Bintang, CEO muda dan sukses, mengajukan kontrak nikah, pada gadis yang dijodohkan padanya. Gadis yang masih berstatus mahasiswa dengan sifat penurut, lembut dan anggun, dimata kedua orang tuanya.
Namun, siapa sangka, kelinci penurut yang selalu menggunakan pakaian feminim, ternyata seorang pemberontak kecil, yang membuat Bintang pusing tujuh keliling.
Bagaimana Bintang menanganinya? Dengan pernikahan, yang ternyata jauh dari ekspektasi yang ia bayangan.
Penuh komedi dan keromantisan, ikuti kisah mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23.
Suara rintik hujan, desau dedaunan dari pohon rindang dibawah balkon. Sepasang mata sayu, menatap lurus dan kosong. Ia terpaku di tempat, dengan tangan kekar melilit perutnya seperti ular yang tidak mau melepaskan mangsanya. Kejadian yang diawali keisengan, namun membekas hingga akhir dan tak terlupakan, yang sulit dijelaskan dengan kata.
Sera merasakan seluruh tubuhnya seakan remuk. Ia pandai bela diri, namun sekuat apapun, ia tidak akan pernah mengalahkan tenaga seorang laki-laki. Apalagi, yang otaknya tertutupi hasrat.
Yah, Bintang mengambil haknya sebagai suami. Pria itu, seperti kerasukan, sorot mata berubah dan suaranya terdengar berat. Ia menulikan diri, dengan apa yang Sera katakan.
"Lepas!" Sera meronta, kakinya menendang ke segala penjuru. "Bukankah, kau bilang tidak tertarik dengan tubuhku?"
"Kapan aku pernah bilang?" jawab Bintang, dengan bibir mengecup sana sini. Salah satu tangannya, memegang tangan Sera.
"Kak, ingat perjanjian kita. Kita hanya nikah kontrak." Sera berteriak, dengan sisa tenaga. Ia terlalu lelah, energinya terkuras habis untuk melawan dan berbicara.
"Siapa bilang, kita nikah kontrak."
Aaaahhh....
Saat itu, Sera berteriak setelah pertahanannya benar-benar runtuh. Cairan bening, jatuh dari sudut matanya. Ia memejamkan mata, pasrah. Ternyata benar, pria normal tidak akan pernah bisa menahan hasratnya. Berkata tidak tertarik, namun faktanya justru berbeda.
"Kak, lepas!" Sera akhirnya bersuara, setelah terdiam cukup lama. Ia perlu membersihkan tubuhnya yang benar-benar lengket.
Bintang yang tertidur pulas, mengerjap, namun tidak melepaskan pelukannya.
"Kamu mau kemana?" tanyanya, sembari mengecup rambut Sera.
"Mandi. Aku gerah."
"Sebentar." Bintang melepaskan pelukannya, meluruskan sendi-sendi yang terasa kram. "Aku antar."
"Hah!" Sera bingung. "Kamu mau apa? Aku bisa sendiri."
Tidak peduli, Sera berteriak. Bintang tetap menggendong tubuh istrinya, masuk dalam kamar mandi. Mendudukkannya di atas closed.
"Apa ada yang sakit?" Bintang memperhatikan setiap inci tubuh sang istri.
"Ada. Semuanya sakit!" Sera mendelik.
"Maaf. Mau ke dokter?"
Sera ingin marah, namun kemarahannya berganti kebingungan. Kenapa sikap pria ini berganti dalam semalam? Kepedulian, yang tidak seperti biasanya.
"Tidak perlu," ketus Sera.
"Baiklah. Aku tunggu diluar. Panggil, kalau ada apa-apa."
Sera hanya menatap. Memangnya, apa yang akan terjadi dalam kamar mandi, pikirnya.
Perubahan sikap Bintang, ternyata tidak sampai disitu. Setelah Sera keluar, sarapan sudah tersaji diatas meja. Dan Bintang menunggu, dengan wajah senyum, yang tidak jelas.
"Kau ada kuliah, hari ini?" Bintang menarik tangan Sera, memintanya duduk diatas sofa.
"Tidak ada, Kak."
"Baiklah. Jangan keluar rumah, tanpa izinku."
"Hah! Kenapa?" Segelas air hampir saja muncrat dari mulut Sera, yang kaget.
"Tidak ada. Mulai sekarang, aku yang akan mengantar dan menjemputmu kuliah."
Sera panik. Kenapa pria ini menjadi tiba-tiba protektif?
"Kak. Kita perlu bicara." Sera meletakkan gelasnya dengan asal.
"Aku tahu. Tapi, aku akan bilang satu hal. Kita suami istri, tanpa kontrak atau perjanjian lagi. Jadi, kita akan menjalani seperti pasangan lainnya."
"Tanpa cinta?"
"Cinta?" Bintang tersenyum, "bagaimana, jika kita menjalaninya dulu. Setelah itu, baru kita bicarakan."
"Berapa lama?"
"Hmmm .... Satu bulan."
