NovelToon NovelToon
Merebutnya Kembali Bersamaku

Merebutnya Kembali Bersamaku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Cinta Terlarang
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Anna

seorang wanita muda yang terjebak dalam kehidupan yang penuh rasa sakit dan kehilangan, kisah cinta yang terhalang restu membuat sepasang kekasih harus menyerah dan berakhir pada perpisahan.
namun takdir mempertemukan mereka kembali pada acara reuni SMA tujuh tahun kemudian yang membuat keduanya di tuntun kembali untuk bersama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

episode 23

 Udara di rumah Raka terasa hangat dan penuh kehidupan, suara anak-anak Raka yang ceria terdengar di ruang tamu, Ayana telah mengirimkan surat gugatannya kepada devano kemarin,mungkin di perkirakan akan sampai pada hari ini. Ayana hanya berharap semoga segalanya tidak akan serumit yang di bayangkannya.

 Ayana turun dari kamar, bergabung dengan sarapan sederhana bersama kakaknya, Raka, dan keluarga kecilnya. Kehangatan itu seolah menawarkan ketenangan sesaat dari keruwetan hidupnya.

Namun, meskipun wajahnya tersenyum, pikirannya terus berkecamuk. Ia tahu perjalanannya belum selesai. Gugatan cerai yang ia kirimkan tidak akan berjalan mudah, apalagi dengan ibunya dan Devano yang terus menentangnya.

di rumah yang damai itu Ayana ingin memanfaatkan waktu itu untuk duduk di teras, menikmati secangkir teh hangat. Tapi ketenangan itu tak bertahan lama. Ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk—dari ibunya.

"“Ibu sudah bilang, Ayana. Jangan keras kepala. Pernikahan itu harus diperjuangkan. Devano itu suami yang baik, cuma perlu waktu untuk memperbaiki semuanya. Jangan egois!” Nada ibunya terdengar dingin, bahkan mengintimidasi. Seperti biasa ibunya selalu berkata langsung ke intinya, tanpa memedulikan perasaan dan kondisinya.

Ayana mencoba menjelaskan, “Bu, ini bukan soal waktu atau memperbaiki. Pernikahan ini sudah tidak sehat untuk kami berdua. Aku tidak ingin Devano terus terluka, dan aku juga ingin membebaskan diriku.”

Namun, ibunya membalas dengan ketegasan, “Devano pasti akan berbicara dengan pengacara. Dia tidak akan membiarkanmu menceraikannya begitu saja. Kamu pikir ini hanya soal kamu saja? Ini tentang keluarga, Ayana. Tentang harga diri kita!”

Ayana terdiam. Kata-kata ibunya menusuk, tetapi ia tahu tidak ada gunanya berdebat panjang. Akhirnya, ia hanya menghela napas berat sebelum menjawab singkat, “Bu, aku tahu apa yang aku lakukan. Tolong hargai pilihanku.”

"persetan dengan pilihanmu, pilihanmu hanyalah sebuah kesesatan,kau menceraikan devan hanya karna ingin bersama dengan si brengsek itu kan?" ibunya terus menyudutkan ayana seperti ayana hanyalah orang asing bagi ibunya sendiri yang tak terlihat begitu penting dan berharga di mata ibunya.

Ayana terlalu lelah untuk berdebat dengan ibunya yang tak bisa mengerti, baginya pembicaraan itu berlangsung pun akan tetap percuma, ayana memilih mematikan sambungan teleponnya tanpa ingin berdebat terlalu lama

Belum selesai menenangkan dirinya setelah percakapan itu, ponsel Ayana kembali berbunyi. Kali ini, sebuah pesan masuk dari Devano:

"Ayana, aku tahu aku banyak salah. Tapi aku tidak ingin menyerah begitu saja. Izinkan aku bicara denganmu, dari hati ke hati. Aku ingin memperbaiki semuanya. Kumohon, beri aku kesempatan terakhir."

