Park Eun-mi, seorang gadis Korea-Indonesia dari keluarga kaya harus menjalani banyak kencan buta karena keinginan keluarganya. Meski demikian tak satupun calon yang sesuai dengan keinginannya.
Rayyan, sahabat sekaligus partner kerjanya di sebuah bakery shop menyabotase kencan buta Eun-mi berikutnya agar menjadi yang terakhir tanpa sepengetahuan Eun-mi. Itu dia lakukan agar dia juga bisa segera menikah.
Bagaimana perjalanan kisah mereka? Apakah Rayyan berhasil membantu Eun-mi, atau ternyata ada rahasia di antara keduanya yang akhirnya membuat mereka terlibat konflik?
Yuk! Simak di novel ini, Kencan Buta Terakhir. Selamat membaca.. 🤓
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puspa Indah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 12
"Oh, baiklah kalau begitu. Tentu saja.. In-ho", sahut Rayyan sedikit sungkan.
"Jadi begini In-ho, Eun-mi pasti akan menanyakan apakah kau bersedia untuk menjadi seorang muslim. Kusarankan kau jangan langsung mengatakan iya, walaupun sebenarnya memang demikian. Sebaiknya tanyakan dulu, mengapa kau harus menjadi seorang muslim. Nah, ketika dia sudah menjabarkan alasannya, kau minta waktu berpikir dua atau tiga hari seolah-olah kau sedang menimbang-nimbang keputusan yang akan kau ambil", sambungnya, dengan maksud supaya Eun-mi tak curiga.
"Mengapa harus seperti itu? Apakah Eun-mi tak tahu kalau... Ah... Kau melakukan ini diam-diam tanpa sepengetahuannya kan?", tuduh In-ho, dan itu memang benar.
Rayyan terkekeh, merasa tertangkap basah.
"Begini In-ho, Eun-mi adalah teman baikku dan dia sedang kesulitan karena keluarganya terus-terusan memaksa dia melakukan kencan buta. Masalahnya adalah, kami orang muslim tak diperbolehkan menikah dengan orang yang berbeda keyakinan. Sementara keluarganya sendiri punya standar kriteria tertentu namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan Eun-mi akan seorang suami. Akhirnya Eun-mi tak menemukan satupun calon yang cocok dari semua yang pernah diajukan oleh keluarganya", Rayyan menjelaskan dengan emosional dan itu jelas memberi pengaruh pada In-ho.
"Ya, aku bisa bayangkan betapa tertekannya dia. Seandainya keluarganya bisa memahami dirinya, dan memberikan kebebasan supaya dia bisa menentukan sendiri calon suaminya", wajah In-ho pun nampak prihatin.
"Aku cuma tidak ingin dia menganggapku terlalu ikut campur dalam masalah pribadinya, walaupun sebenarnya niatku hanya ingin membantunya sebagai teman. Karena itu aku berharap kau tidak menceritakan masalah pertemuan kita pada Eun-mi", pinta Rayyan.
"Baiklah, aku akan mengikuti perkataanmu. Anggap saja ini adalah konsultasi pranikah. Lagipula aku senang ada yang membantuku karena sebenarnya orang tuaku sangat ingin berbesan dengan keluarga Eun-mi", sahut In-ho yang kemudian mengambil ponselnya yang berbunyi.
"Oh, sepertinya aku harus segera pergi. Ada klien penting yang tiba-tiba ingin menemuiku", ucap In-ho tak enak.
"Maaf, sepertinya aku harus pergi duluan. Aku akan mengirimkan taksi untuk kalian. Apa tidak masalah?" In-ho berdiri dengan sedikit menunduk.
"Tentu saja, silahkan. Kami tidak masalah", sahut Rayyan yang juga ikut berdiri diikuti oleh Salman yang sedari tadi hanya diam.
In-ho kemudian menyelesaikan pembayaran. Bahkan ia memesankan paket menu istimewa untuk nanti mereka bawa pulang.
"Baiklah, aku permisi dulu. Sampai jumpa secepatnya..", ucapnya seraya tersenyum kemudian ia menunduk sekali lagi lalu segera keluar dari restoran itu.
Rayyan dan Salman kembali duduk dan melanjutkan makan siang mereka. Namun perasaan mereka seperti campur aduk.
"What a man, bro! What a man..", ucap Rayyan lirih.
"Iya, terus bayangin kalo nanti dia sudah jadi muslim. Usman bin Affan gak tuh?", sahut Salman dengan raut serius.
Rayyan menatap Salman, hatinya tambah meringis. Aku mah apa..
*******
"Mbak Eun-mi sudah berapa lama buka toko ini?", tanya Wina saat jam makan siang.
"Gak lama kok, ini baru mau dua tahun", sahut Eun-mi sambil mengunyah makan siangnya.
"Terus, Rayyan itu siapanya Mbak? Kalo aku gak salah kira, kayaknya kalian cukup dekat?", Wina mulai menjurus ke obrolan yang ditujunya.
"Oh, Rayyan? Kalo dia sih memang temen aku sejak di Indonesia. Sudah kenal dari jaman SMP, jadi ya.. memang bisa dibilang dekat sih", sahut Eun-mi lagi. Ia sudah menyelesaikan makannya kemudian mengambil air minum di dispenser.
"Kalo kuperhatikan nih, kayaknya Rayyan perhatian banget sama Mbak Eun-mi. Kalian.. pacaran?".
Sontak Eun-mi tersedak mendengar pertanyaan Wina yang tak disangka-sangka. Bagaimana mungkin orang yang baru dikenalnya ini begitu jauh ingin mengulik masalah pribadinya.
"Mbak gak papa?", Wina menghampirinya dengan sedikit khawatir karena wajah Eun-mi terlihat memerah setelah tersedak.
Eun-mi hanya menggeleng sambil memegang hidungnya yang terasa sakit karena kemasukan air. Kemudian dilihatnya baju yang dipakainya juga sudah basah di bagian depan.
"Aku permisi mau ganti baju dulu", ucap Eun-mi seraya mengambil baju gantinya di salah satu rak lemari kemudian menuju toilet.
Wina hanya menatapnya sampai akhirnya Eun-mi menghilang di balik pintu.
"Eun-mi, apa kau..", Rayyan yang muncul di pintu ruangan mendadak terdiam saat mendapati hanya ada Wina di sana.
Wina hanya tersenyum kemudian memperhatikan penampilan Rayyan. Kemeja lengan panjang dengan celana bahan, membuat Rayyan terlihat rapi seperti pekerja kantoran. Di tangannya tengah menenteng kantong berisi box. Sepertinya paket menu makanan.
"Oh, maaf. Kukira Eun-mi ada di sini", Rayyan lalu hendak menutup pintu.
"Mbak Eun-mi ada kok. Di toilet, lagi ganti baju. Tadi bajunya basah ketumpahan air minum", cegah Wina.
"Oh.. Kalau sudah selesai tolong kasih tahu dia, aku menunggunya di lantai dua", pesan Rayyan kemudian segera meninggalkan ruangan itu.
Wina mengerutkan keningnya. Apakah kecurigaannya selama ini benar, kalau Eun-mi dan Rayyan punya hubungan khusus dari sekedar teman? Ini tidak bisa dibiarkan!