NovelToon NovelToon
Angin Dari Gunung Kendan

Angin Dari Gunung Kendan

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Kelahiran kembali menjadi kuat / Budidaya dan Peningkatan / Ilmu Kanuragan / Kultivasi Modern / Toko Interdimensi
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Topannov

"Angin dari Gunung Kendan" adalah kisah epik tentang Rangga Wisesa, seorang pemuda yang hidup sederhana di Desa Ciwaruga tetapi menyimpan dendam atas kehancuran keluarganya. Sebuah prasasti kuno di Gunung Kendan mengubah hidupnya, mempertemukannya dengan rahasia ilmu silat legendaris bernama Tapak Angin Kendan. Dalam perjalanannya, Rangga menghadapi dilema moral: menggunakan kekuatan itu untuk balas dendam atau menjadi penjaga harmoni dunia persilatan. Dengan latar penuh keindahan budaya Sunda dan dunia persilatan yang keras, cerita ini mengisahkan pertarungan fisik, spiritual, dan batin di tengah konflik yang memperebutkan kekuasaan ilmu sejati.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Topannov, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Keberanian Larasati

Rangga berdiri di depan altar batu dengan simbol-simbol kuno yang bercahaya lembut, tetapi pikiran dan indranya terfokus pada suara langkah kaki di kejauhan. Musuh sudah dekat, dan ia tahu pertempuran tak dapat dihindari.

Namun, sebelum Rangga sempat berkata apa-apa, Larasati menyentuh lengannya. “Tunggu,” katanya dengan nada panik. “Simbol ini… apa menurutmu mereka tahu artinya?”

Rangga menoleh, melihat Larasati yang menatap altar dengan ekspresi gugup, tetapi penuh rasa ingin tahu. “Aku tidak tahu,” jawabnya pelan. “Tapi kalau mereka tahu, kita tidak boleh membiarkan mereka mendapatkannya.”

“Apa yang kamu pikirkan?” Larasati bertanya, kali ini dengan nada cemas yang lebih tinggi.

“Tinggal di belakangku,” kata Rangga, matanya kembali ke arah lorong. Ia menggenggam tongkat kayunya erat, napasnya terdengar berat.

Namun, sebelum ia bisa bergerak lebih jauh, suara retakan kecil terdengar di bawah kaki Larasati. “Krek…” Batu tempat Larasati berdiri runtuh sedikit, membuat tubuhnya terhuyung ke belakang.

“Laras!” Rangga bergerak cepat, menangkap tangan Larasati sebelum ia jatuh ke tanah.

“Aku nggak apa-apa!” Larasati berkata cepat, meski wajahnya memucat. “Ini hanya… ya ampun, batu ini seperti mau menelanku!”

“Kamu selalu ceroboh,” Rangga mendesah, meski ada senyum tipis di sudut bibirnya. “Tapi kalau ini caramu menghindari pertempuran, aku rasa cukup efektif.”

Larasati melotot, wajahnya memerah. “Kamu pikir aku sengaja hampir jatuh? Kalau bukan aku, mungkin kamu yang sudah jatuh duluan!”

Rangga terkekeh, meskipun situasinya sama sekali tidak lucu. Tawa kecil itu, bagaimanapun, seolah memberikan mereka momen singkat untuk bernapas di tengah ketegangan.

Namun, suasana itu segera terputus oleh suara yang datang dari lorong. “Deg… deg…” Suara langkah kaki itu kini semakin dekat, diikuti oleh suara berdesir yang tidak wajar, seperti sesuatu sedang menyeret dirinya di atas batu.

“Apa itu?” bisik Larasati, wajahnya kembali serius.

“Bukan manusia,” jawab Rangga pelan. Ia menatap ke arah suara itu dengan mata tajam. Kabut tipis yang menyelimuti ruangan mulai bergerak, memperlihatkan bayangan besar yang menjulang di kejauhan.

Dari kegelapan, sesuatu muncul. Sosok besar, dengan tubuh yang tampak seperti manusia tetapi kulitnya hitam legam dan mengkilap, seperti batu basah. Matanya bersinar merah, dan giginya yang tajam mencuat dari mulutnya yang menganga.

“Demi Dewata…” Larasati berbisik, tubuhnya gemetar.

Makhluk itu melangkah maju, mengeluarkan suara erangan yang rendah dan berat. “Hrrrrhhh…” Udara di sekitar mereka terasa semakin dingin, seolah makhluk itu membawa kegelapan bersamanya.

“Kamu takut?” Rangga bertanya, mencoba menenangkan Larasati.

“T-takut?” Larasati mencoba tertawa, tetapi suaranya bergetar. “Tidak, aku hanya… ya, jelas aku takut! Apa itu?!”

