Tujuannya untuk membalas dendam sakit hati 7 tahun lalu justru membuat seorang Faza Nawasena terjebak dalam pusara perasaannya sendiri. Belum lagi, perasaan benci yang dibawa Ashana Lazuardi membuat segalanya jadi semakin rumit.
Kesalahpahaman yang belum terpecahkan, membuat hasrat balas dendam Faza semakin menyala. Ashana dan perusahaan ayahnya yang hampir bangkrut, tak memiliki pilihan selain berkata 'ya' pada kesepakatan pernikahan yang menyesakkan itu.
Keduanya seolah berada di dalam lingkaran api, tak peduli ke arah mana mereka berjalan, keduanya akan tetap terbakar.
Antara benci yang mengakar dan cinta yang belum mekar, manakah yang akan menang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LYTTE 19 — Piece of Memory
“Apakah kau sudah melakukan tugas yang aku suruh padamu?” tanya Faza usai istirahat makan siang itu.
Albert mengangguk dan menjawab, “Sudah, Tuan.”
Faza mengangguk, “Hmm, baguslah. Semoga dia menyukai makanan yang aku kirimkan padanya.”
“Nyonya pasti menyukainya, Tuan,” komentar Albert menambah rasa bangga Faza.
Aku jadi penasaran dengan reaksinya saat menerima makan siang dariku, pikirnya tiba-tiba merasa senang.
Setelahnya, Faza kembali menyelesaikan pekerjaannya yang sempat tertunda sementara Albert berjalan ke luar untuk menyelesaikan tugasnya yang lain.
Mendorong pintu kaca dan berbalik ke kanan untuk kembali ke ruang kerjanya, Albert terkejut saat mendapati Vanya sudah berdiri di samping ruangan Faza.
Gadis itu tersenyum dan melambaikan tangan pada Albert, meminta pria yang sudah dipacarinya selama setahun untuk mendekat.
“Vanya, sedang apa kau di sini?” tanya Albert langsung, ia menarik Vanya ke sisi yang lain agar mereka tak terlihat oleh Faza.
“Sekarang aku bekerja di sini, apa kau senang?” katanya dengan senyum mengembang sempurna.
Albert balas tersenyum kikuk, matanya terus melirik ke arah pintu ruangan Faza.
Wajah Vanya berubah masam saat Albert tak kunjung menjawab pertanyaannya. “Sepertinya kau tak senang aku ada di sini,” cebik Vanya.
“Tidak! Tentu saja aku senang, hanya saja kau tahu kan?”
“Iya, Kakak ada di dalam kan? Kau tenang saja, Sayang. Kakak pasti tidak akan tahu, kok.”
Vanya saat bersama Albert seperti anak kecil yang kembali menemukan mainannya. Pertama kali ia bertemu Albert adalah saat pria itu diangkat menjadi asisten kakaknya.
Awalnya Vanya sama sekali tak menyukai Albert. Ia berpikiran bahwa Albert adalah pria berkacamata yang membosankan. Tetapi seiring waktu, Vanya justru tertarik untuk mendekatinya.
Ketika Vanya lalu dikirim belajar ke luar negeri, sejak saat itulah ia mulai sering menghubungi Albert dengan alasan menanyakan kabar Faza.
Seringkali malah Albert menjadi tempatnya mencurahkan kesedihan dan keluh kesahnya. Albert setia mendengarkannya tanpa pernah protes atau pun menghakimi Vanya.
Dan dari sanalah perasaan itu muncul. Hingga kini, ia selalu merasa bahwa Albert adalah pria paling baik yang pernah ditemuinya.
“Kau sudah makan siang?” tanya Vanya sambil bergelayut manja di lengan Albert.
Pria itu tersenyum lembut sambil mengusap rambut Vanya yang tergerai, “Sudah. Nanti mau makan malam bersama?” tawarnya.
Vanya mengangguk bersemangat, “Tentu saja mau, terakhir kali kita mau bertemu malah tidak jadi gara-gara kau ada rapat,” keluh Vanya.
“Kakak itu sangat menyebalkan!” hardiknya menumpahkan kekesalan itu pada Albert.
“Jangan bicara begitu,” kata Albert berniat menasihati kekasihnya.
“Tapi itu memang benar, kan? Kakak itu sangat menyebalkan.”
“Siapa yang menyebalkan?”
Baik Vanya atau pun Albert, keduanya sama-sama terkejut dengan kehadiran Faza yang tak diduga itu. Saling melemparkan tatapan, keduanya lalu berdiri dengan kikuk.
Faza menatap keduanya bergantian. “Kau sedang apa di sini, Vanya?” tanya Faza dengan sorot mata menyelidik.
Pandangannya berganti menatap Albert. “Kau juga, Albert. Kenapa kau malah mengobrol dengan Vanya di sini? Bukankah aku memintamu melakukan sesuatu tadi?”
"Ya, Tuan. Maaf tadi saya tidak sengaja berpapasan dengan Nona Vanya saat akan ke luar ruangan,” jawab Albert dengan kepala tertunduk.
