Tidak pernah terbersit di pikiran Mia, bahwa Slamet yang sudah menjadi suaminya selama lima tahun akan menikah lagi. Daripada hidup dimadu, Mia memilih untuk bercerai.
"Lalu bagaimana kehidupan Mia setelah menjadi janda? Apakah akan ada pria lain yang mampu menyembuhkan luka hati Mia? Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Power Of Mbak Jamu. Bab 9
"Ibu" Mia terkejut ketika pintu terbuka seorang wanita yang di sorot lampu teras menatap Mia tajam.
"Masuk Bu..." dengan rasa hormat dan menjaga sopan santun kepada mertuanya, Mia tetap ramah. Walaupun wanita yang sudah hampir 60 tahun itu pun tidak menjawab sapaanya hanya menyeringai.
Tangan wanita itu di angat tinggi-tinggi hendak menampar pipi Mia, tetapi secepatnya Mia mundur.
"Kurang ajar kamu wanita mandul, berani-beraninya mengganggu ketentraman rumah tangga anak dan menantu saya. Kalau sudah cerai ya sudah, jangan lagi iri!" Tuding bu Maya dengan wajah merah padam.
Hati Mia bagai di hujam pisau, tiap kali mendengar Maya mengatakan bahwa dia mandul yang sudah kesekian kalinya.
"Tunggu-tunggu, maksud ibu... saya mengganggu bagaimana?" Mia mengerutkan kening.
"Jangan pura-pura tidak tahu kamu! Gara-gara kamu tadi mengajak ketemuan Slamet, saat ini mereka bertengkar hebat. Puas kamu!" Ibunya Slamet memaki-maki Mia di depan pintu tidak mau masuk.
"Lebih baik ibu masuk dulu, nanti saya jelaskan" Mia khawatir suara mertuanya yang seperti gluduk nyambar-nyambar itu mengganggu tetangga.
"Apa yang akan kamu jelaskan! Semua sudah jelas, kamu merayu Slamet ingin rujuk bukan? Dari dulu sudah saya katakan, tidak sudi mempunyai menantu yang tidak bisa memberikan saya cucu," kata demi kata penghinaan ibu Maya membuat telinga Mia memerah. Namun, apalah daya, Mia tidak mampu melawan orang yang lebih tua terutama dia adalah orang tua Slamet.
Tak tak tak.
Saat sedang puncaknya ibu Slamet memaki-maki Mia, datang Slamet dengan napas terengah-engah.
"Ibu, kenapa kesini?" Slamet menoleh Mia merasa malu akan ulah ibunya.
Bu Maya membuang wajahnya kasar dari tatapan Slamet, bukan hanya dengan Mia saja dia marah, dengan Slamet pun rupanya kesal.
Slamet menarik napas panjang, ibunya memang sedang marah kepadanya. Ketika Slamet bertemu Mia tadi pagi, Ranti dibakar api cemburu, lalu mengadu kepada ibu Maya. Di lebih-lebih kan tentu saja, hingga memicu pertengkaran.
"Sekarang lebih baik kita pulang Bu," Slamet berbicara hati-hati. Bu Maya pun menyentak kakinya lalu pergi.
"Mia... maafkan Ibu ya" ujar Slamet, menatap Mia sendu. Dia merasa bersalah dengan Mia karena sang ibu sudah membuat keributan di rumahnya.
Mia sendiri masih bingung dengan kejadian ini, sudah bercerai pun masalahnya dengan keluarga Slamet belum selesai.
"Pergilah Mas" usir Mia menatap kosong ke arah lain tidak mau menatap Slamet dan banyak bicara .
Slamet pun akhirnya pergi, setelah sekali lagi minta maaf kepada Mia. Mereka tidak tahu jika di rumah sebelah mendengar pertengkaran mereka. Setelah Slamet pergi dia lantas keluar.
"Mia, jadi brgini sikap mertua kamu selama ini ..." ucap Putri kesal, sebagai wanita dia ikut merasakan sedih jika diperlakuan mertua seperti itu.
"Mbak Putri, maafkan aku sudah mengganggu istirahat keluarga Mbak" Mia mengajak putri masuk, lalu duduk di kursi kayu yang saat ini sudah mengkilap karena di gosok dengan amplas oleh Mia.
"Kamu ini, dihina mertua seperti itu diam saja Mia" Putri greget ingin menyahut, tetapi sayangnya dia tidak dibenarkan ikut campur. Kini Putri tahu mengapa alasan Mia dengan Slamet bercerai.
"Hihihi..." Mia tersenyum kecut. Dia mengatakan sudah kebal dengan ucapan mertua. Makanya dia tidak mau ambil pusing.
"Hebat ya kamu Mia" Putri kagum juga, rupanya bukan hanya tubuh Mia yang kuat, tetapi hatinya pun lebih kuat menghadapi rumitnya hidup. Jika Putri menjadi Mia tidak akan kuat menghadapi semua itu.
"Bagi aku tidak ada yang bisa menyayangi diri kita selain orang tua dan kita sendiri Mbak" Mia sekarang lebih senang hidup sebatang kara mengerjakan ini, itu, agar hidupnya terus berjalan daripada terpasung dalam rumitnya hidup berumah tangga dengan Slamet.
