Ketika adik-adiknya sudah memiliki jodoh masing-masing, Ara masih diam tanpa progres. Beberapa calon sudah di depan mata, namun Ara masih trauma dengan masa lalu. Kehadiran beberapa orang dalam hidupnya membuat Ara harus memilih. Teman lama atau teman baru? Adik-adik dan keluarganya atau jalan yang dia pilih sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon veraya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1 : Mencari calon
Calon pertama...
Alan tergopoh-gopoh mencari kakaknya di kamar atas.
“Mbak! Mbak Ara!”
Alan mengetuk pintu kamar kakaknya dengan tergesa-gesa.
“Ada apa sih, bocah?!”
Ara membuka pintu dengan bersungut-sungut.
“Turun dong. Ada yang pengen ketemu sama kamu.”
“Siapa?”
“Temenku.”
“Kalau temenmu, ngapain pengen ketemunya sama aku?”
“Penting. Kita bicara di bawah aja.”
“Nggak mau. Kamu pasti aneh-aneh.”
“Enggaaak… Ayolah, plis. Ini cuma masalah desain. Kami mau buka toko sepatu, dan logo yang bagus tuh gimana biar bawa hoki.”
Ara melirik curiga pada adiknya.
“Nunggu apa lagi, Mbak?”
“Nunggu aku ganti baju! Nanti aku nyusul.”
“Oke.”
Alan turun ke lantai satu, duduk bersama Mamanya yang sudah berdandan ayu. Ara menyusul turun lima menit kemudian. Dia merasa aneh dengan kehadiran Mamanya di ruang tamu bersama adiknya.
“Nah, itu Mbak Ara.”
Alan memberi kode kepada temannya untuk berdiri dan bersalaman.
“Halo, Mbak Ara. Saya Putra. Saya temennya Alan.”
“Hai. Temen kuliah?”
“Iya.”
“Ooh, mau bikin desain logo?”
“Hah?”
Alan menyikut pinggang Putra sambil cengengesan.
“Oh, iya.”
Ara duduk di sofa, di samping Mamanya.
“Mama juga kamu ajak diskusi, Lan?”
“Itu…”
“Mama mau lihat calon suami kamu kayak gimana.”
“Hah?” kali ini Ara yang melongo.
“Putra ini pebisnis yang mumpuni. Dia punya kafe dan barbershop. Bentar lagi dia buka toko sepatu bareng Alan. Orangtuanya dosen. Dia bungsu. Lulusan terbaik Manajemen Bisnis.”
Alis Ara mengkerut. Dia melirik tajam pada Alan. Alan yang ditembak tatapan mematikan dari mata kakaknya itu langsung menunduk.
“Maksudnya…” Ara terbata.
Putra tiba-tiba saja angkat bicara.
“Saya sudah lama tahu Mbak Ara dari Alan. Saya ingin sekali deket sama Mbak Ara. Kata Alan, kalau nggak datang ke rumah, saya nggak boleh minta nomernya Mbak Ara. Jadi, saya datang ke sini…”
“ALAN!” Ara naik pitam. “Sini kamu!”
Ara menghampiri Alan sambil menjewer telinga adiknya itu.
“Berani-beraninya ya kamu main jodoh-jodohin kakakmu sama berondong temen kamu sendiri! Nggak minta izin, nggak diskusi, nggak ngasih upeti!”
“Duh! Lepasin dong, Mbak! Malu dilihat ama temenku!”
“Putra…lihat ini! Kehidupan rumah tangga mungkin saja akan ada adegan seperti ini. Apa kamu sudah siap? Kamu masih terlalu muda buat aku. Maaf, aku punya adik dua aja udah repot, apalagi kalau sampai calon suamiku juga adek-adek macam kalian. Jangan ya dek ya, jangan…saya susah sekali ngasuhnya.”
Putra yang melihat tontonan horor di depan mukanya langsung merinding. Dia tidak mau telinganya copot seperti Alan.
