Jangan lupa mampir di Fb otor (Mima Rahyudi)
**
**
**
“Dad! Aku ingin kita akhiri hubungan kita!” seru Renaya tiba-tiba.
“Kenapa, baby?” tanya Mario.
“Aku nggak nyaman sama semua sikap Daddy,” jawab Renaya
“Kita tidak akan pernah berpisah, baby. Karena aku tidak akan melepaskan kamu.”
Hidup Renaya seketika berubah sejak menjalin hubungan dengan Mario, pria matang berusia 35 tahun, sementara usia Renaya sendiri baru 20 tahun. Renaya begitu terkekang sejak menjadi kekasih Mario, meski mungkin selama menjadi kekasihnya, Mario selalu memenuhi keinginan gadis cantik itu, namun rupanya Mario terlalu posesif selama ini. Renaya dilarang ini dan itu, bahkan jika ada teman pria Renaya yang dekat dengan sang kekasih akan langsung di habisi, dan yang paling membuat Renaya jengkel adalah Mario melarang Renaya untuk bertemu keluarganya sendiri. Sanggupkan Renaya menjalani hidup bersama Mario? Kenapa Mario begitu posesif pada Renaya? Ada rahasia apa di balik sikap posesif Mario?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mima Rahyudi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Renaya menggigit bibir bawahnya, tampak canggung di bawah tatapan Mario yang tegas namun penuh perhatian. "Daddy..." suaranya hampir berbisik, "Aku nggak tahu kenapa aku melakukannya. Mungkin... aku hanya merasa terlalu banyak beban di kepala."
Mario mendekatkan wajahnya, menatap Renaya dengan penuh perhatian. "Kalau kamu merasa tertekan, kamu bisa bilang ke Daddy. Jangan memendam sendiri sampai harus menyakiti tubuhmu seperti ini. Daddy di sini untuk kamu, Renaya."
Air mata mulai menggenang di mata Renaya. Dia menundukkan kepala, merasa bersalah sekaligus tersentuh oleh perhatian Mario. "Maaf, Daddy," katanya, suaranya terdengar serak. "Aku janji nggak akan melakukan hal bodoh lagi."
Mario menghela napas panjang, lalu memegang kedua bahu Renaya dengan lembut. "Janji itu harus kamu tepati, Baby. Daddy nggak ingin melihat kamu sakit lagi, apalagi karena sesuatu yang kamu lakukan sendiri."
Renaya mengangguk, air matanya mulai mengalir. Dia tahu bahwa Mario selalu ada untuknya, meskipun terkadang dia merasa hubungannya dengan pria itu begitu rumit. "Terima kasih, Daddy," katanya akhirnya, mencoba menahan tangisnya.
Mario menghapus air mata Renaya dengan ibu jarinya, lalu mengecup keningnya dengan lembut. "Sudah, jangan menangis lagi. Kamu butuh istirahat. Daddy akan ada di sini kalau kamu butuh apa-apa."
Renaya memejamkan matanya, merasa tenang dengan kehadiran Mario di sisinya. Sementara itu, Mario tetap duduk di sampingnya, memastikan Renaya benar-benar beristirahat sebelum dia pergi ke ruang kerja, hari ini dia tidak mungkin meninggalkan Renaya sendirian di apartemen.
Mario mengambil ponselnya dari meja di samping tempat tidur dan mengetik cepat nomor Devon. Dia melirik Renaya yang masih terbaring lemah di ranjang sebelum menempelkan ponsel ke telinganya.
"Devon, ini aku," suara Mario terdengar tenang namun tegas.
"Ya, Tuan Mario. Ada yang bisa saya bantu?" jawab Devon dari seberang telepon.
"Aku butuh kamu datang ke apartemen sekarang. Bawa bubur yang hangat untuk Renaya. Dia tidak enak badan pagi ini," kata Mario sambil melirik Renaya yang mulai terlelap lagi.
"Baik, Tuan. Saya akan datang secepatnya. Ada permintaan khusus untuk buburnya?" tanya Devon dengan profesional.
"Bubur yang lembut dan tanpa banyak bumbu. Renaya baru saja memuntahkan isi perutnya, jadi pastikan itu mudah dicerna," Mario menjelaskan, nada suaranya melunak sedikit saat menyebut nama Renaya.
"Dimengerti. Saya akan berada di sana dalam 20 menit," Devon menjawab tegas.
Mario menutup telepon dan meletakkan ponsel di meja, lalu kembali menatap Renaya. Dia menyentuh dahinya dengan lembut, memastikan suhu tubuhnya tidak naik. "Baby, istirahat saja. Devon akan datang membawakan bubur untukmu," bisiknya pelan, meskipun dia tahu Renaya mungkin tidak sepenuhnya mendengarnya.
Dia bangkit dari tempat tidur, berjalan ke ruang tamu untuk menunggu kedatangan Devon.
Devon tiba di apartemen dengan sebuah kantong kertas berisi bubur hangat yang baru saja dibelinya. Begitu pintu terbuka, Mario menyambutnya dengan anggukan singkat.
"Terima kasih sudah cepat datang, Devon," ucap Mario sambil mengambil kantong dari tangan Devon.
"Sama-sama, Tuan. Apa ada hal lain yang perlu saya siapkan?" tanya Devon, tetap berdiri tegak di dekat pintu.
Mario menggeleng. "Untuk sekarang, tidak. Tunggu saja di ruang kerja. Aku akan menyuapi Renaya dulu. Kita bicara setelah itu."
"Baik, Tuan," jawab Devon sebelum berjalan menuju ruang kerja Mario dengan langkah tenang.
