Bintang panggung dan penulis misterius bertemu dalam pertemuan tak terduga.
Rory Ace Jordan, penyanyi terkenal sekaligus sosok Leader dalam sebuah grup musik, terpikat pada pesona Nayrela Louise, penulis berbakat yang identitasnya tersembunyi. Namun, cinta mereka yang tumbuh subur terancam ketika kebenaran tentang Nayrela terungkap.
Ikuti kisah mereka....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FT.Zira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. KCTT 23.
[[ "Aku sudah mengirim sopir untuk menjemputmu,"]]
Nayla membaca pesan yang baru saja ia terima, berniat untuk segera memberikan balasan penolakan ketika pesan lain kembali masuk, membuat ia mengurungkan niatnya untuk membalas.
[[ "Kamu sudah menolakku untuk menjemputmu di Apartemen, jadi jangan tolak sopir yang aku kirim atau dia akan kehilangan pekerjaan. Sampai bertemu sebentar lagi" ]]
"Apa-apaan dia? Seenaknya saja!"
Wanita itu menggerutu, meletakkan ponsel di meja dan kembali pada apa yang tengah ia lakukan. Untuk kesekian kalinya, wanita itu mematut dirinya di depan cermin, menatap pantulan bayangan dirinya sendiri dari atas sampai bawah.
Setelan celana panjang yang ia padukan dengan sweater putih serta tambahan long coat coklat untuk melindungi tubuhnya dari udara dingin.
"Kurasa cukup,"
Ia bergumam pelan, lalu mengangguk. Satu tangannya menyambar ponsel yang segera ia masukan ke dalam tas sebelum keluar dari unit Apartemen miliknya.
Langkah kakinya terhenti ketika Nayla keluar dari gedung Apartemen dan melihat sebuah mobil telah terparkir tak jauh dari pintu keluar bersama seorang sopir yang berdiri di sisi mobil, tersenyum ramah sembari membungkukkan badan pada Nayla.
"Saya mendapatkan perintah untuk menjemput Anda, Nona," ujarnya.
Nayla meringis, menyadari Rory benar-benar melakukan apa yang dia ucapkan hingga ia tidak memiliki alasan untuk menolak. Sopir itu bahkan membukakan pintu mobil untuknya, termasuk ketika mereka tiba di tempat tujuan.
...%%%%%%%%%%...
Rory melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, beralih ke arah jalan di mana mobil yang memasuki area parkir festival, lalu mendesah panjang ketika orang yang ia tunggu masih belum terlihat.
Celana panjang dengan sweater putih beserta long coat coklat yang membungkus tubuh tingginya membuat ia terlihat seperti seorang model. Namun, masker hitam dan topi yang menutupi wajah serta kepalanya membuat siapa saja yang melihat Rory enggan untuk mendekat.
Dalam jarak beberapa langkah, seseorang dengan penampilan serupa melangkah mendekat, seolah mengenali Rory meski pria itu menutupi wajahnya.
"Inikah alasan mengapa kau tidak ikut bersama Kevin untuk pulang?" dia bertanya, tersenyum di balik masker yang ia kenakan.
Rory mengangkat wajah, menangkap penuh wajah pria bermasker serta bertopi seperti dirinya berdiri di sampingnya.
"Seperti yang kau lihat," jawab Rory sekenanya.
"Kenapa tidak pulang saja bersama Kevin untuk menikmati waktu liburmu?" dia bertanya.
"Kau tahu bukan? Kevin pulang untuk bertemu dengan tunangannya, jadi untuk apa aku pulang?" sahut Rory.
"Tapi kamu bisa bertemu kedua orang tuamu," sanggah pria itu.
"Papa dan Mama sibuk dengan bisnis, dan aku tidak ingin tinggal di mansion yang hanya diisi oleh para pelayan," jawab Rory.
Hening sejenak,,,,
"Jadi,,, Apakah kamu sibuk berganti pakaian sampai berulang kali untuk berkencan dengan seseorang?" dia bertanya lagi.
"Dan di sini?"
"Berisik! Bukankah kau datang untuk membeli buku bersama Ethan? Kenapa menemuiku?" sungut Rory mulai terganggu.
"Ethan ke bandara untuk mengantar Nathan, jadi aku kemari lebih dulu dan dia akan menyusul," terangnya.
"Lalu, pergilah!" sambut Rory.
"Ayolah,,, Setidaknya kenalkan padaku siapa yang kamu ajak berkencan,"
"Kau mengetahui hal ini lebih dari siapapun, bukankah begitu Thomas?" sahut Rory.
Thomas terkekeh pelan, menyandarkan punggung pada pagar pembatas dimana menjadi tempat yang mereka gunakan untuk menunggu tanpa mengganggu orang-orang yang datang untuk menikmati festival.
