Damian, lelaki yang dikenal dengan julukan "mafia kejam" karena sikapnya bengis dan dingin serta dapat membunuh tanpa ampun.
Namun segalanya berubah ketika dia bertemu dengan Talia, seorang gadis somplak nan ceria yang mengubah dunianya.
Damian yang pernah gagal di masa lalunya perlahan-lahan membuka hati kepada Talia. Keduanya bahkan terlibat dalam permainan-permainan panas yang tak terduga. Yang membuat Damian mampu melupakan mantan istrinya sepenuhnya dan ingin memiliki Talia seutuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 14
Setelah panggilan itu berakhir, Damian duduk di tepi tempat tidurnya, masih tersenyum. Hanya dengan mendengar suara Bian, beban pikirannya terasa sedikit lebih ringan. Ia mungkin telah berpisah dengan Kanara, tetapi ia tetap menjadi ayah bagi Bian. Meski bukan ayah kandung, tetapi dia memperlakukan Bian seperti putra kandungnya sendiri.
Damian segera beranjak dari tempat tidur, menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri. Ia ingin terlihat segar saat bertemu dengan anaknya. Tidak ingin terlihat sakit. Lagipula kondisinya memang sudah jauh lebih baik dari sebelumnya.
Setelah mandi dan mengenakan pakaian santai, Damian turun ke ruang tamu yang luas. Ia memberikan beberapa perintah kepada para pelayan untuk menyiapkan makanan kesukaan Bian serta mengatur ruangan agar lebih nyaman. Walaupun rumah ini penuh dengan keamanan ketat, Damian ingin Bian merasa betah dan bahagia saat berada di sini.
Satu jam kemudian, suara mobil terdengar memasuki halaman rumah. Damian berjalan menuju pintu depan, dan tak lama bocah laki-laki yang ia tunggu-tunggu, turun dari mobil dengan mata berbinar, berlari ke arahnya.
"Papa!"
Damian berjongkok dan merentangkan tangannya, menyambut pelukan Bian. Bocah itu langsung melompat ke pelukannya dengan tawa riang. Yang mengantarnya adalah Bas, anak buah Brandon.
"Papa Damian! Bian kangen banget!"
Damian tertawa kecil, mengusap rambut hitam lembut putranya.
"Papa juga kangen sama Bian. Apa yang ingin kita lakukan hari ini?"
Bian melepaskan pelukan dan menatap ayahnya dengan mata berbinar.
"Bian mau main game sama papa! Terus Bian mau lihat kamar Bian di rumah baru papa!"
Damian tersenyum.
"Tentu saja. Papa sudah menyiapkan kamar spesial buat Bian. Ayo kita lihat."
Ia menggendong Bian dan membawanya masuk ke dalam rumah. Kamar yang disiapkan untuk putranya terletak di lantai tiga, dekat dengan kamarnya sendiri. Saat pintu kamar dibuka, mata Bian langsung melebar.
"Waaah! Bagus bangeet!" serunya kagum.
Kamar itu di desain dengan warna biru lembut dan penuh dengan mainan favorit Bian. Ada tempat tidur berbentuk mobil balap, rak penuh buku cerita, serta area bermain dengan berbagai permainan edukatif. Damian ingin memastikan anaknya tetap nyaman di rumahnya, meskipun Bian lebih sering tinggal bersama orang tua kandungnya.
"Papa tau Bian suka mobil balap, jadi papa siapkan tempat tidur ini," ujar Damian sambil menurunkan putranya.
Bian langsung berlari ke tempat tidur dan melompat kegirangan.
"Papa Damian emang paling keren!"
Damian duduk di sofa dekat jendela, memperhatikan putranya bermain dengan senyum hangat. Dalam kehidupannya yang penuh dengan bahaya dan intrik dunia mafia, hanya Bian yang bisa membuatnya merasa benar-benar hidup.
Tiba-tiba Damian tersadar. Kini bukan hanya Bian saja yang membuatnya merasa lebih hidup, gadis aneh itu juga. Bibir Damian selalu berkedut tanpa bisa dia tahan tiap kali memikirkan Talia.
Setelah puas bermain di kamarnya, Bian mengajak Damian ke ruang keluarga untuk bermain game bersama. Mereka tertawa, bersaing dalam permainan balap mobil di layar besar, hingga perut Bian berbunyi.
"Bian laper?" Damian melirik putranya dan bertanya. Bocah itu hanya tersenyum lebar.
"Kalau begitu ayo kita ke restoran kesukaan kamu."
"Yeah!" Bian berseru senang.
Damian menggandeng tangan kecil Bian, membawanya turun ke lantai bawah. Bocah itu tampak bersemangat, matanya berbinar membayangkan makanan lezat yang akan mereka santap nanti.
