Andara Mayra terpaksa menerima perjodohan dengan seorang pria yang sudah dipilihkan oleh ayahnya.
Namun dibalik perjodohan yang ia terima itu ternyata ia sudah memiliki kesepakatan sebelumnya dengan sang calon suami. kesepakatan jika setelah satu tahun pernikahan, mereka akan bercerai.
akankah mereka benar-benar teguh pada kesepakatan mereka? atau malah saling jatuh cinta dan melupakan kesepakatan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiwit rthnawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
apakah aku hamil?
"Bi, mas Bara udah bangun?"
"Belum non."
"Hah belum?"
Aku langsung menuju kamarnya. Kulihat ia tertelungkup sembarang.
"Mas." Aku membelai kepalanya pelan. Namun aku terkejut karena kepalanya panas sekali.
"Ya ampun mas. Kamu panas sekali."
"Kamu udah pulang?" Ia terlihat lemah.
"Aku kira mas gak akan kayak gini." Aku menatapnya khawatir. Akupun membantu membenarkan posisi tidurnya.
"Aku gak papa. Aku cuma mual."
"Kita ke dokter ya?"
"Aku gak mau. Aku gak butuh dokter. Aku cuma butuh kamu." Ia menolak seperti anak kecil. Ia malah merengkuh pinggangku dan menempatkan kepalanya diatas pangkuanku. Ah tubuhnya panas sekali.
Matanya kembali terlelap diatas pangkuanku. Aku hanya bisa mengelus kepalanya lembut. Kasihan sekali dia. Dia nampak lemah tak berdaya.
"Jangan pergi may. Jangan tinggalin aku." Kulihat matanya yang masih terpejam. Apa dia mengigau. Ku pegang kepalanya yang terasa semakin panas. Aku meminta bi sumi membawakan air kompres untukku mengompres mas Bara.
Jam berputar dengan cepat. Aku ingat dengan janji makan malam bersama kak satria dan keluarganya. Tapi keadaan mas Bara yang seperti ini. Aduh aku harus gimana. Aku tak mungkin juga meninggalkan mas Bara yang seperti ini.
Akhirnya dengan berat hati aku mengirimkan pesan pada kak Satria. Aku meminta maaf tak bisa hadir karena ada masalah darurat. Untung saja kak satria mengerti.
Aku terlelap dengan posisi yang masih sama, terduduk dengan tubuh menyandar pada kepala ranjang milik mas Bara. Kepala mas Bara masih begitu nyaman berada diatas pangkuanku. Ah, rasanya aku tak tega melihatnya. Lama memandangnya tak terasa aku terlelap.
Aku mengeratkan pelukanku pada guling. Eh tunggu, kenapa keras sekali gulingnya. Mataku terbuka. Kulihat mas Bara sedang menatapku hangat. Sontak aku terkejut dan menjauhkan diri. Kenapa aku bisa tidur dengan memeluknya.
"Mas Bara udah gak panas kan?" Aku memegang keningnya yang sudah mendingin. Tapi ia malah memegang tanganku dan menggenggamnya dengan kedua tangannya. Ia tersenyum dan mencium tanganku pelan.
"Makasih ya. Makasih banyak. Terimakasih sudah menjadi istri yang sangat baik untukku." Ia menatapku sendu. Aku menarik tanganku dari genggamannya.
"Ini sudah pagi. Mas Bara tidur lagi aja. Aku akan buatkan sarapan untuk mas."
Aku beranjak pergi meninggalkannya.
Sup iga kesukaan mas Bara sudah tersaji diatas meja. Kulihat ia turun dengan keadan yang lebih fres daripada kemarin.
"Euum pasti sangat lezat." Ia duduk persis dihadapan sup iga yang sudah kubuat.
"Gak mual?" Aku menatapnya khawatir.
"Enggak. Aku lapar." Ia menatapku memohon. Akupun mengerti. Kusiapkan piring tak lupa aku juga mengambilkannya nasi.
"Terimakasih istriku yang cantik." Ia tersenyum memujiku. Yeah siapa yang tak suka dipuji kan. Meski hatiku mencoba menolak, tetap saja aku bahagia mendengarnya.
"Eeeum. Ini memang sangat lezat." Ia nampak lahap menikmati makanannya. Bahkan ia sampai tak ragu untuk menambah makananya.
"Emang selapar itu ya?"
"Iya. Apalagi makananya enak. Ditambah ditemani kamu. Ah aku mencintaimu sayang." Ia tersenyum dan mengecup pipiku sekilas. Dia memang pandai mengobrak abrik hatiku. Lihatlah, perlakuannya yang seperti itu membuatku kembali melayang. Tinggal menunggu waktu ia menjatuhkanku lagi nanti.
Kami kembali berangkat ke kantor bersama. Seperti waktu itu, semua karyawan kembali berbaris rapi. Alamat ada kakek wijaya lagi kali ini.
Dari jauh aku bisa melihat kakek wijaya dan pasukannya datang. Kulihat kak Satria juga berjalan dengan gagah di samping kakek.
"Selamat pagi semuanya. Seperti yang sudah saya bilang jika cucu saya, Satria Bima Hardi Wijaya akan menjadi wakil direktur di perusahaan ini. Dan akan memulai pekerjaannya hari ini. Jadi saya harap kerjasama dari kalian untuk membantu cucu saya ini."