"Si kacamata berwajah manis, karyawan dari Mr. Darwin,"
"Pastikan saja kau mengatakan hal ini pada Martin dan Kevin, atau mereka berdua akan mengeluarkan kalimat sarkas mereka," ucap Thomas mengingatkan.
"Hal itu tak mempan padaku," sahut Rory.
"Mungkin tak mempan padamu, tapi jika mereka menargetkan wanita yang kau dekati, apa menurutmu yang akan terjadi?" sambut Thomas.
"Bersenang-senanglah, gunakan waktu libur ini sebaik mungkin sebelum Martin dan Kevin kembali, mereka hanya pergi selama lima hari,"
"Apakah kau akan mengatakan tentang ini pada mereka, Thomas?" Rory bertanya lirih setelah beberapa saat terdiam.
"Maksudmu pada Kevin dan Martin?" sambut Thomas bertanya.
Rory mengangguk.
"Tidak, kaulah yang harus berbicara pada mereka tentang Nayla. Satu hal yang aku yakini adalah, Nayla berbeda dengan dia," ucap Thomas.
"Terima kasih," sahut Rory.
"Tapi, Nayla masih belum datang," ucap Thomas.
"Mungkin sebentar lagi." jawab Rory melirik jam tangannya lagi.
"Kau meminta sopir kita untuk menjemputnya?" selidik Thomas.
"Ya, sekaligus meminjam mobilnya. Aku tidak mungkin menggunakan mobilku sendiri yang akan membuat dia curiga padaku," jawab Rory.
Tepat setelah Rory menyelesaikan jawabannya, mobil yang dikenali Rory sebagai mobil yang ia tugaskan untuk menjemput Nayla berhenti di area parkir, hingga ia melihat Nayla keluar dari mobil setelah si sopir membuka pintu.
"Dia datang. Sekarang pergilah!" usir Rory.
"Baik,,, Baik,,, Aku pergi. Lagipula aku juga harus cepat agar tidak kehabisan buku yang aku incar. Bye,,, Roy," goda Thomas.
Thomas tertawa puas melihat Rory melotot pada dirinya, melangkah pergi meninggalkan Rory dengan senyum bahagia di balik masker yang ia kenakan.
Rory melambaikan tangan pada wanita yang tengah berjalan ke arahnya, namun wanita itu justru melipat kedua tangan begitu Nayla berdiri tepat di depan Rory.
'Apakah dia menjadi lebih cantik dari sebelumnya atau aku yang tidak melihatnya dengan benar di pertemuan terakhir kami?' batin Rory.
"Ehmm,,, Apakah aku melakukan kesalahan?" Rory bertanya dengan ekspresi bingung atas sikap Nayla padanya.
"Siapa sebenarnya yang kau kirim untuk menjemputku?" tanya Nayla.
"Sopir, bukankah itu sudah jelas?" sambut Rory tak mengerti.
"Kau yakin dia HANYA sopir?" selidik Nayla menyipitkan mata.
"Tentu saja," jawab Rory cepat.
"Sopir apa yang memperlakukanku hingga sedemikian rupa?" tanyanya lagi.
"Aku bahkan tidak pernah melihat sopir taksi yang akan bersikap demikian,"
"Lalu, mobil itu? Jelas dia bukan sopir taksi bukan?"
"Apa yang salah dengan itu?" sambut Rory heran.
"Sejujurnya tidak ada, kuakui sopir itu sangat baik. Hanya saja aku tidak terbiasa dengan hal itu," jelasnya.
"Itu karena kamu menolak ku jemput. Dan,,,,,"
Rory mencondongkan tubuhnya, sedikit membungkuk untuk mensejajarkan matanya dengan mata Nayla, lalu menurunkan sedikit masker yang ia kenakan sebelum berkata,
"Karena kamu pantas mendapatkan perlakuan yang jauh lebih baik dari itu,"
"Jangan marah, akan sangat disayangkan jika kecantikanmu berkurang karena expresi marahmu, meskipun wajah marahmu tetap terlihat manis,"
"Apa Anda sedang merayuku, Tuan Rory?" sahut Nayla dengan alis terangkat setelah menurunkan kedua tangannya.
"Ya, apakah itu berhasil?" jawab Rory tanpa ragu.
"Sayang sekali, Anda perlu berusaha lebih keras." Nayla menjawab, lalu menarik topi yang Rory kenakan, membuat topi itu menutupi sebagian penglihatan pria itu.
"Heii,,,,!"
Rory dengan cepat menegakkan badannya kembali seraya membetulkan posisi masker dan topinya.
"Pft,,,, ha ha ha,,,,"
Senyum tipis terbentuk di bibir Rory tanpa ada siapapun yang melihat kala melihat wanita di depannya tertawa.
'Rasanya menyenangkan bisa melihatnya tertawa seperti ini,' batin Rory.