Mario menutup pintu dan membawa kantong bubur ke kamar. Di dalam, Renaya tampak setengah terjaga, duduk bersandar pada bantal dengan ekspresi lelah.
"Daddy?" Renaya memanggil pelan, suaranya serak.
Mario tersenyum kecil sambil mendekat. "Iya, Baby. Ini Daddy bawakan bubur buat kamu. Kamu harus makan sedikit supaya merasa lebih baik."
Renaya mengangguk lemah. Mario duduk di sampingnya, membuka kotak bubur, dan mulai menyuapkan perlahan.
"Satu suap dulu, ya," kata Mario lembut, menyuapkan sendok pertama ke mulut Renaya.
Renaya menelan dengan pelan, tampak sedikit lebih nyaman. "Terima kasih, Daddy," gumamnya.
"Ini bukan soal terima kasih, Baby. Daddy mau kamu sehat," balas Mario sambil menyendokkan lagi bubur.
Renaya memakan dengan patuh, meskipun perlahan. Mario memperhatikan setiap gerakannya, memastikan dia tidak terburu-buru. Setelah beberapa suap, Renaya menggeleng pelan.
"Sudah cukup, Daddy. Aku nggak mau muntah lagi," katanya dengan nada lemah.
Mario menatapnya beberapa detik, lalu mengangguk. "Oke. Kalau kamu butuh lagi nanti, bilang ke Daddy, ya?"
Renaya hanya mengangguk sebelum menyandarkan kepalanya ke bantal. Mario merapikan mangkuk bubur dan menyelimutinya dengan lembut.
"Beristirahatlah, Baby. Daddy akan ada di ruang kerja kalau kamu butuh apa-apa," katanya sambil mengecup kening Renaya.
Dia membawa kembali mangkuk bubur ke dapur, lalu berjalan ke ruang kerja. Devon sudah menunggunya di sana, duduk dengan tenang di kursi tamu. Begitu Mario masuk, Devon berdiri.
"Bagaimana keadaan Nona Renaya, Tuan?" tanyanya sopan.
Mario duduk di kursinya dan memberi isyarat pada Devon untuk duduk kembali. "Dia sudah makan sedikit, tapi masih lemah. Sekarang dia istirahat. Ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu," kata Mario, suaranya berubah lebih serius.
“Tuan, ini tentang Tuan Arnold yang sebenarnya,” kata Devon memulai pembicaraan, “Tuan Arnold sebenarnya adalah dalang dibalik kematian Mami kandung Nona Renaya. Tuan Arnold bukanlah Papi kandung Nona Renaya.”
Mario duduk dengan tenang di kursinya, meskipun perasaannya jauh dari tenang. Kata-kata yang baru saja diucapkan oleh Devon mengguncang pikirannya. Dia menatap asistennya, wajahnya tampak bingung, mencoba memahami apa yang baru saja dia dengar. "Maksudmu?" Mario akhirnya bisa mengeluarkan kata-kata, suaranya terdengar rendah, penuh kebingungan. "Arnold... Arnold bukan ayah kandung Renaya?"
Devon mengangguk, wajahnya tetap serius. “Betul, Tuan. Arnold bukan ayah kandung Renaya. Selama ini dia berbohong tentang asal usulnya. Semua itu hanya bagian dari rencana besar yang sudah direncanakan sejak lama."
Mario merasa seperti ada yang menekan dadanya, otaknya berputar mencoba menghubungkan titik-titik informasi yang baru saja ia terima. "Tapi... kalau Arnold bukan ayah kandungnya, siapa yang sebenarnya? Di mana ayah kandung Renaya?"
Devon menundukkan kepala sejenak sebelum melanjutkan, mengumpulkan kata-kata yang tepat. “Ayah kandung Renaya masih hidup, Tuan. Namun, dia saat ini sedang dipenjara.”
“Dipenjara?” Mario mengulangi dengan nada tak percaya. "Kenapa? Apa yang terjadi dengan dia?"
“Dia difitnah, Tuan. Ayah kandung Renaya, seorang pria bernama Daniel Hartono, dijebak atas tuduhan yang tidak pernah dia lakukan. Arnold yang mengatur semua itu. Daniel dituduh terlibat dalam penggelapan dana besar, dan akibatnya dia dijebloskan ke penjara.”
Mario terdiam sesaat, mencoba memproses penjelasan yang baru saja dia terima. Semua ini terasa seperti labirin yang semakin dalam, penuh dengan kebohongan dan konspirasi yang sulit untuk diterima. “Jadi, Arnold selama ini tidak hanya berbohong soal menjadi ayah Renaya, tapi juga... mengatur penahanan ayah kandungnya?”
Devon mengangguk lagi, wajahnya tampak tegang. “Betul, Tuan. Semua ini bagian dari permainan Arnold untuk mempertahankan kontrol atas keluarga dan harta yang dimiliki oleh Renaya. Dia tahu jika Daniel berada di luar, dia tidak akan bisa mengendalikan Renaya seperti sekarang."
Mario merasa amarahnya mulai berkobar. Dia tak bisa membayangkan betapa kerasnya hidup Renaya, dibesarkan oleh pria yang bukan ayah kandungnya, sementara ayahnya sendiri dipenjara karena konspirasi yang dirancang oleh orang yang seharusnya menjaga keluarganya. "Daniel masih hidup, kan?" tanya Mario dengan suara yang penuh tekanan.
“Ya, Tuan, dia masih hidup. Namun, dia saat ini berada di penjara,” jawab Devon dengan hati-hati.
“Atur waktu untuk aku bisa menemuinya terlebih dahulu,” kata Mario dengan nada memerintah.