Ketika Regita pindah ke rumah baru, ia tak pernah menyangka akan tertarik pada Aksa, kakak tirinya yang penuh pesona dan memikat dalam caranya sendiri. Namun, Aksa tak hanya sekadar sosok pelindung—dia punya niat tersembunyi yang membuat Regita bertanya-tanya. Di tengah permainan rasa dan batas yang kian kabur, hadir Kevien, teman sekelas yang lembut dan perhatian, menawarkan pelarian dari gejolak hatinya.
Dengan godaan yang tak bisa dihindari dan perasaan yang tak terduga, Regita terjebak dalam pilihan sulit. Ikuti kisah penuh ketegangan ini—saat batas-batas dilewati dan hati dipertaruhkan, mana yang akan ia pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENAGIH BAYARAN
Regita baru saja sampai di rumah, mengusap dahinya yang berkeringat setelah berjuang melawan teriknya matahari di perjalanan pulang. Tanpa menunggu lama, dia melangkah cepat menuju dapur untuk mengambil air dingin dari kulkas, berharap segera mendinginkan tenggorokannya yang kering.
Namun, langkahnya terhenti begitu saja di ambang pintu dapur saat pandangannya tertumbuk pada sosok Aksa. Kakak tirinya itu berdiri di dekat meja, hanya mengenakan boxer. Otot-ototnya yang kekar tampak jelas, terutama di perutnya yang berotot dan berkulit terang, memberi kesan seolah Aksa baru selesai latihan.
“Eh... Kak Aksa?” suara Regita sedikit bergetar, antara terkejut dan salah tingkah. Ia berusaha menunduk, tapi sesekali pandangannya kembali tertarik pada sosok Aksa.
Aksa menoleh dan tersenyum, tampak tak terganggu sama sekali dengan kehadiran Regita. “Oh, hey! Lo udah pulang?” tanyanya santai, sembari mengambil handuk kecil yang tergeletak di meja dan menyeka lehernya.
Regita mencoba berpura-pura sibuk dengan membuka pintu kulkas, berharap pipinya yang memerah tidak terlalu kentara. “I-iya… cuaca di luar panas banget,” jawabnya pelan, mengambil sebotol air dingin dan meneguknya cepat.
Aksa mengangguk, masih tersenyum jahil saat melihat Regita yang kelihatan salah tingkah. “Kelihatan dari muka lo, kayaknya kepanasan banget,” ucapnya sambil tertawa kecil.
Regita meneguk airnya lebih cepat, berusaha menghindari tatapan Aksa yang seolah menambah panas suasana. “Iya… gitu deh. Tapi… Kak, nggak… nggak kepanasan?” tanyanya spontan, lalu tersadar dengan ucapannya dan buru-buru menutupi mulutnya.
Aksa terkekeh, mendekatkan dirinya ke arah Regita dengan senyum menggoda. “Hmm, kalau kepanasan, ada yang bisa nyediain air dingin buat gue, nggak?” tanyanya sambil melirik botol air di tangan Regita.
Regita menatapnya sekilas dengan alis terangkat, lalu tertawa kecil. “Ya ambil sendiri, Kak,” jawabnya sedikit lebih berani.
Aksa terkekeh, matanya menatap Regita dengan intens. “Padahal, ada air dingin di sini,” katanya, lalu menepuk ringan pipi Regita yang memerah.
Aksa menggeser tubuhnya sedikit lebih dekat ke arah Regita, membuat gadis itu makin salah tingkah. “Oh ya, ngomong-ngomong soal tadi di sekolah…” katanya sambil tersenyum jahil.
Regita mengerjap, jantungnya langsung berdebar. “Hah? Tadi? Maksudnya… yang mana?” tanyanya sambil menghindari tatapan Aksa, berusaha menenangkan dirinya.
“Yang tadi itu,” ucap Aksa menekankan, lalu menatapnya penuh arti, mengingatkan Regita pada permintaannya di kantin tadi. “Katanya mau jajan, tapi bayarnya belum lunas.”
Regita langsung memerah, panik menoleh ke sekeliling, mencari-cari apakah ada orang lain di rumah. “Kak... jangan bercanda. Kan... di sini…” bisiknya pelan, merasa kikuk dan gugup.
Aksa tersenyum, seperti menikmati kepanikan kecil Regita. “Bunda sama Ayah lagi pergi kok. Rumah sepi, jadi nggak ada yang lihat,” ujarnya santai, sengaja mendekatkan wajahnya ke arah Regita.
“Eh… tapi…” Regita tak mampu menemukan alasan lagi, suaranya teredam, dan dalam hati dia berusaha menenangkan debaran jantungnya yang semakin kencang.
“Jadi?” Aksa menatapnya dengan senyum lebar. “Bayarnya gimana?” ujarnya lembut, matanya memperhatikan setiap reaksi kecil yang muncul dari wajah Regita.
