NovelToon NovelToon
PONDOK MERTUA

PONDOK MERTUA

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi / Fantasi Wanita / Pembaca Pikiran
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Rahmadaniah

Nisa anak sulung dari lima bersaudara, dipersunting oleh pria bernama Akil, Nisa berharap pernikahannya membawa perubahan pada keluarganya, Setelah sah sebagai suami istri, Akil memboyong Istrinya (Nisa) kerumah orangtuanya. Di pondok Mertua Nisa banyak menghadapi problem rumah tangga, kesabarannya runtuh setelah 11 tahun berumah tangga, bahkan Ia merasa rumah tangganya belum terbentuk. Hingga suatu ketika Nisa memutuskan untuk mengalah dan kembali ke rumah orangtuanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahmadaniah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 21

Nisa sedang duduk di ruang keluarga, membersihkan beberapa peralatan dapur yang baru saja dipakai untuk memasak sarapan. Dia menikmati suasana tenang di rumah dan merasa senang bisa membantu meringankan pekerjaan rumah tangga.

Saat itu, kakak ipar perempuannya, Kak Sahrah, datang dari arah pintu depan setelah berbelanja. Sahrah melihat Nisa yang sedang duduk di ruang keluarga, lalu mendekatinya sambil menaruh tas belanja di meja.

Kak Sahrah: (menatap Nisa sambil menghela napas) Nisa, kamu tidak bosan di rumah terus begini? Setiap hari cuma urus dapur, nggak ada kegiatan lain?

Nisa tersenyum kecil, merasa pertanyaan itu sebagai sapaan ringan. Namun, saat melihat ekspresi serius Sahrah, dia sedikit bingung.

Nisa: (ramah) Tidak, Mbak. Aku senang bisa membantu di rumah, biar Ibu nggak terlalu capek. Lagi pula, Mas Akil juga belum mengizinkan aku bekerja, jadi aku lebih memilih fokus di rumah.

Kak Sahrah: (menyeringai tipis) Tapi kan kamu belum punya anak, Nis. Mumpung masih muda, kenapa nggak cari kerja saja? Dari pada di rumah nggak ngapa-ngapain, kan lebih baik kalau kamu bisa menghasilkan uang sendiri.

Nisa terdiam sejenak. Dia merasa sedikit tersinggung, tapi berusaha menahan diri. Dia ingin menjelaskan bahwa mengurus rumah juga adalah pekerjaan, tapi takut terdengar kasar.

Nisa: (dengan lembut) Sebenarnya, aku senang dengan tanggung jawab di rumah, Mbak. Lagipula, Mas Akil ingin aku lebih fokus pada keluarga dulu.

Kak Sahrah: (mengangkat alis) Ah, Akil saja yang terlalu protektif. Zaman sekarang itu perempuan harus bisa mandiri. Harusnya kamu bisa meyakinkan Akil juga kalau bekerja itu baik. Kan kamu juga bisa bantu keluarga dari penghasilan sendiri.

Nisa merasa tersudut. Kata-kata Sahrah seolah-olah menyiratkan bahwa dia tidak produktif atau tidak berkontribusi hanya karena tidak bekerja di luar rumah.

Nisa: (tersenyum tipis) Aku mengerti, Mbak. Tapi buat sekarang, aku lebih fokus di rumah. Siapa tahu nanti ada kesempatan yang cocok, aku pasti pertimbangkan.

Kak Sahrah: (menghela napas) Terserah, deh. Cuma saran saja, Nis. Jangan sampai kamu terlalu bergantung sama Akil. Lagipula, siapa tahu kalau kamu bekerja, kamu juga bisa lebih dihargai.

Kalimat itu membuat Nisa semakin terdiam. Dia merasa kata-kata Sahrah seperti menyinggung hal-hal yang selama ini dia rasakan, terutama mengenai posisinya di rumah mertua yang kadang dianggap kurang berharga.

Nisa: (mencoba tegar) Terima kasih sarannya, Mbak. Aku akan pikirkan baik-baik.

Kak Sahrah: (mengangkat bahu) Ya, aku cuma nggak ingin kamu menyesal di kemudian hari. Menjadi mandiri itu penting, Nisa. Mumpung belum punya tanggungan anak, lebih baik dimanfaatkan buat cari pengalaman.

kemudian mengambil tas belanjanya dan berlalu meninggalkan Nisa dengan pikiran yang berkecamuk. Nisa terdiam, merasa kata-kata kakak iparnya seakan meremehkan peran yang dia jalani di rumah. Dia tahu niat Sahrah mungkin sekadar memberi saran, tetapi cara penyampaiannya membuatnya merasa tidak dianggap dan tidak dihargai.

