Ayla tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berubah karena sebuah kalung tua yang dilihatnya di etalase toko barang antik di ujung kota. Kalung itu berpendar samar, seolah memancarkan sinar dari dalam. Mata Ayla tertarik pada kilauannya, dan tanpa sadar ia merapatkan tubuhnya ke kaca etalase, tangannya terulur dengan jari-jari menyentuh permukaan kaca yang dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Worldnamic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23: Cinta dan Cemburu
Perjalanan malam itu terasa panjang dan mencekam. Ketiganya menyusuri hutan dengan langkah hati-hati, menghindari ranting-ranting yang patah agar tidak meninggalkan jejak. Suara binatang malam bercampur dengan hembusan angin, menciptakan suasana yang membuat setiap langkah terasa semakin berat.
Kael berjalan di depan, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan Ayla dan Arlen tetap aman. Di belakangnya, Ayla mencoba menyembunyikan keletihan di wajahnya. Di sisi lain, Arlen berjalan dengan sikap penuh kewaspadaan, matanya tidak pernah lepas dari sekeliling mereka.
Saat berhenti sejenak untuk beristirahat di sebuah tempat terbuka yang diterangi rembulan, Ayla duduk di atas sebuah batu besar sambil memeluk lututnya. Kael mengambil posisi di dekatnya, sementara Arlen berdiri sedikit berjauhan, memeriksa area sekitar.
“Bagaimana perasaanmu, Ayla?” Kael bertanya dengan nada lembut, tatapannya penuh perhatian.
Ayla tersenyum tipis. “Aku baik-baik saja, hanya sedikit lelah. Perjalanan ini... terasa berbeda.”
“Tidak apa-apa untuk merasa takut,” jawab Kael, suaranya penuh empati. “Aku akan memastikan kau tetap aman.”
Dari tempatnya berdiri, Arlen memperhatikan interaksi mereka dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada sesuatu di dalam dirinya yang bergolak, sebuah perasaan yang selama ini ia coba abaikan. Namun, setiap kali ia melihat Kael begitu dekat dengan Ayla, rasa itu tumbuh semakin kuat—rasa cemburu yang tidak bisa ia kendalikan.
“Ayla,” suara Arlen terdengar tiba-tiba, membuat Ayla dan Kael menoleh. “Kita tidak bisa berlama-lama di sini. Semakin lama kita berhenti, semakin besar risiko kita ditemukan.”
Kael mendengus pelan, seakan terganggu oleh cara Arlen berbicara. “Kita baru saja berjalan selama beberapa jam. Sedikit istirahat tidak akan membuat kita ketahuan.”
“Dan sedikit istirahat juga tidak akan berarti jika kita dikejar Noir,” balas Arlen dengan nada datar, tetapi tegas.
Ayla segera berdiri, mencoba meredakan ketegangan di antara keduanya. “Cukup. Kita semua lelah, dan ini bukan saatnya untuk berdebat. Kita harus tetap bersatu.”
Namun, dalam hati, Ayla tidak bisa mengabaikan cara Arlen menatap Kael—sebuah tatapan penuh ketegangan yang mengisyaratkan lebih dari sekadar perbedaan pendapat.
Setelah melanjutkan perjalanan, ketiganya mencapai sebuah sungai kecil yang berkilauan di bawah sinar bulan. Kael segera mengambil air untuk diminum, sementara Ayla duduk di dekat tepian. Saat itu, Arlen mendekatinya, melipat tangan di depan dada.
“Ayla,” panggil Arlen, suaranya rendah dan serius.
Ayla menoleh, menatap pria itu dengan rasa ingin tahu. “Ada apa?”
“Aku tahu Kael sudah banyak membantumu,” katanya pelan. “Tapi kau harus tahu, aku tidak akan membiarkan apapun terjadi padamu. Aku... aku akan selalu ada untuk melindungimu.”
Nada suaranya membuat Ayla terdiam. Arlen jarang berbicara seperti ini, dan dia bisa merasakan ketulusan di balik kata-katanya. “Aku tahu, Arlen. Aku tahu kau selalu ada untukku.”
Mendengar itu, sebuah senyuman tipis muncul di wajah Arlen, meskipun di dalam hatinya ia sadar bahwa perasaannya terhadap Ayla tidak sepenuhnya murni sebagai seorang sahabat.
Di sisi lain sungai, Kael memperhatikan mereka dari kejauhan. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya saat melihat Ayla berbicara dengan Arlen. Ia menggenggam botol air di tangannya lebih erat dari biasanya. Pikiran-pikirannya berkecamuk, dan ia tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa Arlen menyembunyikan sesuatu—tidak hanya dari Ayla, tetapi juga dari dirinya.
Ketika ketiganya melanjutkan perjalanan, suasana di antara mereka berubah menjadi lebih hening. Namun, di balik keheningan itu, perasaan-perasaan yang tidak terucap mulai mengisi ruang di antara mereka. Ayla, yang berjalan di tengah, merasakan ketegangan yang tidak biasa dari kedua sahabatnya.
Malam semakin larut ketika mereka akhirnya tiba di sebuah bukit kecil yang mereka pilih sebagai tempat peristirahatan sementara. Ayla mencoba memejamkan mata, tetapi pikiran-pikirannya terus melayang, memikirkan kata-kata Arlen dan sikap Kael yang tiba-tiba terasa berbeda.
Arlen duduk berjaga di dekat api unggun kecil yang mereka nyalakan. Pandangannya sesekali beralih ke arah Ayla, yang tertidur di samping Kael. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, apakah ada ruang untuknya di hati Ayla?