Sera menarik napas, bingung harus berkata apa lagi. Ia berpikir, setelah kejadian semalam, semuanya tidak akan sama lagi. Seperti bertambah rumit dan sulit keluar dari lingkaran ini. Lalu, bagaimana dengan kebebasan yang ia dambakan selama ini? Apa semua hanya mimpi belaka?
"Kalau begitu, tolong jangan mengekang ku!" tatapan Sera penuh harap. Jika takdir sudah seperti ini, paling tidak ia butuh kebebasan meski hanya beberapa jam saja.
"Aku tidak mengekang mu. Aku hanya ingin bersikap menjadi suami."
"Aku tidak butuh pembuktian. Aku hanya ingin menikmati hidupku, meski sebentar. Tanpa ada tekanan atau paksaan."
"Oke, baiklah. Kalau itu maumu."
Sera duduk terdiam dalam kamar, menatap air hujan yang jatuh dari balik jendela. Pepohonan berayun kesana kemari, mengikuti arah angin membawanya. Rerumputan, kebanjiran dan hampir tenggelam. Dan dia, yah dia hanya menatap dalam kebisuan.
Sera menoleh kebelakang, satu strip obat berbentuk butiran kecil berwarna putih, tergeletak. Sejak menikah, ia sudah mengkonsumsinya meski tahu apa efek sampingnya kelak. Ia hanya ingin melindungi dirinya, karena ia tahu suatu hari, hal semacam ini akan terjadi, cepat atau lambat.
Sekarang, ia hanya perlu menjalani hidup tanpa berpikir lagi. Karena masalah kedepan, sudah ditangani lebih dulu. Toh, sudah terlanjur, disesali pun sudah tidak berguna.
Obat yang baru saja diminum, Sera kembali menyembunyikannya, ditempat yang seharusnya tidak terpikir oleh siapapun.
Tok tok tok.
"Iya, masuk."
"Kamu sudah makan?" tanya ibu mertua, dengan wajah tampak cemas. Ditangannya, ada piring berisi potongan buah segar.
"Sudah, Ma." Sera membenarkan posisi duduknya.
"Apa kamu sakit? Bintang meminta sarapan dikamar."
"Tidak, Ma. Aku hanya lelah."
Kata "lelah" kenapa terdengar negatif, di pendengaran ibu mertua. Seolah kata, yang memang bermakna seperti apa yang ia harapkan. Lihat saja, senyumnya yang tiba-tiba mengembang.
"Ganti baju, kita ke dokter," ujar ibu dengan semangat.
"Kenapa, Ma? Siapa yang sakit?"
"Sudah, jangan banyak tanya. Ayo cepat, Mama tunggu dibawah."
Sera menurut saja. Hanya, ke rumah sakit. Tidak ada salahnya, menjenguk. Dilantai bawah, ibu mertua sudah menunggu dengan full senyuman. Sebenarnya, siapa yang sakit? Kenapa dia begitu terlihat bahagia? Pikir, Sera.
Sepanjang jalan, Sera meladeni ibu mertuanya yang terus membicarakan banyak hal. Mulai dari masalah rumah, hingga masalah teman-teman arisannya. Sepertinya, Sera sudah salah menilai sang ibu mertua, yang terlihat kalem dan tidak banyak bicara saat dirumah. Nyatanya, mereka sudah hampir sampai, tapi ceritanya tidak kunjung selesai.
"Ntar, Mama lanjut lagi."
Sera hanya menjawab iya, lalu turun dari mobil. Tanpa banyak bertanya, ia terus mengikuti langkah ibu mertuanya, yang sebenarnya mau kemana.
"Tante," sapa seorang gadis muda dengan setelan jas putih.
"Pasienmu masih banyak?"
"Lumayan, Tante. Kenapa?"
"Ini menantuku, kamu ingat? Aku mau periksa kehamilannya."
Duarr...
Sera langsung menatap ibu mertuanya dengan mata membelalak. Jantungnya terpacu, ada perasaan aneh yang tiba-tiba mengganggu dalam kalbu.
"Kenapa tidak ke klinik saja, Tante? Antrian disini, sudah banyak."
"Aku sudah tidak sabar. Dimana aku harus ambil antrian?"
"Di loket, Tante."
"Ya, sudah." Ibu bergegas pergi, sambil merangkul tangan Sera.
"Ma," Sera berhenti melangkah.
"Kenapa, Nak? Ada yang sakit?"
"Bukan itu. Bagaimana, kalau kita periksa di klinik saja. Antrian sudah banyak, nanti bisa kesiangan. Dan lebih bagus, kalau kak Bintang juga ikut."
Ibu berpikir sejenak. Lalu, mengangguk. Sera sendiri bernapas lega. Ini terlalu mendadak dan apa ini? Kenapa hatinya merasa sangat bersalah? Wajah ibu mertua yang tampak begitu bahagia, seolah mengharapkan sesuatu yang sudah lama ia nantikan.
🍓🍓🍓
Pikirannya menerawang jauh entah kemana.
ceritanya bagus, jadi ga sabar nunggu up