Dengan hati yang sedikit berat, Nisa menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Di dalam hati, dia berjanji untuk tetap menjalani perannya sebaik mungkin, dan suatu hari nanti, dia yakin akan menemukan jalan untuk menunjukkan bahwa dirinya juga bisa berarti, entah di dalam rumah atau di luar.

___

Siang itu, Nisa sedang berbaring di kamar sambil menggulir layar ponselnya, mencari-cari informasi tentang lowongan pekerjaan. Dia berusaha untuk memenuhi saran kakak iparnya tadi, meskipun hatinya masih merasa sedikit terluka oleh komentar yang diterimanya. Namun, dia tetap ingin menunjukkan bahwa dirinya juga bisa mandiri, seperti yang diinginkan oleh Sahrah.

Saat dia sedang serius membaca deskripsi pekerjaan di salah satu situs, tiba-tiba pintu kamar terbuka dengan sedikit kasar. Kak Sahrah berdiri di ambang pintu, menatap Nisa yang masih berbaring sambil memegang ponsel.

Kak Sahrah : (menatap sinis) Nah, benar kan dugaanku? Kamu cuma malas-malasan saja di kamar, tidak ada kerjaan.

Nisa terkejut mendengar komentar itu dan buru-buru duduk, merasa terpojok. Dia ingin menjelaskan, tapi takut terlihat defensif.

Nisa: (berusaha tenang) Aku lagi cari lowongan kerja, Kak. Seperti yang Kakak bilang tadi.

Sahrah mengerutkan kening, seolah-olah tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya.

Kak Sahrah : (mengangkat alis) Cari kerja dari ponsel sambil rebahan? Bisa saja kamu cuma main sosial media atau nonton video di sana, kan?

Nisa merasa hatinya tersayat mendengar komentar itu. Dia menatap ponselnya sejenak, lalu mencoba menunjukkan bahwa layar ponselnya benar-benar sedang membuka situs lowongan pekerjaan.

Nisa: (dengan suara pelan) Aku sungguh-sungguh, Kak. Aku cari pekerjaan yang sesuai supaya nggak terlalu mengganggu tugasku di rumah.

Sahrah melipat tangan di dada, menatap Nisa dengan tatapan skeptis.

Kak Sahrah: Ya, mending kalau begitu. Jangan sampai cuma pura-pura sibuk, tapi kenyataannya nggak ada hasilnya. Kamu nggak mau kan dianggap cuma menumpang hidup di rumah ini?

Nisa menundukkan kepala, merasa semakin terpojok. Walau niatnya memang untuk menunjukkan bahwa dirinya berusaha mandiri, komentar Sahrah membuatnya merasa seolah-olah apapun yang dia lakukan tetap akan dianggap salah.

Nisa: (dengan suara nyaris berbisik) Aku hanya ingin membantu dan meringankan beban Mas Akil, Kak.

Kak Sahrah: (menyeringai tipis) Bagus kalau kamu sadar. Tapi ingat ya, Nisa, nggak ada yang mau melihat kamu hanya bersantai-santai tanpa ada kontribusi.

Nisa hanya mengangguk pelan, meski hatinya terasa sesak. Setelah berkata demikian, Sahrah berbalik dan meninggalkan kamar dengan langkah ringan, seolah-olah tak ada yang salah dengan kata-katanya.

Saat Sahrah sudah pergi, Nisa menarik napas panjang, menatap layar ponselnya dengan perasaan yang berkecamuk. Dia merasa dihakimi, tetapi juga merasa terdesak untuk membuktikan sesuatu. Dengan tekad yang semakin kuat, dia melanjutkan pencarian lowongan pekerjaan, berharap suatu hari bisa menunjukkan bahwa dirinya tidak hanya “menumpang hidup” di rumah ini, seperti yang dikatakan Sahrah.

Pikirannya penuh dengan berbagai hal yang telah terjadi selama beberapa hari terakhir. Kata-kata tajam dari Sahrah dan tekanan dari ibu mertuanya terngiang di kepalanya, membuatnya merasa kecil dan tidak berdaya. Namun, di balik perasaan terpojok itu, dia menyadari bahwa dirinya tidak bisa terus-menerus diperlakukan seperti ini.

Nisa menatap cermin di depannya. Dia mengambil napas dalam-dalam, merasakan dorongan dalam hatinya untuk bangkit.

Nisa: (berbisik pada dirinya sendiri) Aku harus melakukan sesuatu. Aku tidak mau terus dianggap lemah. Ini bukan cuma soal uang atau pekerjaan. Aku ingin mereka melihat bahwa aku juga bisa berdiri di sini sebagai istri Akil, bukan sekadar "beban" dalam keluarga ini.

---

Malam itu, Nisa berjalan perlahan menuju dapur untuk mengambil air minum. Saat melewati ruang keluarga, langkahnya terhenti ketika mendengar suara Akil, ibu mertuanya, dan kakak iparnya, Sahrah. Mereka tengah bercakap-cakap dengan nada serius. Nisa menghentikan langkahnya dan berdiri di sudut dekat dinding, merasa penasaran sekaligus waspada.

