Silva, Marco dan Alex menjalin persahabatan sejak kelas 10. Namun, saat Silva dan Marco jadian, semuanya berubah. Termasuk Alex yang berubah dan selalu berusaha merusak hubungan keduanya.
Seiring berjalannya waktu, Alex perlahan melupakan sejenak perasaan yang tidak terbalaskan pada Silva dan fokus untuk kuliah, lalu meniti karir, sampai nanti dia sukses dan berharap Silva akan jatuh ke pelukannya.
Akankah Silva tetap bersama Marco kelak? Atau justru akan berpaling pada Alex? Simak selengkapnya disini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pendekar Cahaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 23 (Terpilih)
"Baik, langsung saja saya umumkan, yang terpilih adalah....." Miko menghentikan perkataannya sambil menatap wajah kelima atletnya satu persatu, yang membuat Zea dan yang lainnya berdebar-debar.
"Saya ucapkan selamat untuk Zea, saya memilih Zea karena Zea yang terbaik diantara kalian, tapi, bukan berarti kalian gak bagus, semuanya bagus, cuma dari segi peringkat, Zea peringkatnya teratas" Miko pun mengumumkan satu nama. Zea tentu saja sangat bahagia, karena dirinya akan mewakili sekolahnya untuk turnamen tennis tersebut.
"Zea, persiapkan dirimu dengan sebaik mungkin, supaya nanti bisa maksimal saat bertanding. Saya tidak mau membebani kamu harus harus juara, tapi, tampilkan yang terbaik yang kamu bisa, kalau bisa sampai juara itu adalah bonus" Miko memberi pesan pada Zea.
"Baik, coach, aku akan lakukan yang terbaik" jawab Zea dengan meyakinkan. Miko dan kelima atletnya berdoa sebelum mengakhiri sesi latihan terakhir hari ini.
Setelah selesai mereka pun membubarkan diri dan kembali ke loker untuk berganti pakaian. Keempat atlet lainnya yang tidak terpilih, memberi ucapan selamat pada Zea yang dipilih untuk mewakil sekolahnya untuk turnamen yang akan diselenggarakan bulan depan.
"Ze, kamu emang hebat banget dan aku lihat saat latihan tadi, kamu emang diatas kita berempat, wajar kalau coach Miko pilih kamu" celetuk salah satu temannya.
"Iya, Ze, kamu emang luar biasa mainnya" yang lainnya menimpali.
"Semoga sukses yah bulan depan, semoga kita bisa kembali merebut gelar juara yang sudah lama tidak kita raih" katanya. Dua orang lainnya mengaminkan. Namun, satu yang tersisa, terlihat tidak suka dengan terpilihnya Zea sebagai perwakilan sekolahnya.
*Halah, paling juga kepilih karena coach Miko ada rasa sama Zea, sampai Zea dispesialkan seperti itu, tasnya dibawain, dibelikan makan dan sebagainya, bagusan juga aku kali" katanya dengan tatapan sinis. Dia adalah Diva, siswi yang selalu merasa tersaingi dengan Zea. Hampir di semua bidang, Diva kalah saing dengan Zea. Baik itu di mata pelajaran, bahkan sampai olahraga pun Zea tetap saja tidak terkalahkan saat bertanding di lapangan.
"Kamu tuh kenapa sih, Div, gak terima karena kamu gak kepilih? Kan tadi coach Miko bilang, kalau kita masih ada kesempatan untuk tampil di turnamen berikutnya gak usah gitu kan bisa" salah satu diantara mereka membela Zea.
"Iya, kerjaannya gitu tuh, asal kamu tahu yah, itu malah nunjukin kalau kamu itu nol, gak bisa ngapa-ngapain" yang lainnya menimpali. Diva pun merasa kesal dan langsung beranjak keluar dari ruang ganti pemain.
"Begitu tuh si Diva, gak terima kalau ada yang lebih baik dari dia" katanya saat Diva sudah pergi.
"Udah, gak usah diladeni, kalian kan tahu sendiri gimana sifatnya si Diva" kata Zea yang seolah tidak peduli dengan sikap Diva padanya. Zea dan ketiga lainnya berjalan beriringan keluar dari ruang ganti pemain.
