Pernikahan yang didasari sebuah syarat, keterpaksaan dan tanpa cinta, membuat Azzura Zahra menjadi pelampiasan kekejaman sang suami yang tak berperasaan. Bahkan dengan teganya sering membawa sang kekasih ke rumah mereka hanya untuk menyakiti perasaannya.
Bukan cuma sakit fisik tapi juga psikis hingga Azzura berada di titik yang membuatnya benar-benar lelah dan menyerah lalu memilih menjauh dari kehidupan Close. Di saat Azzura sudah menjauh dan tidak berada di sisi Close, barulah Close menyadari betapa berartinya dan pentingnya Azzura dalam kehidupannya.
Karena merasakan penyesalan yang begitu mendalam, akhirnya Close mencari keberadaan Azzura dan ingin menebus semua kesalahannya pada Azzura.
"Apa kamu pernah melihat retaknya sebuah kaca lalu pecah? Kaca itu memang masih bisa di satukan lagi. Tapi tetap saja sudah tidak sempurna bahkan masih terlihat goresan retaknya. Seperti itu lah diriku sekarang. Aku sudah memaafkan, tapi tetap saja goresan luka itu tetap membekas." Azzura.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arrafa Aris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. RSK
Di pelaminan, Azzura tetap tersenyum ramah menyalami satu per satu tamu undangan.
Sesekali Close melirik dengan tatapan yang sulit di artikan ketika melihat senyum tulus sang istri kepada tamu undangan.
Hatinya seketika menghangat bahkan ingin merengkuh tubuh gadis berhijab nan bermata indah itu.
'Senyum itu ... aku sangat merindukan senyum tulus itu, Zu.'
Namun, senyum tulus itu seketika menghilang ketika bola mata mereka saling bertabrakan. Dengan cepat Azzura memalingkan wajah.
Di tengah meriahnya pesta itu, benaknya terus diliputi rasa cemas memikirkan sang ibu.
Melihat Azzura yang terlihat gelisah, Close berinisiatif merangkul sekaligus ingin menenangkan. Namun, secepat kilat Azzura menepis tangan sekaligus menjaga jarak.
Tak pelak, buntut dari penolakan itu, seketika membuat Close emosi. Akan tetapi ia tutupi dengan sikap cool-nya.
'Sial!! Berani-beraninya dia menepis tanganku!'
Saat sesi foto bersama dengan keluarga besar, Azzura tetap tersenyum meski merasa gelisah memikirkan sang ibu.
Selesai foto bersama, Momy Liodra mengajaknya duduk di salah satu meja.
"Sayang, makan dulu Nak. Wajahmu terlihat pucat. Apa kamu baik-baik saja? Momy perhatikan sejak tadi kamu terlihat cemas."
"Mom, aku baik-baik saja. Hanya saja, aku mencemaskan ibu. Apa pesta ini masih lama Mom?" tanya Zu.
"Sebentar lagi sudah mau selesai," jawab Momy.
"Mom, izinkan aku ke rumah sakit setelah pesta ini selesai."
"Baiklah, semoga operasi ibumu berjalan lancar. Momy akan membesuk besok saja," kata Momy.
"Nggak apa-apa Mom, terima kasih." Azzura menghela bernafas lega.
Di meja lain, Close sesekali melirik Azzura Bahkan sepasang matanya seolah tak ingin teralih.
"Close, selamat ya. Aku nggak menyangka jika kamu dan Azzura bakal berjodoh, padahal kamu sangat membencinya," kata Mizan.
"Aku juga nggak menyangka," timpal Sammy.
"Kalian pikir aku mencintainya? Lagian pernikahan ini bukan mauku melainkan Momy yang memaksa. Kalian tahu kan, jika aku hanya mencintai Laura bukan gadis kampungan itu!" jelas Close dengan perasaan dongkol.
Mizan dan Sammy hanya geleng-geleng kepala mendengar ucapan teman sekaligus kolega bisnisnya itu.
Sedangkan Laura yang duduk bersebelahan dengan Close ikut merasa jengkel. Sejak tadi, ia terus memandangi Azzura yang terlihat masih mengobrol dengan mertua juga Gisel.
"Sayang, nggak usah dilihat terus biarkan saja. Sepertinya dia licik juga. Pintar banget mengambil hati Momy, Dady dan Gisel," tutur Close pada Laura.
"Ngeselin banget! Sayang, setelah resepsi ini kelar, antar aku pulang ya," rengek Laura.
"Baiklah," kata Close.
"Oh ya, Close, Laura. Aku dan Sammy pamit," izin Mizan. Beranjak dari kursi kemudian menjabat tangan Close. "Apapun itu, selamat ya, Bro."
Close mengangguk balas menjabat tangan temannya. Setelah itu, Mizan dan Sammy menghampiri Azzura. Memberi ucapan selamat lalu meninggalkan ballroom.
Beberapa jam berlalu ...
Pesta yang memang hanya berlangsung pagi hingga siang itu, akhirnya kelar juga.