Kulihat kakek wijaya menepuk pundak kak Satria bangga. Tubuhku menegang mencerna ucapan kakek Wijaya. Satria Bima Hardi Wijaya. Jadi kak Satria adalah cucu kakek wijaya juga. Anak dari om Hardi wijaya. Oh tuhan, takdir macam apa ini. Kenapa aku baru tahu tentang ini. Kenapa aku gak peka saat kak Satria dan mas Bara saling mengenal. Tidak tidak. Aku tak bisa melanjutkan hubungan ini, bagaimana bisa aku menjalin hubungan dengan kedua cucu kakek wijaya. Apalagi hubungan mas Bara dengan om Hardi yang tak baik, aku tak bisa menambah keruh hubungan keluarga ini dengan mempertahankan hubungan bersama kak Satria.
Semua karyawan bersalaman dengan kak Satria, dan sekarang giliranku. Aku menatapnya sendu. Kenapa kamu gak bilang siapa dirimu kak.
"Hai. Selamat bekerjasama ya sayang." Ia berbicara pelan dengan tersenyum menjabat tanganku. Aku hanya mengangguk ragu dan menundukkan wajahku. Bagaimana ini.
Setelah penyambutan wakil direktur baru, semua karyawan kembali pada pekerjaan masing-masing. Tapi tunggu, tak kulihat mas Bara diantara para petinggi tadi. Kemana dia.
Kucoba menghampiri ruangannya. Kudengar ia kembali muntah didalam toilet.
Kuberanikan masuk ke dalam.
"Masih mual?" Kutatap ia yang baru keluar.
"Orang-orang itu bau banget. Aku mual bersama mereka." Aku mengeryit bingung. Aneh banget penyakitnya.
"Kita ke dokter yah?"
"Gak mau."
"Ya sudah. Biar dokternya yang ke sini."
"Enggak enggak enggak. Masa iya dokter kesini."
"Ya udah makannya kedokter."
"Kamu yang antar tapi."
"okey."
Akhirnya aku mengantar mas Bara ke rumah sakit.
"Bagaimana dok?"
"Kondisi bapak baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda masuk angin atau keracunan. Hanya saja mungkin bapak sedikit dehidrasi karena terlalu sering muntah."
"Tapi kenapa saya mual terus ya dok? Bau makanan saya mual. Bau pewangi mobil dan ruangan juga mual. Bahkan bau semua parfum saya mual. Hanya bau istri saya dan masakan istri saya yang membuat saya gak mual." Dokter itu nampak tersenyum.
"Kok bisa ya pak. Seperti gejala wanita yang sedang hamil saja. Apa jangan-jangan bapak sedang hamil?" Dokter itu sedikit bercanda pada mas Bara.
"Masa laki-laki hamil sih dok." Mas Bara nampak mendengus kesal.
"Kalau begitu mungkin istri anda yang sedang hamil pak." Sontak tubuhku langsung menegang mendengar ucapan dokter.
Apa benar aku hamil? Mengingat rasanya sudah lama aku tak datang bulan. Apakah iya aku hamil? Aku mengusap perut rataku pelan. Ya tuhan. Apakah benar ada benih mas Bara yang tumbuh di rahimku.
"Saya bukan dokter kandungan. Tapi saya pernah mendengar ada kasus yang sama seperti yang bapak alami ini. Biasanya kasus ini terjadi pada suami yang sangat mencintai istrinya." Aku menatap mas Bara. Apa benar jika dia sangat mencintaiku.
"Namanya kehamilan simpatik. Istrinya yang hamil, tapi suaminya yang ngidam, termasuk morning sickness akan dialami oleh suaminya."
"Apa benar sayang, kamu lagi hamil?" Kulihat mas Bara berbinar menatapku. Aku menggeleng. Aku tak tahu mas.
"Apa maksudnya menggeleng? Tidak hamil atau tidak tahu?" Aku bingung.
"Yya tidak hamil lah." Aku menjawabnya gugup.
Sisa pernikahanku tinggal satu bulan lagi. Dan jika memang benar aku hamil, aku tidak ingin gara-gara kehamilanku ini mas bara tidak mau menceraikanku. Bukan, bukan karena aku yang ingin menikah dengan kak Satria, tapi aku tak ingin jika mas Bara mempertahankan pernikahan kami hanya gara-gara ia kembali merasa keberatan seperti saat ketika ia telah mengambil keperawananku. Aku tidak ingin ia membohongi dirinya dan diriku hanya karena itu.
"Bener?" Ia menatapku ragu.
"Yyya bener lah."
"Ya sudah kalau begitu. Biar saya resepkan vitamin dan Pereda mual."
"Baik dok."
Mas Bara terus menatapku. Ia seolah masih penasaran apakah aku benar-benar tidak hamil.
"Kapan kamu terakhir datang bulan?" Tuh kan benar kataku, ia masih tak percaya.
"Setelah mas memaksaku waktu itu. Ingat kan mas pernah memaksaku?" Aku tak berani menatapnya. Takut ia mampu membaca mataku. Sepertinya aku harus memiliki julukan baru. Julukan sebagai tukang kibul.
Ia kembali diam. Ia seperti sedang membujuk dirinya agar percaya padaku.
Tak lama ponselnya berbunyi.
"Ya?"
"Aku ada di rumah sakit."
"Aku gak papa kok an."
"Oh ya? Ya sudah aku kembali ke kantor kalau kamu ada di sana."
Kulihat ia menutup panggilannya.
"Ayo."
Kamipun kembali ke kantor. Mas Bara langsung ke ruangannya, sementara aku, aku masih penasaran apakah aku benar-benar hamil?
Untung saja pas menebus obat mas Bara di apotek tadi aku sempatkan juga untuk membeli tes pack. Aku benar-benar tak sabar menunggu besok.