“Sesuatu yang harus kita kalahkan,” kata Rangga sambil bersiap. Tapi sebelum ia bisa maju, Larasati menarik lengannya.

“Tunggu!” katanya dengan tegas. “Kita tidak bisa hanya menyerang begitu saja. Makhluk itu jelas tidak biasa. Mungkin simbol di altar ini ada hubungannya.”

Rangga mengernyit, tetapi ia tahu Larasati mungkin benar. “Apa yang kamu usulkan?”

Larasati melangkah maju, menatap altar dengan tekad. “Aku akan mencoba sesuatu. Tapi kamu harus melindungiku.”

“Laras, ini terlalu berbahaya.”

“Terlalu berbahaya kalau kamu mati karena melawan makhluk itu sendirian,” jawab Larasati cepat. “Percayalah padaku, Rangga.”

Rangga terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Baik. Tapi kalau terjadi sesuatu, aku akan menarikmu pergi.”

Larasati tidak menjawab. Ia sudah meletakkan tangannya di atas altar, merasakan permukaannya yang dingin. Simbol-simbol di altar itu mulai bercahaya lebih terang, dan sebuah suara halus terdengar, seperti bisikan dari masa lalu. “Kraaak…”

Di belakang mereka, makhluk besar itu tampak bingung, matanya yang merah menyala menatap langsung ke arah Larasati. Ia menggeram lebih keras, tetapi tidak bergerak maju.

“Terus lakukan!” Rangga berteriak, menyiapkan tongkatnya untuk berjaga-jaga.

Larasati menutup matanya, mencoba fokus pada suara di dalam pikirannya. Ia tidak tahu apa yang ia lakukan, tetapi sesuatu di dalam dirinya mendorongnya untuk melanjutkan.

Namun, tiba-tiba, altar itu memancarkan cahaya yang sangat terang. “Wuussshhh!” Larasati terkejut, tubuhnya terdorong ke belakang, tetapi Rangga menangkapnya sebelum ia terjatuh.

“Apa yang terjadi?” Rangga bertanya, matanya masih menatap makhluk yang kini tampak marah.

“S-saya tidak tahu…” Larasati menjawab dengan napas terengah-engah. “Tapi aku rasa… aku telah mengaktifkan sesuatu.”

Cahaya dari altar itu kini menyebar, menciptakan lingkaran di sekitar mereka. Makhluk besar itu berhenti, matanya menyipit seolah takut pada cahaya itu. Ia menggeram keras, lalu mundur beberapa langkah.

“Laras, apa kamu tahu apa yang kamu lakukan?” Rangga bertanya, masih melindungi Larasati di belakangnya.

“Tidak sepenuhnya,” jawab Larasati dengan senyum kecil yang lemah. “Tapi sepertinya itu berhasil, kan?”

Rangga tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa kecil. “Kamu benar-benar tidak bisa diprediksi.”

Larasati tersenyum malu, tetapi sebelum ia bisa menjawab, suara retakan besar terdengar dari altar. “Krek-krek-krek!”

“Cepat! Kita harus pergi dari sini!” teriak Rangga. Ia menarik Larasati berdiri, sementara Ki Jayeng muncul dari lorong, wajahnya penuh amarah.

“Anjeun naon nu di dieu? Ieu tempat teu keur coba-coba!” bentaknya, tetapi ia segera melihat makhluk besar itu, dan ekspresinya berubah menjadi serius. “Ayo keluar, ayeuna keneh!”

Ketiganya berlari meninggalkan altar yang kini mulai runtuh. Makhluk besar itu tetap di belakang, menggeram pelan tetapi tidak mengejar. Mereka akhirnya keluar dari ruang itu, kembali ke jalur utama dengan napas yang terengah-engah.

“Laras,” kata Rangga sambil tersenyum kecil. “Kamu benar-benar membuatku takut.”

“Tapi aku membuatnya takut juga, kan?” jawab Larasati dengan senyum lelah tetapi puas. Rangga tertawa kecil, dan meskipun situasi mereka jauh dari aman, tawa itu memberikan mereka sedikit harapan.

1
Pangkalan 2405
up
Sri Wulandari Buamonabot
tolong gunakan bhs Indonesia...
tdk semua ngerti bahasa daerah lainnya
Pannov: baik kak, terimakasih masukannya
total 1 replies
Pannov
"Wow, novelnya bener-bener seru dan bikin penasaran! Ceritanya ngalir banget, karakternya juga terasa hidup. Salut buat penulisnya, sukses banget bikin pembaca susah lepas dari halaman ke halaman!"
Feri Fernando
menarik cerita ini
Pannov: terimakasi banyak kk, saya akan buat lebih seru lagi deh
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!