Setelah mencapai pintu keluar, Damian memberi isyarat pada salah satu anak buah Damian untuk menyiapkan mobil, lalu menoleh ke arah Bas yang berdiri tak jauh dari mobil yang dia pakai untuk mengantar Bian.
"Bian lapar, kami akan ke restoran. Kau ikut?" tanyanya santai.
Bas menganggukkan kepala. Brandon selalu mengingatkan dia agar tidak boleh lengah sedikitpun menjaga Bian. Apalagi saat putranya bertemu Damian. Bukan karena ragu pada Damian, tetapi status Damian yang pasti memiliki banyak musuh membuat Brandon merasa harus selalu waspada.
Mereka pun keluar dari rumah, menaiki mobil hitam yang sudah disiapkan. Bas bawa mobil sendiri. Sepanjang perjalanan, Bian terus berceloteh, menceritakan berbagai hal mulai dari sekolah, teman-temannya, hingga keinginannya untuk memiliki hewan peliharaan tetapi tidak dapat ijin sama mama dan papanya. Damian hanya menanggapinya dengan senyuman tipis.
Mereka memasuki restoran dengan interior hangat dan nyaman. Pelayan yang sudah mengenal Damian segera mengantar mereka ke meja VIP di sudut ruangan.
Bian langsung membuka menu dan menunjuk makanan favoritnya.
"Bian mau pasta keju, nugget ayam, sama jus mangga!"
Damian tersenyum lalu memesan makanan untuk dirinya sendiri. Sambil menunggu, ia memperhatikan Bian yang sibuk menggambar di kertas yang disediakan oleh restoran.
"Papa, Bian gambar papa sama Bian!" ujar bocah itu bangga, menunjukkan coretan sederhana yang menggambarkan dua sosok laki-laki sedang bermain bersama.
Damian tersenyum, hatinya terasa hangat.
"Bagus sekali, Bian. Papa suka."
Tak lama, makanan mereka datang. Bian langsung makan dengan lahap, sementara Damian menikmati makanannya dengan tenang. Sesekali ia melirik ke arah pintu masuk restoran, naluri kewaspadaannya selalu aktif meski sedang bersama putranya.
Bas yang duduk tak jauh dari mereka pun tampak siaga, meskipun berusaha terlihat santai.
Setelah makan, Bian menepuk perutnya dengan puas. "Kenyang! Sekarang kita ngapain, papa?"
Damian baru saja hendak menjawab, tetapi sebuah suara yang tampak familiar di telinganya membuat fokusnya terbagi. Suara itu berasal dari ruangan sebelah.
"Hah?! Jadi ini ruangan VIP? Aku nggak tahu loh. Ya ampun, mana aku datangnya sendirian dan makannya banyak banget lagi. Kakak yang cantik, baik hati dan tidak sombong, bisa utang dulu gak? Aku lagi nggak ada duit di tangan sekarang. Beneran, nggak boong. Aku gak akan kabur dari tanggung jawab kok. Rumahku bisa di bilang agak jauh dari sini, tapi aku ini gak pernah ingkar janji. Seperti kata pepatah, hutang harus dibayar, harga diri di atas segala-galanya!"
Damian menahan senyumnya. Tanpa melihat dia tahu siapa pemilik suara itu. Kebetulan yang menyenangkan. Kalau dipikir-pikir, terlalu banyak kebetulan yang terjadi di antara mereka. Apakah ini takdir?
Bas yang berada tak jauh dari Damian dan Bian merasa aneh melihat senyuman pria itu. Aneh karena selain Bian, belum pernah ada orang lain yang membuatnya tersenyum seperti itu. Memang sih kata-kata gadis di ruangan sebelah lucu, tetapi seorang Damian merasa lucu dengan itu? Rasanya sulit di percaya.
Bahkan saat Bian mengajak pria itu menonton film lucu yang menurut Bas lucu sekali, Damian tidak tertawa, bahkan tersenyum tipis saja tidak.
"Maaf kak, tapi restoran ini gak bisa terima orang berhutang. Mohon kerjasamanya, tolong di bayar makanannya." kali ini terdengar suara pelayan. Damian masih fokus mendengar.
"Ya gimana mau bayar kalo duit saja nggak ada di tangan. Ada sepuluh rebu? Mau uang muka dulu? Aku beneran gak ada duit sekarang kakak cantiik."
"Kalo kakaknya gak bisa bayar, dengan berat hati akan kami selesaikan di kantor polisi." suara pelayan itu terdengar tegas.
"Kantor polisi?! Ya ampun tega bener kakaknya. Masa nggak,"
"Berapa banyak yang harus dia bayar?" Suara Damian yang datar sontak membuat Talia dan si waiter wanita menoleh ke pintu. Waiter itu menunduk hormat. Ia kenal Damian.
Sementara Talia masih terdiam menatap Damian. Matanya berkedip-kedip.
dobel up
hahaa dasar kau damian nyosor langsung
👍🌹❤🙏🤣🤣🤣