Rahasia kelam membayangi hidup Kamala dan Reyna. Tanpa mereka sadari, masa lalu yang penuh konspirasi telah menuntun mereka pada kehidupan yang tak seharusnya mereka jalanin.
Saat kepingan kebenaran mulai terungkap, Kamala dan Reyna harus menghadapi kenyataan pahit yang melibatkan keluarga, kebencian, dan dendam masa lalu. Akankah mereka menemukan kembali tempat yang seharusnya? Atau justru terseret lebih dalam dalam pusaran takdir yang mengikat mereka?
Sebuah kisah tentang pengkhianatan, dendam, dan pencarian jati diri yang akan mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
NARASI Episode 20
Ratna melangkah menuju sebuah meja di sudut ruangan, di mana sebuah bingkai foto berdiri tegak. Foto itu adalah potret Bram, pria yang dulu begitu ia cintai, namun juga pria yang telah menjadi sumber luka terdalam dalam hidupnya.
Ia mengulurkan tangan, menyentuh permukaan kaca bingkai dengan ujung jarinya. Tatapan matanya tajam, penuh emosi yang bercampur aduk. Rindu, marah, dan rasa bersalah yang berusaha ia kubur selama bertahun-tahun.
"Kalau saja kau tidak menghancurkan semuanya, Bram…" suaranya terdengar lirih, nyaris seperti bisikan.
Ratna mengepalkan tangannya, mengingat bagaimana Bram lebih memilih Indira, meninggalkannya dalam kehampaan. Semua yang terjadi setelahnya adalah akibat dari pengkhianatan itu.
Ia menarik napas dalam, lalu menyentuh bibirnya yang melengkung menjadi senyuman dingin. "Tapi sekarang… aku yang menang, Bram. Kau sudah tiada, dan Indira sebentar lagi akan kehilangan segalanya. Aku pastikan itu."
Ratna menatap foto Bram sekali lagi, lalu meletakkannya kembali di meja. Dengan langkah mantap, ia berbalik.
"Kamala… kau akan menjadi kunci dari kehancuran ibumu sendiri," gumamnya, sambil berjalan ke ruang kerjanya.
Ia hanya perlu sedikit dorongan untuk membuat Kamala membenci Indira. Jika rencana ini berjalan lancar, Indira tidak hanya akan kehilangan segalanya, tetapi juga akan dihancurkan oleh putrinya sendiri, tanpa menyadari bahwa Kamala adalah darah dagingnya.
Begitu juga dengan Faris.
Ratna tertawa kecil, penuh kepuasan.
“Permainan ini baru saja dimulai, Indira.”
"Tunggu saja kehancuran hidupmu, seperti kau menghancurkan hidupku."
******
Amanda baru saja hendak menyembunyikan dokumen yang ia curi ke tempat yang lebih aman ketika tiba-tiba pintu kamarnya terbuka.
Jantungnya hampir melompat keluar dari dada saat melihat Faris berdiri di ambang pintu.
"Amanda, ayo keluar sebentar," ujar Faris santai, tidak menyadari kegugupan yang berusaha ia sembunyikan.
Amanda dengan cepat meremas dokumen itu dan menyelipkannya di bawah tumpukan pakaian di dalam lemari. "Keluar? Kemana?" tanyanya, berusaha terdengar biasa saja.
Faris menyandarkan bahunya ke pintu, menatapnya dengan mata penuh selidik. "Hanya mencari udara segar. Seharian kau hanya berdiam diri di dalam kamar. Tidak bosan?"
Amanda memaksakan senyum. "Aku hanya sedang tidak enak badan."
Faris tidak langsung menjawab, matanya melirik ke sekitar kamar. Amanda menahan napas, takut kalau saja dia melihat sesuatu yang mencurigakan.
Namun, ia tahu bahwa Faris adalah pria bodoh yang mudah dipermainkan.
"Kalau begitu, kita pergi ke rumah sakit saja," kata Faris tiba-tiba.
"Sejak kemarin kau bilang tidak enak badan. Aku takut terjadi sesuatu padamu."
Amanda nyaris kehilangan kendali atas ekspresinya. Ia tidak menyangka Faris akan bereaksi seperti ini.
Namun, dengan cepat ia mengendalikan dirinya, lalu memasang wajah lemah dan tersenyum tipis. "Tidak perlu, Faris. Aku hanya butuh istirahat sebentar lagi."
Faris mengerutkan kening. "Kau yakin? Aku bisa mengantarmu sekarang juga."
Amanda menghela napas pelan, lalu mendekat dan meletakkan tangannya di lengan Faris, berusaha meyakinkannya. "Aku baik-baik saja. Lagipula, aku tidak suka rumah sakit."
Faris menatapnya sejenak, lalu akhirnya mengangguk pelan. "Baiklah, tapi kalau nanti kau masih belum sembuh, aku akan mengantarmu ke rumah sakit."
