Kamu pernah bilang, kenapa aku ngga mau sama kamu. Kamu aja yang ngga tau, aku mau banget sama kamu. Tapi kamu terlalu tinggi untuk aku raih.
Alexander Monoarfa jatuh cinta pada Rihana Fazira dan sempat kehilangan jejak gadis itu.
Rihana dibesarkan di panti asuhan oleh Bu Saras setelah mamanya meninggal. Karena itu dia takut menerima cinta dan perhatian Alexander yang anak konglomerat
Rihana sebenarnya adalah cucu dari keluarga Airlangga yang juga konglomerat.
Sesuatu yang buruk dulu terjadi pada orang tuanya yang ngga sengaja tidur bersama.
Terimakasih, ya sudah mampir♡♡♡
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma AR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Waktu yang dibutuhkan Aurora
Dewan terdiam keluar ruangan bersama putrinya. Suara kasak kusuk langsung terhernti.
"Daiva, ada apa?" tanya Dewan langsung ketika melihat menejer keuangan sekaligus ponakannya yang tampak berbicara serius dengan stafnya. Wajah mereka terlihat tegang.
"Eh, emm... ngga ada apa apa, Om. Lagi ngecek data keuangan aja," bohongnya. Tadinya dia sedang memberikan peringatan pada para stafnya dan karyawan yang melihat kepergian Alexander bersama dengan pegawai baru itu harus mengunci mulutnya.
Dia ngga mau Omnya menjadi bos yang nantinya akan bersikap ngga adil, jika mengetahui kenyataan kalo Alexander yang dipuja puja putrinya lebih memilih pegawai yang baru bekerja beberapa hari di perusahaan miliknya
Daiva merasa terketuk hatinya untuk melindungi gadis yang sudah dua kali dia lihat menangis.
Rasanya ngga tega aja melihatnya akan menangis lagi. Lagian sepertinya Alexander yang tampak jelas mengejar dirinya.
Daiva menghembuskan nafas lega sampai memasuki lift yang terbuka di sebelah lift omnya berada. Begitu juga stafnya mengikutinya.
Hanya saja yang ngga Daiva tau saat pintu lift yang ditunggu Om dan sepupunya terbuka, Mami Alexander yang datang.
"Tante," sapa Aurora hangat.
Mami Alexander tersenyum melihat Aurora sangat bahagia melihat kedatangannya. Padahal kabar yang akan dia bawa bisa mencoreng kebahagiaan di wajahnya.
"Ada apa? Kamu ngga bertemu Alex?"
Aurora menggeleng.
"Ngga."
"Tadi Kak Alex pergi agak terburu buru, tante," jelas Aurora.
Aku terlambat, batin mami Alexander kecewa.
"Iya, kan , Pi?" tukas Aurora seakan meminta penegasan dari papinya karena mami Alexander hanya diam saja.
"Betul."
Mami Alexander cepat cepat tersenyum saat tersadar dari keterdiamannya.
"Bisa kita makan siang di ruanganmu saja? Aku sudah melakukan delivery order," pinta Mami Alexander serius
Merasa istri sahabatnya ingin berbicara sesuatu yang penting, dia pun setuju.
Aurora sedikit merasa aneh dengan sikap mami Alexander yang terlihat mengandung banyak beban.
"Bagaimana keadaan tanganmu, sayang?" tanya mami Alexander lembut, penuh perhatian. Inilah menantu yang dia inginkan.
"Sudah mendingan tante," senyumnya hangat.
"Syukurlah," sahutnya lega.
Ngga lama kemudan mereka pun sudah sampai.di ruangan Dewan.
"Mamimu masih di luar negeri?" tanya Mami Alexander sedikit kesal melihat wanita yang sudah melahirkan putri secantik dan selembut Aurora sangat gemar foya foya dan menelantarkan anaknya.
"Minggu depan mami pulang, tante," ucap Aurora tenang. Menyembunyikan rasa sedih di hatinya mengingat keadaan mental maminya yang ngga stabil karena ngga pernah mendapatkan perhatian papinya.
Karenanya maminya lebih suka melakukan travelling untuk menyembunyikan kedukaannya dengan cara itu.
Ternyata Papi Alexander sudah menunggu di ruangan Dewan. Dan delivery ordernya pun sudah datang.
Ada sate ayam bumbu kacang, soto kwali solo dan nasi liwet.
"Sudah lama?" basa basi Dewan sambil tersenyum.
Papi Alexander tertawa lepas.
"Lumayan."
"Mana Alexander?" Papi Alexander, Afif Suhendrata menatap wajah sahabat dan putrinya heran.
Katanya meeting di sini?
"Alexander sudah pulang duluan. Aku mengira dia janjian dengan dirimu," kata Dewan sambil menikmati sate ayamnya.
"Tidak. Aku mengira dia bersama kalian ke sini," ucapnya sambil menatap istrinya yang menggeleng resah.
Aurora diam sambil menikmati sotonya.Tapi status telinganya waspada.
"Anak itu lagi bingung," kata Papi Alexander serius.
"Maksudnya?" Dewan menghentikan suapan lontongnya.
"Aku rasa Alex sudah menyukai Aurora. Tapi dia belum sadar."
DEG
Aurora hampir saja keselek. Dia segera mengambil minuman dan meneguknya pelan.
Benarkah? Harapannya yang mulai layu akan sikap cuek Alexander tadi mulai merekah segar.