Regita menggigit bibirnya, wajahnya masih merona merah. “I-itu… kakak keterlaluan…” gumamnya pelan, tapi perlahan dia menghela napas dan mendekatkan dirinya, mengisyaratkan kesediaannya.
Aksa tersenyum lebar, menyentuh lembut pipi Regita dan menatapnya dalam. “Nah, itu baru adil,” katanya sebelum menepati bayarannya.
Aksa menatap dalam ke mata Regita, seolah ingin memastikan kalau gadis itu benar-benar mengizinkannya. Tangan Aksa terulur, lembut menyentuh pipi Regita yang memerah. Regita menahan nafas, detak jantungnya terasa menggema di dadanya, dan perutnya seperti diaduk-aduk dengan perasaan gugup dan antusias yang berbaur.
Perlahan, Aksa mendekatkan wajahnya, dan tanpa terburu-buru, dia mengecup bibir Regita. Ciuman itu lembut dan penuh perasaan, membuat Regita seakan melayang. Dia memejamkan mata, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan yang kini melingkupi mereka berdua.
Tangan Aksa berpindah ke pinggangnya, menariknya sedikit lebih dekat. Mereka begitu dekat hingga Regita bisa merasakan detak jantung Aksa yang sama cepatnya. Ada sensasi hangat yang menjalar di tubuhnya, dan perutnya terasa bergejolak, seolah dipenuhi oleh kupu-kupu yang berterbangan tak tentu arah.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti keabadian, Aksa perlahan melepaskan ciumannya, namun, tetap mempertahankan kedekatan mereka. Dia menatap Regita dengan senyum kecil di wajahnya, dan menyentuhkan dahinya ke dahi Regita. “Kamu selalu bikin aku kehilangan kontrol,” bisiknya lembut, suaranya nyaris bergetar, seolah perasaan yang terpendam itu akhirnya menemukan jalannya.
Regita tersenyum malu, menunduk sebentar sebelum menatap kembali ke mata Aksa. “Itu... itu salahmu,” jawabnya lirih, berusaha menutupi rasa gugupnya dengan nada bercanda, meskipun hatinya tak bisa menyangkal perasaan yang makin dalam pada sosok kakak tirinya itu.
Keduanya terdiam sesaat. Saat itu lah mata Regita tak sengaja menatap ke bagian tengah Aksa yang menggembung. Dia memiringkan kepalanya bingung, lalu menatap Aksa dengan polos.
Aksa yang sadar dengan arah pandang Regita mulai tersenyum jahil, “Apa Lo mau nyoba menyentuhnya?” tanyanya mengerling.
Sontak wajah Regita memerah. Dia memukul lambat bidang Aksa, “Jangan bercanda!” katanya.
Tetapi Aksa yang masih memegang pinggang Regita itu pun mulai mengangkat gadis itu ke meja bar.
Regita terkejut saat Aksa dengan mudah mengangkatnya dan mendudukannya di atas meja bar dapur. Ia memandang wajah kakak tirinya itu dengan ragu, wajahnya semakin memerah.
“A-Aksa… turunin aku,” bisiknya, masih malu dengan keakraban ini.
Aksa hanya tersenyum, kedua tangannya masih memegang pinggang Regita, memastikan dia tidak akan kemana-mana. “Emangnya kenapa? Tadi kamu yang menggodaku duluan,” godanya, nadanya lembut tapi ada nada menggoda yang tak bisa disembunyikan.
Regita menunduk, lalu tanpa sadar meremas ujung kaosnya sendiri. “Aku… aku tidak.”
Aksa mendekatkan wajahnya, menatapnya dalam-dalam. “Ayo bilang ke gue, lo gak penasaran mengapa bagian itu menjadi keras?”
Regita menatap Aksa dengan bingung, meski ada secuil rasa ingin tahu. “Kamu ini... selalu aja ngegodain,” gumamnya pelan.
Aksa terkekeh. “Nggak ngegodain kok, aku serius.” Dia kemudian mencondongkan tubuhnya, cukup dekat sehingga Regita bisa merasakan napasnya. “Gimana, mau nyobain gak?”
Regita menghela napas, wajahnya semakin memerah, tetapi tatapannya tetap pada Aksa, mencari keberanian dalam dirinya. "A-Aku... nggak tahu gimana cara megangnya."
Aksa tersenyum, lalu dengan lembut berkata, “Gampang kok, gue bakal ngajarin lo.”
Aksa melebarkan sedikit kaki Regita dan menempatkan dirinya di tengah gadis itu. Dia menatap mata Regita dalam, lalu mendekatkan wajahnya kembali pada gadis itu dan mulai menciuminya lagi. Ini tidak ada dalam rencana Aksa. Kecanduan akan Regita. Saat dirasa ciumannya semakin dalam dan panas, Aksa dapat mendengar lenguhan Regita yang membuatnya merinding. Dengan tergesa dan setengah hati Aksa melepaskan ciumannya, menatap mata Regita yang sudah sayu.
“Kalau gue lanjutin... mungkin kita akan berakhir di ranjang,” katanya serak pada Regita.