"Jangan menolak," ucapnya lagi, sebelum benar-benar pergi.
Amanda tersenyum manis. "Tentu."
Saat Faris akhirnya pergi, Amanda langsung menutup pintu dan menekan dadanya yang terasa sesak.
Lagi-lagi, ia berhasil mengelabui Faris.
"Dasar pria bodoh," gumamnya pelan, lalu berbalik ke lemari tempat ia menyembunyikan dokumen tadi.
Amanda menarik napas dalam, memastikan semuanya tetap aman. Dokumen itu terlalu berharga untuk jatuh ke tangan yang salah.
Jika Indira atau seseorang menemukannya, bukan hanya rencananya yang hancur, tetapi nyawanya juga bisa terancam.
Matanya berkilat dingin. "Tante Ratna pasti akan senang mengetahui aku berhasil."
Dengan cepat, ia menutup lemari.
Pintu kamar terbuka kembali, membuat Amanda tersentak.
Namun, alih-alih Faris, yang muncul adalah seorang pembantu rumah tangga yang membawa nampan berisi makanan.
"Maaf, Nona Amanda," ujar pembantu itu dengan suara lembut.
"Tuan Faris menyuruh saya mengantarkan makanan ini untuk Anda. Katanya, Anda harus makan agar cepat sembuh."
Amanda mengumpat pelan dalam hati. Ia sempat berpikir itu adalah Faris, dan jantungnya hampir saja berhenti karena takut pria itu kembali untuk mencurigainya.
Ia segera mengendalikan ekspresinya, lalu tersenyum tipis. "Terima kasih. Letakkan saja di meja."
Pembantu itu menurut, meletakkan nampan di meja kecil dekat tempat tidur. Namun, sebelum pergi, ia menatap Amanda sejenak, seolah ragu ingin mengatakan sesuatu.
"Nona Amanda, Anda benar-benar tidak apa-apa? Tuan Faris sangat khawatir…"
Amanda mendesah pelan, lalu tersenyum kecil, berusaha terlihat meyakinkan. "Aku baik-baik saja. Faris hanya berlebihan."
Pembantu itu mengangguk ragu, lalu berbalik menuju pintu. Namun, sebelum keluar, ia menambahkan, "Kalau butuh sesuatu, panggil saja saya."
Begitu pintu tertutup, Amanda langsung mengunci kembali.
Ia berjalan ke meja, menatap makanan yang diberikan Faris. Hatinya mencemooh perhatian pria itu. Faris memang bodoh, mudah dipermainkan dan penuh belas kasih yang tidak perlu.
Tanpa niat menyentuh makanan itu, Amanda kembali ke lemari, memastikan dokumen tadi masih aman di tempatnya. Setelah yakin, ia beranjak ke tempat tidur, sambil menatap makanan itu.
Sejak pagi, ia belum makan apa pun, dan perutnya terasa kosong. Awalnya, ia tidak berniat menyentuh makanan itu, sekadar bentuk perlawanan kecil terhadap perhatian yang diberikan Faris. Namun, rasa lapar mulai menguasai tubuhnya.
Dengan enggan, ia meraih sendok dan mulai menyendokkan sup hangat ke mulutnya. Begitu makanan menyentuh lidahnya, ia menyadari betapa laparnya ia sebenarnya. Tanpa sadar, ia mulai makan dengan lahap, menyapu habis makanan yang ada di hadapannya.
Setelah beberapa suap, Amanda bersandar di kursi, menghela napas panjang. Setidaknya, sekarang ia merasa lebih baik.
Tangannya meraih segelas air di samping nampan, meneguknya perlahan.
Lalu melirik ponselnya, ingin memastikan tidak ada pesan baru dari Ratna. Namun, layar tetap sepi. Amanda menggigit bibirnya, bertanya-tanya apakah dia harus menghubungi wanita itu atau tetap menunggu instruksi selanjutnya.
Setelah menimbang-nimbang, ia memutuskan untuk menunggu. Ratna pasti akan menghubunginya jika waktunya sudah tiba.
Amanda merapikan nampan dan menggesernya ke sisi meja. Ia berbaring di tempat tidur, memejamkan mata sejenak.
******
"Mau ke mana kamu, Faris?" suara Indira terdengar saat ia berjalan keluar dari dapur, melihat putranya menuruni tangga dengan tergesa-gesa.
Faris menghentikan langkahnya sejenak, menoleh ke arah ibunya. "Aku mau pergi ke apotek, beli obat untuk Amanda."
Indira menyilangkan tangan di depan dada, ekspresinya tak menyembunyikan ketidaksetujuan. "Buat apa kamu repot-repot peduli sama dia? Dia cuma pacarmu, bukan istrimu."
Faris menghela napas, mencoba menahan kesal. "Tetap saja, Ma. Dia sedang sakit, dan aku nggak bisa membiarkan dia begitu saja tanpa melakukan apa-apa."