Ayana membaca pesan itu berkali-kali. Kata-kata Devano terdengar tulus, berbeda dari sikap kerasnya belakangan ini. Tapi di sisi lain, Ayana tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Devano juga telah berbicara dengan pengacara, seperti yang disebut ibunya. Apakah ini bentuk keputusasaan? Atau taktik lain untuk membuatnya menyerah?

Ayana terjebak dalam kebingungan. Ia tahu keputusan ini harus dibuat dengan kepala dingin, tetapi tekanan dari berbagai arah membuatnya merasa terhimpit. Pandangannya menerawang jauh, berharap ada jawaban di balik kekalutan ini.

Hari itu terasa panjang bagi Ayana. Setelah percakapan dengan ibunya dan pesan dari Devano, ia menghabiskan waktu di kamar, memikirkan langkah berikutnya. Namun, pikirannya terus berkecamuk, tidak memberikan ruang baginya untuk benar-benar tenang.

___

Di ruang keluarga, Raka duduk membaca berita di tablet-nya, sementara istrinya menonton televisi. Ayana memutuskan untuk keluar sebentar, menghirup udara malam di taman kecil depan rumah.

Saat itu, bel rumah berbunyi. Suara itu memecah keheningan malam. Ayana menoleh ke arah pintu, ragu sejenak, tetapi kemudian berjalan ke depan untuk membukanya.

Ketika pintu terbuka, tubuh Ayana seketika membeku. Di hadapannya berdiri Devano, wajahnya penuh dengan kelelahan sekaligus ketegangan. Aroma parfum yang biasa digunakannya bercampur samar dengan sisa bau alkohol, meskipun kali ini lebih terkendali.

“Boleh aku masuk?” tanya Devano, suaranya serak namun tenang, seperti seseorang yang sudah lama memikirkan kata-katanya sebelum tiba di sini.

Raka, yang mendengar suara dari depan, segera bangkit dan mendekati mereka. Pandangannya tajam, seolah melindungi adiknya dari potensi konflik. “Apa yang kamu lakukan di sini malam-malam begini?” tanya Raka tegas, berdiri di samping Ayana.

Devano menatap Raka dengan serius, lalu kembali menoleh ke Ayana. “Aku hanya ingin bicara. Tidak lebih. Aku tidak akan memaksa jika Ayana tidak mengizinkan.”

Ayana terdiam, pikirannya bergejolak. Ia tahu tidak ada gunanya terus menghindar, tetapi kehadiran Devano di rumah Raka membuatnya merasa tidak nyaman. Bagaimanapun juga, ini adalah ruang yang seharusnya menjadi tempat aman baginya.

Raka memandang adiknya, menunggu Ayana memberikan keputusan. Setelah beberapa saat, Ayana mengangguk pelan. “Kita bicara di luar,” ujarnya, keluar sambil menutup pintu di belakangnya agar Raka tidak mendengar percakapan mereka.

Mereka berdiri di bawah lampu teras, bayangan mereka memanjang di lantai. Devano menghela napas sebelum memulai.

“Ayana... aku tahu aku sudah banyak menyakitimu. Aku juga sadar aku bukan suami yang baik,” katanya dengan suara rendah, penuh beban. “Tapi aku tidak bisa begitu saja melepasmu. Aku mencintaimu. Aku tahu aku terlambat menyadarinya, tapi aku ingin memperbaikinya.”

Kata-kata Devano terdengar tulus, namun Ayana hanya menunduk, menggigit bibirnya untuk menahan emosi. “Devano, aku... aku tidak bisa. Aku sudah mencoba, tapi kita tidak bahagia. Aku tidak mau terus menyiksa diri kita berdua. Ini bukan soal siapa yang salah. Kita berdua tahu ini sudah berakhir,” balasnya, suaranya gemetar namun tegas.

Merasa terdesak Devano melangkah mendekat, tangannya terangkat seolah ingin menyentuh Ayana, tetapi ia ragu. “Kalau ini tentang Biantara... aku bisa berubah, Ayana. Aku bisa jadi suami yang lebih baik. Jangan tinggalkan aku demi dia,” ucapnya, suaranya kini mengandung nada putus asa.

