggak, Azzura nggak mau," susah payah Azzura menarik kakaknya agar kembali bangkit, akhirnya Azzam menyerah.
Keduanya kembali berjalan dengan sangat pelan, Azzura tertatih seraya memeluk lengan sang kakak kuat.
"Azzura, apa kamu bener-benar ingin bertemu dengan ayah?" tanya Azzam memulai pembicaraan, ingin membuat perjalanan keduanya jadi tak terasa dengan banyak obrolan.
"Tentu saja, Zura sangat sangat ingin bertemu dengan ayah. Zura ingin memeluk ayah seperti Ayda memeluk ayahnya," jelas Azzura sambil membayangkan sang sahabat Ayda yang memiliki seorang ayah, keluarga yang utuh.
"Tapi, kalau ayah membawamu pergi dari ibu bagaimana? kamu pilih ayah atau pilih ibu?" tanya Azzam lagi dan mendengar itu Azzura mengerucutkan bibirnya, kesal.
"Kalau begitu tidak usah bertemu ayah, Zura akan selamanya bersama ibu," jawab Azzura yakin, meskipun hatinya menggerutu, kenapa harus ada pilihan seperti itu.
Azzam terkekeh.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sampai di rumah, Aminah baru saja mengangkat jemuran baju. Hari ini terik sekali, jam 3 sore baju-baju mereka sudah mengering.
"Nek, kaki Zura sakit, sini ku bawa jemurannya ke dalam. Nenek obati saja kaki Zura," ucap Azzam sesaat setelah menghampiri sang nenek.
"Loh, kakimu kenapa Nak?" tanya Aminah perihatin, dengan perlahan ia menyerahkan jemuran baju itu pada Azzam.
"Sini, nenek bersihkan dulu," Aminah menggendong Azzura dengan susah payah, lalu meminta Azzam untuk berhati-hati saat masuk ke dalam rumah. Rumah mereka masih beralaskan tanah, bahkan ada beberapa tempat yang bergelombang tidak rata. Aminah tidak ingin, Azzam sampai jatuh dan ikut sakit pula.
Sampai di dalam kamar, Azzam meletakkan jemuran itu di atas ranjang. Mereka semua tidur ditempat ini bersama-sama.
Tak langsung keluar, Azzam malah berniat untuk menggeledah kamar ini secara diam-diam. Mencari sesuatu yang mungkin bisa menjadi petunjuk tentang ayahnya.
Hati-hati, Azzam mulai menggeledah lemari satu-satunya di kamar ini. Namun sayang, ia tidak menemukan apapun.
Melihat kesana kemari, mencari tempat yang mungkin menjadi penyimpanan sang ibu.
Tas ransel yang nampak lusuh, tergantung di balik pintu.
Tanpa menunda, Azzam segera memeriksa tas itu. Semua katong dirogohnya dengan teliti. Hingga tangan kecilnya menemukan sesuatu yang aneh.
Dilihatnya, sebuah kancing yang nampak bersinar. Azzam tahu, ini adalah berlian.
Tidak mungkin ini milik ibu kan? batinnya.
Terus, Azzam memperhatikan kancing itu dengan lekat. Memindai tiap sisinya dan menyimpannya di dalam ingatan. Besok, ia akan meminta bantuan Labih dan Nanjan untuk mencari tahu perihal itu.
Setelah mengembalikan kancing itu pada tempatnya, Azzam keluar dari dalam kamar dengan biasa saja, seolah tidak terjadi apa-apa.
Jika itu punya ayah, apa artinya ayah orang kaya? batin Azzam penuh tanda tanya.
Ia menghampiri adik dan neneknya di kursi teras rumah, menunggu sang ibu yang sebentar lagi akan pulang.
Tapi sayang, hingga jam 5 sore ibu mereka tak kunjung datang. Bahkan Aminah sudah selesai memasak makan malam, Azzura dan Azzam pun sudah mandi bersih.
"Ibu kalian belum pulang juga?" tanya Aminah, ia datang dari arah dalam rumah. Sementara Azzam dan Azzura duduk rapi menunggu sang ibu.
"Belum Nek," jawab Azzura lesu.
"Ibu kalian pasti ke hutan lagi, ayo kita tunggu di dalam," ajak Aminah yang sudah begitu menghapal Haura.
Bagi ibu beranak dua itu, Hutan sudah seperti taman. Ia bebas keluar masuk tanpa takut apapun.
Serentak dengan adzan magrib, Haura baru sampai di rumah. Ia banyak sekali membawa jamur dan buah-buahan untuk sang anak.
Azzam dan Azzura begitu menyukai buah itu. Haura tersenyum, lelahnya terbayar lunas kala melihat anaknya makan dengan begitu lahap dan bahagia.