Indira menatap putranya tajam, lalu melangkah mendekat. "Kamu terlalu baik, Faris. Jangan sampai kebaikanmu dimanfaatkan."
Faris mengernyit. "Maksud Mama apa?"
Indira mendesah pelan. "Kamu pikir dia benar-benar mencintaimu? Atau mungkin ada sesuatu yang dia sembunyikan?"
Faris terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. "Mama terlalu berpikir buruk. Aku tahu Amanda seperti apa."
Indira tersenyum miring, tatapannya penuh makna. "Yakin?"
Faris memilih untuk tidak menanggapi lebih lanjut. Ia hanya menarik napas panjang, lalu melangkah pergi.
"Tunggu, Faris. Mama belum selesai bicara," suara Indira terdengar tegas di belakangnya.
Namun, Faris tidak memperdulikan panggilan ibunya. Ia terus berjalan menuju pintu tanpa menoleh sedikit pun.
Indira mengepalkan tangan, merasa geram. "Dasar anak itu, selalu keras kepala," gumamnya.
Ia menatap punggung putranya yang semakin menjauh. Dalam hati, ia yakin ada yang tidak beres dengan Amanda. Faris mungkin buta karena cinta, tapi Indira tidak akan tinggal diam.
Indira melangkah menuju kamar Amanda dengan hati-hati. Pikirannya dipenuhi kecurigaan yang semakin menguat. Ada sesuatu yang janggal dengan wanita itu, dan Indira berniat mencari tahu kebenarannya.
Setelah memastikan keadaan sekitar sepi, ia mengetuk pintu sekali, lalu menunggunya terbuka. Namun, tidak ada jawaban.
Matanya menyipit. Dengan perlahan, ia meraih gagang pintu dan mencobanya.
Terkunci.
Indira mendecak pelan. Rasa penasarannya semakin memuncak.
Tanpa berpikir panjang, ia berbalik dan berjalan menuju ruang penyimpanan, tempat di mana kunci cadangan disimpan. Jika Amanda tidak mau membiarkan dirinya masuk, maka Indira akan menemukan cara sendiri.
Beberapa menit kemudian, ia kembali ke depan kamar Amanda dengan sebuah kunci di tangannya. Lalu memasukkan kunci ke dalam lubang dan memutarnya perlahan.
Klik.
Pintu terbuka sedikit. Dengan napas tertahan, Indira mendorongnya perlahan dan melangkah masuk.
Di dalam, Amanda terbaring di tempat tidur, wajahnya tampak damai dalam tidurnya. Indira berdiri di ambang pintu, mengamati sekeliling kamar dengan seksama.
"Enaknya sekali, jam segini masih bisa tidur nyenyak," gumam Indira dengan nada sinis.
Ia melangkah pelan ke dalam kamar, matanya menjelajahi setiap sudut ruangan. Ada sesuatu yang terasa tidak beres. Firasatnya mengatakan bahwa Amanda bukan wanita biasa.
Tatapannya jatuh pada meja kecil di samping tempat tidur. Ada nampan bekas makanan yang sudah kosong. Indira menyentuh gelas di atasnya—masih sedikit hangat. Itu berarti Amanda baru saja makan sebelum tidur.
"Lihat saja, pura-pura sakit tapi nafsu makan tetap bagus," desisnya.
Namun, bukan itu yang menarik perhatiannya. Di sisi lain kamar, lemari pakaian Amanda sedikit terbuka. Seketika, kecurigaan Indira semakin memuncak.
Dengan langkah hati-hati, ia mendekat, memastikan Amanda masih tertidur. Setelah yakin, ia ingin menarik pintu lemari lebih lebar.
Namun Amanda terbangun dengan tiba-tiba.
Indira langsung menarik tangannya, pura-pura merapikan selimut di tempat tidur Amanda. "Oh, kau sudah bangun?" tanyanya dengan suara lembut, seolah tak berniat mencurigai apa pun.
Amanda mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba mengumpulkan kesadarannya. Begitu melihat Indira berdiri di dekat tempat tidurnya, tubuhnya langsung menegang.
"Ada apa, Tante?" tanyanya, berusaha menutupi kegugupannya.
Indira tersenyum kecil, namun tatapannya tajam. "Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Faris terlalu khawatir padamu. Kau tahu sendiri, dia sangat peduli pada orang-orang yang disayanginya."
Amanda menelan ludah. Ia tidak suka arah pembicaraan ini.
"Terima kasih sudah mengkhawatirkanku, Tante," katanya dengan suara pelan.
"Tapi aku benar-benar baik-baik saja. Aku hanya butuh istirahat."
Indira mengangguk pelan. "Baguslah kalau begitu." Ia melirik sekilas ke arah lemari, memastikan bahwa pintunya masih dalam posisi semula. "Aku tak ingin mengganggumu lebih lama. Istirahatlah yang cukup."
Tanpa menunggu jawaban, Indira berbalik dan berjalan keluar kamar.