Ibu Akil: (dengan nada kesal) Akil, ibu perhatikan kamu sekarang ini suka sekali menghamburkan uang untuk hal-hal yang tidak perlu. Rumah ini masih butuh banyak perbaikan, tapi kamu malah sibuk mengurus hal lain.

Akil: (suara tenang) Bu, apa yang saya lakukan itu bukan menghamburkan uang. Saya hanya memastikan kebutuhan rumah tangga saya terpenuhi. Itu adalah tanggung jawab saya sebagai seorang suami.

Nisa mendengarkan dengan seksama, hatinya berdegup lebih kencang. Ia bisa merasakan adanya tudingan halus yang dilontarkan mertuanya kepada Akil, seolah-olah semua perubahan itu dianggapnya salah.

Sahrah: (menyela dengan nada dingin) Iya, Bu. Memangnya sejak kapan Akil punya kebiasaan seperti ini? Jelas-jelas karena pengaruh dari Nisa. Kamu terlalu nurut sama istrimu, sampai-sampai banyak keputusan yang tidak masuk akal kamu buat sekarang.

Akil: (menahan kesal) Mbak, tolong jangan salah paham. Tidak ada yang memengaruhi saya, apalagi Nisa. Semua ini keputusan saya sendiri. Saya melakukan ini karena saya ingin menjadi suami yang bertanggung jawab. Itu saja.

Nisa terenyuh mendengar Akil yang terus membelanya di hadapan keluarganya sendiri. Namun, ia juga merasakan getir mendengar tudingan bahwa dirinya dianggap mengubah Akil.

Ibu Akil: (menghela napas) Akil, ibu cuma khawatir kamu jadi lupa diri. Dulu kamu tidak pernah seperti ini. Apapun yang ibu katakan, kamu selalu menurut. Sekarang ibu merasa seolah ada jarak yang makin besar di antara kita.

Akil: (lembut, namun tegas) Bu, saya masih menghormati ibu dan keluarga ini. Tapi sekarang saya punya tanggung jawab sendiri. Menjadi suami berarti saya harus memberikan yang terbaik untuk Nisa. Tidak ada yang berubah dalam sikap saya, hanya saja prioritas saya sekarang sudah berbeda.

Sahrah: (sinis) Kamu terlalu terbuai dengan semua itu. Apa kamu pikir peran istri itu cuma diam di rumah sambil terus menghabiskan uang suaminya?

Akil: (nada membela) Nisa tidak seperti itu, Mbak. Dia bukan orang yang suka meminta atau bergantung. Justru dia sangat pengertian. Kalau saya menggunakan uang, itu karena saya tahu apa yang harus diprioritaskan.

Nisa terharu mendengar Akil yang terus mempertahankan pendiriannya. Meskipun ibu mertua dan kakak iparnya terus mempertanyakan keputusan-keputusannya, Akil tetap teguh. Nisa merasa dihargai dan terlindungi sebagai seorang istri, tetapi ia juga semakin sadar bahwa keputusan ini tidak mudah bagi Akil.

Ibu Akil: (menghela napas panjang) Ya sudahlah. Kalau kamu yakin semua ini benar, ibu harap kamu tidak akan menyesal nanti.

Akil: (lembut) Saya yakin, Bu. Saya akan selalu menghormati ibu, tapi saya juga mohon pengertian. Saya ingin menjalani kehidupan pernikahan saya dengan baik, tanpa ada beban yang tidak perlu.

Percakapan itu berakhir dengan keheningan yang berat. Nisa melihat Akil menghela napas panjang sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruangan. Saat ia melangkah menuju kamar, Nisa buru-buru kembali ke kamar agar Akil tak melihatnya.

Di dalam hati, Nisa merasa lega sekaligus terharu. Ia tahu bahwa rumah ini bukanlah tempat yang mudah untuknya, tetapi dukungan Akil membuatnya merasa lebih kuat. Dalam keheningan malam, Nisa merenung dan bertekad akan terus mendukung Akil, apapun rintangan yang mereka hadapi di dalam keluarga besar ini.

1
Lala lala
bukan halo nisa...baiknya saat nelp..assalamualaikum nisa, apa kabar..
Rahmadaniah: terimakasih kasih saran nya 🫰🏻🙏🏻
total 1 replies
Rahmadaniah
makasih kak🙏🏾.
Rahmadaniah
mkasih kak 🙏🏾.
Rahmadaniah
makasih kak udh mampir baca
Amalia Mirfada
merasakan getaran emosi dalam setiap kata.
Rara Makulua
Terbaik! Worth to read!
Mưa buồn
Karya yang bagus buat dibaca berulang-ulang, makasih author! 😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!