Dengan langkah kecil, Azzura menuju ke arah lift. Menekan tombol sembari menunggu pintu itu terbuka. Begitu ia masuk ke dalam elevator, ia terkejut saat Close menahan pintu besi itu.
'Close.'
Azzura mendesah sembari memutar bola mata malas. Ingin protes pun percuma. Ujungnya pasti ia akan mendengar kata umpatan kasar.
Keduanya sama-sama bungkam. Sesekali Close curi-curi pandang menatap Azzura. Ingin sekali ia memeluk sang istri, akan tetapi dikalahkan dengan rasa ego.
Ting!
Pintu lift terbuka. Close langsung cepat-cepat mengarahkan pandangan ke depan. Keluar dari elevator disusul oleh Azzura menuju kamar yang sama.
Sesaat setelah berada di dalam kamar, Azzura langsung menyambar tas serta paper bag. Karena buru-buru kakinya tersandung dan hampir saja terjatuh. Namun, dengan sigap Close menangkap lalu memeluknya dengan erat.
Sadar jika ia sedang dalam rengkuhan Close, Azzura perlahan melepas pelukan itu. Sedangkan Close, ia merasa dadanya kembali berdetak kencang.
Azzura kembali melanjutkan langkah menuju kamar mandi. Melepas kebaya beserta aksesoris lainnya. Membersihkan sisa-sisa make up yang masih menempel di wajah.
Setelah merasa sudah benar-benar bersih, ia pun segera mengenakan pakaian ganti beserta jilbabnya.
Ketika ia ingin memeriksa ponsel, suara gedoran pintu dari luar terdengar memekakkan telinga.
Dorrrrr ... dorrr ... dorrrr!
"Dasar nggak punya akhlak," gerutu Azzura. Memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.
Dengan perasaan dongkol ia menghampiri pintu lalu membuka benda itu.
"Lama banget sih?! Barusan lihat kamar mandi mewah, ya? Sampai segitunya betah di dalam! Dasar kampungan!" sentak Close dengan tatapan tak bersahabat.
Azzura hanya diam, memilih berlalu begitu saja ke arah sofa. Meletakkan kebaya pengantin beserta aksesorisnya.
"Mudah-mudahan operasi ibu berjalan lancar," gumamnya.
Menuju balkon kemudian menghubungi Nanda. Hanya di deringan pertama panggilannya langsung tersambung.
"Assalamualaikum, Nanda, bagaimana dengan operasinya? Apa berjalan lancar?"
"Wa'alaikumsalam, Alhamdulillah, berjalan lancar Zu, sekarang ibu sudah dipindahkan ke kamar rawat VIP di bangsal 3 no 5," jelas Nanda.
"Syukurlah sebentar lagi aku ke sana. Maaf, aku nggak sempat menjawab panggilan darimu tadi."
"Nggak apa-apa Zu. Ya sudah, aku tunggu kamu ya," jawab Nanda.
"Baiklah."
Azzura tak menyadari jika sejak tadi Close sedang memperhatikan gerak geriknya sekaligus bertanya-tanya. Dengan siapa istrinya itu sedang berbicara. Seketika ia merasa sedikit cemburu.
Ketika Azzura berbalik, ia terkejut karena Close memberi tatapan tajam padanya. Pria blasteran itu langsung mencengkeram pipinya.
"Dengan siapa kamu berbicara, hah!"
"Close ... lepasin!"
"Jawab!" bentak Close. "Apa dengan seorang pria?!"
"Teman kerjaku, Nanda." Azzura memegang pipi begitu Close melepas cengkeramannya.
"Awas saja jika kamu bohong!" Close merampas ponsel ditangan Azzura kemudian memeriksa panggilan keluar.
Ia tersenyum tipis, mengembalikan benda pipih itu sembari akan melangkah. Namun terhenti saat Azzura memanggilnya.
"Close, aku ingin meminta izin pulang ke rumahku sebentar. Apa boleh?" tanya Zu.
"Terserah!" Hanya itu jawaban dari Close.
"Baiklah, aku pamit," balas Azzura.
Ia pun menyusul ke dalam kamar. Meraih tas serta paper bag di atas meja. Meninggalkan kamar presidential suite itu tanpa beban.
Sesaat setelah berada di loby hotel, ia meminta Yoga untuk mengantarnya kembali ke rumah sakit.
"Yoga, tolong antar aku ke rumah sakit, ya," pintanya.
"Baik, No ...."
"Zu atau Zura saja," sela Azzura dengan senyum tipis
"Ah iya, Zu," sambung Yoga.
Ketika dalam perjalanan menuju rumah sakit, Azzura hanya diam. Sesekali menatap ke luar jendela mobil.
Dalam keheningan, Yoga membuka suara. "Zu, selamat ya atas pernikahanmu dengan Pak Close."
"Makasih Yoga, doakan aku dan Close, ya. Semoga rumah tangga kami baik-baik saja."
"Aamiin," sambung Yoga sembari melirik sekilas.
Entah mengapa ia merasa iba pada istri boss-nya itu. Meski bibirnya mengukir senyum, akan tetapi sorot mata gadis berhijab itu seperti menyimpan kesedihan mendalam.
...🌿----------------🌿...