“Lalu kenapa kau masih di sini? Cepat pergilah.”
Albert langsung mengambil langkah pergi setelah tersenyum lembut ke arah Vanya. GAdis itu membalasnya dengan senyum tipis.
“Vanya.”
Gadis itu terkesiap, “Ya, Kak.”
“Masuk ke ruanganku,” pintanya kemudian berjalan lebih dulu. Ia harap apa yang tadi dilihatnya adalah sebuah ketidaksengajaan.
“Katakan, sedang apa kau di sini?” tanya Faza begitu Vanya duduk manis di ruangannya.
Gadis itu mendongak, menelisik tempat sang kakak menghabiskan sebagian waktunya selama beberapa saat, lalu berkata, “Bekerja, mulai hari ini aku resmi bekerja di sini.”
Faza yang semula tengah memegang dokumen tiba-tiba langsung menjatuhkannya sebagai respon keterkejutannya.
“Apa? Jadi maksudmu adalah … astaga, Vanya.” Faza mendesah berat di tempat duduknya. “Untuk apa kau melakukannya?”
“Untuk apa lagi memangnya? Tentu saja mencari pengalaman, Kak,” jawab Vanya santai.
“Kau yakin?”
“Tentu saja,” kata Vanya dengan yakin.
“Lalu, sedang apa tadi kau bersama asistenku?” tanya Faza mulai menyelidik.
Vanya terlihat salah tingkah, menggaruk hidungnya yang tak gatal, gadis itu lalu menjawab dengan gugup. “B-bukankah tadi Albert sudah menjelaskannya? Kami hanya tidak sengaja bertemu, Kak.”
“Tatap mata lawan bicaramu saat kau berbicara, Vanya. Dengan begitu kau bisa membuatku sedikit yakin bahwa kau tidak sedang berbohong,” tegur Faza.
Ia berdiri, memasukkan satu tangannya ke dalam saku celana lalu berjalan ke tepi jendela. Menatap pemandangan kota dari tempatnya berdiri sementara Vanya menyusun alasan yang tepat untuk diberikan kepada Faza.
“Baiklah, jika kau tidak mau mengatakannya, aku bisa langsung memecat Albert dengan alasan sudah bersikap tidak sopan padamu. Bagaimana?”
“Tidak! Kumohon jangan!” pekiknya seraya maju beberapa langkah. “Aku mohon jangan lakukan itu, Kak. Pekerjaan ini sudah seperti dunianya, aku tidak akan bisa rela jika ia hancur karena aku.”
Vanya mulai terisak ketika membayangkan Faza akan memecat Albert hanya karena dirinya.
Sebelah alis Faza terangkat ke atas, “Kenapa kau begitu peduli padanya?”
Vanya menelan ludah, ragu-ragu menjawab. Sejujurnya, Vanya takut. Ia takut jika ia mengatakan yang sebenarnya, maka Faza akan memisahkan keduanya.
“Vanya,” panggil Faza tak sabar.
Gadis itu mendongak, mengangkat wajahnya dan menatap lekat ke dalam manik mata kakaknya dengan sorot mata sendu.
“Karena aku mencintainya, Kak.”
Mendengar itu, Faza terdiam sesaat. Ia harap, kalimat yang diucapkan Vanya hanyalah sebuah lelucon dan detik berikutnya, gadis itu akan tertawa karena berhasil mengerjainya. Seperti yang sering dilakukannya saat remaja.
Tetapi tidak, Vanya justru terisak pelan di hadapannya. Dan di saat itulah Faza tahu bahwa Vanya serius dengan ucapannya.
“Are you kidding me, Vanya?”
Gadis itu menggeleng pelan, “No, I know what I’m say and it’s true.”
Faza menggeleng tak percaya. “Kau keterlaluan, Vanya!” teriaknya cukup keras hingga membuat adiknya berjingkat kaget.
Menghapus air matanya yang jatuh ke pipi, Vanya menatap sang kakak dengan sendu. “Apa yang salah jika aku mencintainya, Kak?”
“Dia asistenku, Vanya! Asistenku!” bentaknya melemparkan berkas yang ada di meja untuk melampiaskan kekesalannya.
“Aku tak peduli hal itu, Kak! Tak peduli dia asisten, pembantu atau bahkan tukang sapu sekali pun. Cinta tak memandang jabatan semacam itu, Kak,” sahut Vanya kalut.
Mendesis pelan, Faza kemudian meminta Vanya untuk ke luar ruangannya. Kepalanya berdenyut nyeri dan denyutan itu semakin terasa menyakitkan seiring dengan luka hati yang kembali terbuka.
Ia terduduk pelan di kursinya, mengambil obat sakit kepalanya kemudian menelannya dengan cepat. Menyandarkan kepalanya di kursi, Faza menutup matanya untuk sesaat.
“Tidak boleh, Vanya. Kalian berdua tidak boleh mengulangi kesalahanku tujuh tahun lalu,” gumamnya seraya menahan sesak yang menghantam dada.
***
Hadeuh, Vanya. 😌