Ayana mengangkat wajahnya, menatap Devano dengan mata yang berkaca-kaca. “Ini bukan tentang Biantara. Ini tentang aku. Tentang kita. Aku butuh kebahagiaan, Devano, dan aku tahu kamu juga membutuhkannya. Tapi kebahagiaan itu tidak ada di pernikahan kita.”

Devano terdiam. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang campur aduk antara marah, sedih, dan tidak percaya. Ia menatap Ayana sejenak sebelum akhirnya berkata pelan, “Kalau itu keputusanmu, aku akan melawannya. Aku tidak akan menyerah begitu saja.”

Devano berjalan menjauh, meninggalkan Ayana yang kini berdiri sendirian di bawah bayangan lampu teras. Perkataan terakhirnya menggantung di udara, memberikan Ayana firasat bahwa perjalanan menuju kebebasan akan jauh lebih sulit daripada yang ia bayangkan.

Ayana memejamkan matanya sejenak, merasakan angin malam yang dingin menusuk kulitnya. Semua ini terasa seperti beban yang terlalu berat untuk ditanggung. Ia memang sudah menduga sejak awal bahwa proses ini tidak akan berjalan mulus, tetapi Devano yang selama ini tampak pasif ternyata memiliki sisi keras kepala yang tak terduga.

Langkah kaki Devano yang menjauh masih terngiang di telinganya. Kata-katanya, “Aku tidak akan menyerah begitu saja,” terus menggema dalam pikirannya, menambah tekanan pada hatinya yang sudah rapuh.

Ayana menarik napas dalam-dalam sebelum kembali masuk ke dalam rumah. Raka sudah menunggunya di ruang tamu dengan tatapan penuh tanya. “Apa yang dia katakan?” tanya Raka singkat, suaranya rendah namun penuh perhatian.

Ayana duduk di sofa, memijat pelipisnya yang mulai berdenyut. “Dia bilang dia tidak akan menyerah. Dia akan melawan gugatan cerai ini.”

Raka mendengus pelan. “Sudah kuduga. Tapi dengar, Ayana. Kamu tidak sendirian. kakak akan mendukungmu, apa pun yang terjadi. Jangan biarkan dia mengintimidasi atau membuatmu ragu dengan keputusanmu.”

Ayana menatap kakaknya, merasa sedikit lega mendengar dukungan itu. Namun, perasaan frustasinya tetap tidak hilang. Ia menggeleng pelan. “Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku tidak ingin menyakiti siapa pun, kak. Tapi aku juga tidak bisa terus seperti ini. Rasanya seperti terjebak di tempat yang sama tanpa jalan keluar.”

Raka menepuk bahu Ayana, mencoba menyemangatinya. “Setiap keputusan besar pasti ada konsekuensinya, Ayana. Kamu tahu itu. Tapi ingat, yang kamu perjuangkan ini adalah hakmu. Hidupmu. Jangan biarkan rasa bersalah membuatmu menyerah. Kamu pantas bahagia, dan kamu sendiri yang harus meraih kebahagiaan itu.”

Kata-kata Raka menusuk hati Ayana. Ia sadar, semua ini memang pilihannya. Namun, perasaan bersalah kepada Devano,melawan ibunya, dan bahkan untuk Biantara membuatnya seperti membawa beban tiga kali lipat. Ia hanya ingin menemukan kebahagiaan tanpa harus melukai siapa pun.

Ayana kembali ke kamarnya malam itu, mencoba merenungkan semuanya. Namun, rasa frustasi yang terus membayanginya mulai membuatnya lelah secara emosional. Dalam benaknya, ia bertanya-tanya Seberapa jauh aku harus pergi untuk menemukan kebahagiaan itu? Dan apakah aku cukup kuat untuk melawan semuanya?

1
Duta Ajay
tetep semangat berkarya yah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!