"Sekarang dia pasti sedang menemui kekasihnya, minta maaf mungkin, atas lejadian itu," kekeh Afif santai.
Dewan tersenyum mengerti.
Kesalahan Alexander sangat fatal. Dia bahkan sampai lupa kalo dia datang bersama kekasihnya. Malah lebih mengutamakan keselamatan putrinya.
"Kamu tenang saja, Aurora. Dia pasti akan kembali dengan kamu," kata mami Alexander yakin.
Aurora tersenyum lega.
Ini hanya masalah waktu, batin Aurora berusaha sabar.
"Hanya aku penasaran. Siapa perempuan bodoh yang mau saja memaafkan kesalahan Alexander begitu saja," cetus Dewan sambil botol minumannya. Dengan nada sedikit merendahkan.
Mami dan Papi Alexander tersenyum miring.
"Mendapatkan perhatian kecil Alexander bagi perempuan di luar sana merupakan berkah," ucap Papi Alexander pelan.
"Pasti akan selalu dimaafkanlah. Demi status dan hidup yang lebih baik, kan?," cela mami Alexander terkekeh.
"Benar. Kata Alex, dia tinggal di panti asuhan. Pasti banyak uang yang dia butuhkan. Susah kalo hanya mengandalkan dana donatur," sambung Papi Alexander juga terkekeh.
"Sebenarnya aku cukup bersimpati saat tau keadaannya. Malah aku siap jadi donatur panti asuhannya. Dia ngga perlu berusaha memikat Alex," tawa Papi Alexander lagi melanjutkan.
Dewan pun tertawa kecil. Dia masih penasaran siapa sebenarnya pegawai baru itu. Bahkan putrinya pun ngga mau memberitaunya.
Ya, siapa yang ngga mau dan ngga bangga menyandang status sebagai pacar Kak Alrxander. Apalagi hanya orang biasa, decih Aurora dalam hati ikut mencela.
Uang dan kekuasaan pasti akan menggampangkan penerimaan pernintaan maaf, lanjutnya.
"Aku mau pergi bentar," kata Mami Alexander.
"Kemana tante? Aku boleh ikut?" tanya Aurora sambil bangkit dari duduknya. Dia sudah menyelesaikan makan siangnya.
"Boleh, ayo," ajak Mami Alexander.
"Hati hati sayang," ucap Papi Alexander lembut.
"Iya, kalian hati hatilah," sambung Dewan sambil melihat putrinya dan istri sahabatnya.
"Ya, papa," balas Aurora dengan senyum manisnya.
Berdua mereka meninggal ruangan Dewan dan memasuki lift yang terbuka.
Dan saat lift terbuka, mereka bertemu Rihana.
Dalam hati mama Alexander ada secuil rasa bersalah. Karena beliau merasa kalo Rihana beda dengan gadis gadis yang selama ini mendekati Alexander.
Jika saja Rihana bukan saingan Aurora, pasti dia bisa menerima.gadis itu dengan baik.
Setelah kepergian istri sahabatnya dan putrinya, Dewan menatap Papi Alexander-Afif Suhendrata tajam.
"Apa kamu belum tau siapa pegawai baru itu?" tebak Papi Alexander merasa yakin.
"Belum."
Tawa Papi Alexander meledak.
"Ngga ada yang mau ngasih tau ke aku," jawab Papi Aurora agak kesal. Bahkan putri kesayangannya pun merahasiakannya. Ngga tau karena apa. Dan untuk apa.
"Baiklah, akan aku katakan," jawab Papi Alexander setelah beberapa menit kemudian tawanya reda.
"Namanya Rihana Fazira."
DEG
Gadis itu? Dewan langsung cepat mengingatnya.
Gadis yang selalu mengganggu pikirannya
Tapi rasanya ngga mungkin, bantahnya dalam hati. Karena gadis itu kelihatan bukan seperti penggoda laki laki kaya.
"Kalo kamu sudah tau wajahnya, pasti ngga akan nyangka kalo dia yang menggoda Alexander."
Dewan terdiam, dalam hati setuju.
Alexander yang terpikat dengannya?
"Mungkin dulu waktu SMA, mereka pernah punya cerita manis. Tapi sekarang, who knows?" sambung Papi Alexander lagi. Dia membuang nafasnya kasar.
Dewan masih terdiam. Bingung, apa yang harus dia lakukan.
Menyingkirkannya?
*
*
*
Rihana merasa lega karena ngga ada satu pun yang menanyakan kedekatannya dengan Alexander. Tapi Rihana tetap saja merasa aneh karena semuanya terlihat tetap tenang. Seolah ngga ada kejadian besar yang terjadi.
Padahal banyak karyawan yang melihat kebersamaannya dengan Alexander. Mereka seperti sedang dibungkam. Ngga tau oleh siapa.
Sebentar lagi jam pulang. Rihana dengan cepat merapikan meja kerjanya. Puspa memintanya main ke rumah karena omanya ingin bertemu.
Seakan ada air yang sangat dingin menetes di hati keringya.
Bertemu oma, opa, dan melihat keceriaan mamanya dalam foto foto keluarga sempurna yang tersusun rapi.
Rindunya.
Andai saja bisa mengaku, pasti akan dilakukannya.
Tapi apa mereka akan percaya?
Selalu itu saja yang menjadi sumber ketakutannya.