"Benar Mia" Putri belajar banyak dari Mia. Satu jam sudah Putri ngobrol bersama Mia lalu pamit pulang.
"Terimakasih Mbak" Putri mengantar sampai pintu. Dia senang di tempat ini punya tetangga sebaik Putri.
Masa bodo dengan persoalan yang selalu mengikutinya. Mia ke dapur ambil makan, walaupun sebenarnya tidak begitu lapar. Tetapi, dengan makan secukupnya tentu akan tidur nyenyak dan segar di pagi hari. Dia tidak mau sakit hanya karena tidak mengisi perut.
Benar saja, pagi hari nya Mia mengerjakan aktivitas dengan semangat. Saat ini dia sudah menggendong bakul hendak berangkat.
"Mau berangkat Mia?" Tanya Putri yang tengah menjemur pakaian.
"Iya, Mbak. Doakan laris"
"Aamiin..."
Mia tersenyum lalu berangkat. Seperti biasanya dia berkeliling di komplek. Kali ini Mia masuk blok yang berbeda untuk memperluas kawasan agar jamunya di kenal bukan hanya orang yang itu-itu saja.
Di tempat itu Mia berpapasan dengan dua orang wanita yang satu sudah lanjut berjalan lambat sepertinya kakinya sakit karena faktor usia. Begitu dekat, Mia terkejut dengan wanita yang pernah bertemu di supermaket.
"Mbak Dona" Mia tersenyum ramah.
"Kamu?" Dona menatap Mia dari atas sampai bawah, dengan ujung bibir dia angkat ke atas. Dona tersenyum remeh akan profesi Mia yang hanya seorang pedagang jamu gendong.
"Mbak jualan jamu pegal linu tidak?" Tanya nenek, seketika pandangan Mia dan Dona beralih ke arah wanita tua itu.
"Ada, Ibu sepuh, Ibu mau?" Mia bertanya lembut.
"Iya, saya Mau" Jawab si nenek.
"Sebaiknya jangan Mam, kita kan nggak tahu jamu buatan Mbak ini bersih atau tidak" Cegah Dona, melempar wajahnya ke arah Mia agar segera pergi dari tempat itu.
"Ibu sepuh jangan khawatir, jamu buatan saya ini dijamin bersih" Mia meyakinkan nenek.
"Saya percaya, ayo kita masuk saja," Nenek pun kembali berjalan di gandeng Dona dengan wajah merengut. Dia masih kesal dengan Mia ketika di kasir supermaket, Vano memperhatikan wanita yang mengikutinya di belakang.
Sementara Mia di belakang berharap bisa bertemu Vano karena akan mengembalikan uang untuk membayar kompor. "Apa aku titipkan Dona saja?" Bati Mia, tetapi dia khawatir Dona justru semakin benci kepadanya karena Vano sudah membayar kompor miliknya.
Greeeeekkkkk.
Pagar hitam pun terbuka, Mia segera tersadar dari lamunan. Tidak ada siapapun yang mendorong pagar tersebut, tatapan mata Mia tertuju ke tangan keriput sang nenek yang memegang remote pembuka pagar.
"Ayo masuk Mbak" kata nenek yang sudah masuk lebih dulu. Mia masih terpaku di pinggir jalan menatap pemandangan rumah mewah dengan segala sesuatu yang gemerlap sebagai penghias.
"Terimakasih Ibu sepuh" Mia mengikuti nenek ke gazebo yang sudah duduk di sana.
Mia menurunkan bakul di lantai, lalu meracik jamu pegal linu seperti pesanan nenek, kemudian mengaduk-aduk dengan sendok kecil.
Nenek memperhatikan cara kerja Mia, yang cekatan dan bersih tentu yakin jika jamu buatan Mia terjamin kebersihannya.
"Ini jamunya Ibu sempuh. Bismillah... semoga ketika Ibu bangun tidur esok pagi, kaki ibu tidak pegal-pegal" Mia lalu berdiri memberikan gelas kepada nenek.
"Terimakasih" Nenek hendak menyeruput jamu.
"Tunggu Mam, Mama yakin mau minum jamu itu" Dona menahan tangan nenek.
"Sudahlah Dona..." nenek menggeleng menatap Dona. Nenek kemudian meneguk jamu hanya sekali teguk langsung habis.
"Ini jahenya untuk penghilang pahit Ibu sepuh" Mia ambil botol tempat jahe, lalu menuang ke gelas nenek.
"Segeer... jamu buatan kamu," puji nenek, lalu ke dalam di temani Dona setelah membayar jamu.
Sementara Mia menggendong bakul kembali hendak keluar. Namun, langkahnya berhenti kala mobil mewah masuk ke halaman.
Tuk tuk.
Seorang pria berpakaian rapi kemeja lengkap dengan dasi dan celana bahan sepertinya orang kantoran.
"Tunggu" cegah Mia, ketika si pria hendak ke dalam rumah.
...~Bersambung~...