Marco dan Silva yang menunggunya, langsung menghampiri Zea begitu mereka melihatnya berjalan keluar.
"Kalau dilihat dari wajah kamu, sepertinya kamu yang terpilih jadi perwakilan SMA CB" kata Marco.
"Iya, Zea memang yang terpilih, soalnya dia yang terbaik diantara kami yang lain" celetuk salah satu teman Zea.
"Sudah kuduga kalau kamu bakal terpilih, soalnya terlihat gimana fokusnya kamu tadi, aku bangga loh sama kamu, selamat yah" Marco menepuk halus pundak Zea. Zea hanya tersenyum saja mendengarnya. Silva yang melihat bagaimana kekasihnya itu berinteraksi dengan Zea, dia merasa cemburu karena sikap Marco pada Zea dianggapnya agak berlebihan.
"Gak usah segitunya juga kali kalau mau ngasi ucapan selamat, biasa aja kan bisa" runtuk Silva dalam hati. Namun, Silva sadar akan status Zea yang bisa dibilang bos dari Marco, karena Marco bekerja sebagai supir pribadi Zea. Dirinya juga percaya kalau Marco gak akan macam-macam dan dia tahu seberapa besar rasa sayangnya Marco padanya. Cukup dengan mempercayai Marco saja. Begitu yang ada dalam pikirannya.
"Ya udah kalau gitu, kita bertiga duluan yah, Ze dan selamat berjuang di turnamen bulan depan" temannya berpamitan pada Zea. Ketiga temannya itu berjalan menjauh dari pandangan Zea, setelah itu dia pun juga beranjak menuju parkiran bersama Marco serta Silva.
"Oh iya, kita makan dulu yuk, kalian berdua pasti lapar juga kan?" Ajak Zea saat mereka sudah berada di parkiran.
"Boleh tuh, gimana, sayang, mau gak" Marco melirik kearah Silva.
"Ayo aja sih kalau aku" jawab Silva.
"Oke, kita ke cafe yang waktu itu yah, yang gak sengaja tabrakan itu loh, kamu ingat kan" kata Zea. Marco mengangguk dan mengingat cafe yang Zea maksud.
"Jadi, kalian berdua udah pernah ketemu sebelumnya? Kapan? Kok kamu gak cerita ke aku sih, yang" Silva bertanya sambil menatap Marco.
"Udah, nanti aku jelaskan yah, sekarang kita cabut dulu dari sini, udah lapar nih aku" Zea memegangi perutnya. Zea lalu memberikan kode pada Marco agar segera masuk ke mobil.
Mobil Zea pun meninggalkan parkiran lapangan tennis, diikuti mobil Silva dibelakangnya.
Selama perjalanannya menuju cafe yang dia maksud, Zea hanya diam dan kembali memikirkan tentang identitas wanita yang dibonceng oleh kekasihnya itu saat dalam perjalanan dari rumah menuju lapangan. Andai saja tadi dia tidak ada latihan, Zea pasti langsung meminta Marco untuk membuntuti kekasihnya dan wanita itu pergi. Marco melirik kearah Zea dan tampak heran melihatnya.
"Kamu kenapa, Ze? Lagi mikirin sesuatu?" Tanya Marco memecah keheningan.
"Aku masih kepikiran tentang cewek yang tadi dibonceng sama pacar aku itu, yang tadi aku lihat pas perjalanan ke lapangan tadi itu loh" terang Zea.
"Aku merasa kalau dia itu selingkuh dan cewek itu pasti selingkuhannya, aku yakin banget itu, pantesan aja dia gak bisa nonton aku latihan, ternyata lagi jalan sama selingkuhannya" lanjut Zea. Namun, raut wajah Zea berubah menjadi merah karena marah.
"Kamu jangan langsung nuduh gitu dulu, tanyakan langsung ke pacar kamu, siapa tahu itu saudaranya yang belum kamu kenal sebelumnya" Marco memberi saran pada Zea.
"Benar juga kata Marco, aku gak boleh nuduh sebelum ada bukti yang jelas kalau dia selingkuh sama cewek lain" pikir Zea dalam hati. Setelah nanti sampai dirumahnya barulah Zea menghubungi pacarnya itu dan meminta penjelasan darinya tentang wanita itu.