"Adakah tempat yang ingin kamu datangi lebih dulu?" Nayla bertanya setelah tawanya mereda.
"Tidak ada, tapi kita bisa berkeliling dan membeli apapun yang kamu suka," jawab Rory.
"Kalau begitu, kamu tidak keberatan jika kita ke suatu tempat sebelum berkeliling?" Nayla bertanya lagi.
"Tentu saja tidak, tapi kemana?" sambut Rory.
"Bagus. Ayo!"
Tanpa aba-aba, Nayla segera meraih tangan Rory untuk mengikuti langkahnya, menghindari puluhan orang yang berada di depannya dengan gerakan mudah.
Sementara Rory tertegun dengan pandangan tertuju pada tangan yang Nayla genggam, beralih pada wajah wanita itu, lalu tersenyum sembari membalas genggaman tangan Nayla.
"Pst,,, Lihat pasangan itu! Bukankah mereka terlihat serasi?"
"Lihat saja pakaian mereka, sama persis,"
"Andai kekasihku bisa seromantis kekasih Nona itu,"
Samar-samar, Rory mendengar beberapa komentar dari beberapa orang yang mereka lewati, hal yang cukup untuk membuat dirinya tersadar dengan apa yang ia dan Nayla kenakan.
'Aku baru sadar Nayla dan aku mengenakan pakaian yang sama,' batin Rory.
"Nona itu cantik, kenapa kekasihnya menutupi wajah? Padahal mereka terlihat serasi sekali,"
Suara terakhir dari wanita yang berpapasan dengan mereka mampu membuat Rory memikirkan berbagai hal dalam benaknya. Merasa ingin membuka masker yang menutupi wajah, namun hatinya tidak siap dengan bayangan Nayla akan menjauh hanya karena dirinya seorang idol.
'Apakah Nayla juga menganggapku aneh ketika aku memakai masker? Bagaimana jika Nayla terganggu dengan sindiran mereka?'
'Tapi, jika aku melepaskan maskerku, mereka akan segera mengenaliku. Bagaimana jika Nayla menganggap aku menipunya?'
Berbagai pemikiran membuat Rory kehilangan fokus hingga ia tidak sengaja menabrak Nayla yang berhenti tiba-tiba, membuat wanita itu segera berbalik dengan kening berkerut.
"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Nayla.
"Apa? Ehm,,, Tidak,,, Tidak ada," kilah Rory sedikit tergagap
Nayla bersiap untuk mengatakan sesuatu, namun pria di depannya justru mengalihkan pandang, mengamati sekeliling dimana Nayla berhenti.
"Buku? Jadi yang kamu maksud ke suatu tempat adalah stand buku?" Rory bertanya.
"Ya,,, Aku menantikan buku itu sejak lama. Ada yang mengatakan padaku, di sini menjual buku yang aku cari, dan itu mungkin hanya ada tiga buku saja. Jika aku tidak segera mencarinya, mustahil untuk mendapatkannya lagi," jelas Nayla.
Pandangan Nayla kini beralih pada stand buku di depannya, menjelajahi tumpukan buku yang ada sembari memindai ratusan buku dengan cermat, berharap tidak ada satupun buku yang terlewat dari matanya.
"Apakah itu tidak mempengaruhi kesehatan matamu?" tanya Rory sedikit khawatir.
"Itu akan baik-baik saja. Lagipula aku tidak berencana membaca di sini. Itulah mengapa aku meninggalkan kacamataku," jawab Nayla masih terus mencari.
"Lagipula, aku di sini untukmu," imbuhnya tanpa sadar.
Rory menoleh dengan gerakan cepat, menatap wanita yang masih sibuk mencari buku tanpa perubahan ekspresi meski sudah mengatakan satu kalimat yang berhasil mengusik hatinya.
'Bagaimana bisa kamu mengatakan kalimat itu tanpa beban, Nay?' keluh Rory dalam hati.
"Baiklah, buku apa itu, biarkan aku membantumu untuk mencari," sahut Rory pada akhirnya.
"Itu adalah buku karya_,,,,"
Kalimat Nayla menggantung di udara saat matanya tertuju pada sebuah buku yang berada dalam beberapa langkah darinya. Tulisan pada Spine buku yang cukup untuk membuat Nayla tersenyum telah menemukan apa yang ia cari, dan hanya tersisa satu buku.
"Itu dia!" seru Nayla.
Nayla melangkah cepat ke arah buku yang ia incar, melepaskan genggaman tangan Rory begitu saja dengan pemikiran harus mendapatkan buku terakhir. Satu tangannya terulur begitu buku itu berada dalam jangkauan. Namun, tepat saat Nayla meletakkan tangannya pada buku itu, tangan lain mendarat di atas tangannya, menarik perhatian wanita itu untuk mengangkat pandang.
. . . . .
. . . . .
To be continued....