Sementara itu, Kael yang tampak tertidur sebenarnya tidak sepenuhnya terlelap. Ia mendengar suara langkah ringan Arlen yang berputar di sekitar api unggun, dan dalam pikirannya, ia bersumpah untuk menjaga Ayla—bukan hanya dari bahaya Noir, tetapi juga dari rasa sakit yang mungkin datang dari seseorang yang seharusnya menjadi sekutu mereka.
Dan malam itu, di bawah langit berbintang, tiga hati bergolak dalam perjalanan yang semakin membawa mereka ke dalam bahaya—bukan hanya dari luar, tetapi juga dari perasaan mereka sendiri yang semakin sulit untuk diabaikan.
Ayla merapatkan selimut tipis di bahunya, duduk sendirian di bawah pohon yang besar. Udara malam menusuk, tetapi pikirannya lebih kacau daripada dingin yang merayapi kulitnya. Tatapan matanya terfokus pada obor kecil yang dinyalakan Kael beberapa meter dari tempat ia duduk, tetapi pikirannya melayang jauh.
Arlen berdiri di dekat jalan setapak, punggungnya bersandar pada batu besar. Matanya tidak tertutup meski ia tampak seperti tengah beristirahat. Sementara itu, Kael duduk dekat api unggun yang hampir padam, menggenggam pedangnya seperti pelindung yang setia. Ayla bisa merasakan tatapan Kael yang sesekali terarah kepadanya, tetapi ia tidak tahu apakah itu karena perhatian atau kekhawatiran.
“Ayla,” suara Arlen memecah keheningan. Ia mendekat, suaranya rendah agar tidak membangunkan gadis kecil yang kini tertidur di sisi lain. “Kau sebaiknya istirahat. Besok akan menjadi hari yang berat.”
Ayla mengangkat wajahnya, menatap Arlen dengan tatapan yang sulit ditebak. “Aku mencoba, tapi… terlalu banyak hal yang harus kupikirkan.”
Arlen menghela napas panjang, lalu duduk di hadapannya. Untuk pertama kalinya, wajahnya terlihat lebih lembut, tidak diselimuti kekakuan yang biasa ia tunjukkan. “Aku tahu ini tidak mudah bagimu. Tapi kau harus tahu, semua yang kita lakukan ini… semua ini, demi melindungimu.”
“Melindungiku?” Ayla mengerutkan kening, nadanya terdengar pahit. “Kadang aku merasa, semua ini lebih seperti pertempuran antara kalian berdua. Aku hanya seperti alasan di tengahnya.”
Arlen terdiam sejenak. “Itu tidak benar,” katanya akhirnya. “Aku tidak akan berada di sini jika aku tidak percaya bahwa kau adalah kunci untuk menghentikan Noir. Dan Kael… dia…”
“Dia apa?” Ayla menatap Arlen lebih tajam, tetapi sebelum Arlen bisa menjawab, suara Kael terdengar.
“Apa yang kalian bicarakan?” Kael berdiri dan melangkah mendekat. Ekspresinya terlihat datar, tetapi Ayla dapat melihat sedikit ketegangan di rahangnya.
“Bukan urusanmu,” jawab Arlen tanpa basa-basi, kembali ke nada dinginnya.
Kael mendekat lebih jauh, berdiri di antara mereka berdua. “Segala hal yang menyangkut Ayla adalah urusanku,” katanya tegas.
“Sudah cukup!” Ayla berdiri, suaranya lebih tinggi dari biasanya. “Kalian berdua terus berseteru seperti ini, dan aku lelah! Kita memiliki musuh yang jauh lebih besar dari Noir, dan itu adalah ketidakmampuan kita untuk bekerja sama!”
Kedua pria itu terdiam, terkejut dengan ledakan emosi Ayla. Ia jarang kehilangan kendali seperti ini.
“Jika kalian benar-benar ingin melindungiku, maka berhenti membuatku merasa seperti beban!” lanjut Ayla. Matanya berkaca-kaca, tetapi ia menolak membiarkan air matanya jatuh. “Aku sudah cukup kuat untuk memilih jalanku sendiri. Jadi hentikan ini, atau kalian berdua lebih baik pergi!”
Kael dan Arlen saling pandang, tetapi kali ini, tidak ada tatapan penuh kebencian atau cemburu. Yang ada hanyalah keheningan yang penuh rasa bersalah.
Ayla menghela napas panjang, lalu melangkah menjauh dari keduanya. Ia kembali ke tempat ia duduk sebelumnya, meninggalkan mereka berdua dalam keheningan.
Kael akhirnya bicara, suaranya pelan. “Kau tahu, aku hanya ingin dia aman.”
Arlen menatapnya, dan untuk pertama kalinya, tidak ada nada sinis dalam suaranya. “Aku tahu. Aku juga. Tapi kadang, kita tidak sadar bahwa yang kita lakukan justru membebaninya lebih dari yang kita kira.”
Keduanya saling mengangguk kecil, sebuah pengakuan yang jarang terjadi. Meskipun rasa cemburu dan ketegangan tetap ada, malam itu, mereka mulai menyadari bahwa tujuan mereka sama, meski caranya berbeda.
Di bawah langit yang kini kembali gelap, Ayla memandang bintang-bintang, berharap ada jalan yang jelas untuk dilewati. Tetapi ia tahu, jalan itu tidak akan pernah mudah, terutama dengan bayangan Noir yang semakin mendekat.
Dan di antara semua bayangan itu, Ayla hanya bisa berharap bahwa tiga hati yang bergolak ini akan mampu menemukan keseimbangan—sebelum semuanya terlambat.