“Kalau gitu, saya permisi…”
“Ya. Bagus. Pulang saja. Masa depan kamu masih panjang, selagi masih muda carilah uang sebanyak-banyaknya, jangan mikir nikah dulu. Jadi kepala rumah tangga itu berat, kamu harus nafkahin anak orang, skin care-nya, biaya arisan, biaya traveling, belum lagi kalau udah punya anak, kamu udah sempet mikirin popok untuk anakmu juga? Belum lagi kalau ada masalah dengan mertuamu, kamu harus jadi pemimpin yang bijaksana. Kembali saja sepuluh tahun lagi kalau kamu masih punya nyali.”
Mama Ara memijit pangkal hidungnya.
Calon kedua...
Karena kemarin bertemu dadakan di rumah tidak berhasil, kali ini Alan mengubah strategi. Dia mengatur pertemuan Ara dan calon pilihannya di rumah makan kesukaan Ara. Mama Ara tidak ketinggalan untuk ikut.
Seorang pria melambaikan tangan pada Alan dari arah pintu masuk.
“Halo, Alan. Nggak nyangka ketemu di sini.”
“Om Daru, kebetulan sekali. Silakan duduk sini, Om. Saya lagi makan bareng kakak dan Mama saya.” kata Alan memulai sandiwaranya.
Om? Ara melirik pria yang sebelas dua belas sama Papanya itu.
“Ini Ara? Wah, sudah besar ya, cantik kayak Mamanya.”
Mama Ara tersipu tapi tetap mempertahankan jaimnya, sedangkan Ara malah risih.
“Alan bilang kamu suka traveling, Ra? Kebetulan besok lusa saya mau ke Medan. Ada kerjaan di sana. Saya butuh asisten, yaah…seperti sekretaris pribadi lah. Kalau kamu mau, sekalian saya mau minta izin sama Mamamu juga.”
Ara melotot lebar-lebar ke Alan. Kali ini Alan tidak menunduk, melainkan melihat langit-langit sambil kakinya goyang-goyang sendiri.
“Maaf, Om umur berapa? Kok mirip adik Papa saya malahan.”
“Saya 50. Tapi tua-tua begini saya masih berjiwa muda loh. Saya masih sering mendaki gunung, sepedaan, naik kayak, yang belum itu ski es di Everest sana. Belum ada waktu. Pekerjaan saya banyak, ngurus perusahaan sendirian satu-satu itu capek banget. Kalau ada yang bantuin jadi asisten, saya akan senang sekali.”
“Om udah punya istri?”
“Belum. Ini lagi nyari. Kalau pacar sih…dulu punya banyak, tapi…saya nggak selera lagi. Kebanyakan mereka mintanya aneh-aneh.”
“Aneh-aneh gimana, Om?”
“Ada yang minta dibeliin kucing, komplit sekandang dan pakannya. Saya paling nggak suka kucing. Pemalas.”
Oh, ada celah. Batin Ara.
“Maaf, Om. Saya punya kucing, banyak. Saya nggak bisa hidup tanpa kucing. Dan saya juga nggak bisa jadi sekretaris pribadinya Om. Apalagi ke Medan cuma berdua aja. Mama saya nggak suka saya pergi jauh-jauh.”
Kali ini Daru malah melirik Mamanya Ara.
“Yuk pulang.” kata Ara sambil bangkit dari kursi.
...* * * * *...
Ruang tamu seketika jadi ribut sepulang mereka bertiga ke rumah.
“AMPUUUN!! Mama sama Mbak Ara jangan keroyokan gini doooong!”
“Habisnya kamu kebangetan ya nyariin aku jodoh aneh-aneh begitu!”
Ara masih tidak berhenti mencubiti pinggang adiknya, sedangkan mamanya menepak lengan Alan berkali-kali.
“Kamu kalau cari calon buat kakak kamu tuh tanya Mama dulu, jangan bilangnya bagus, keren, mantap, ternyata om-om sebangsa Papa kamu! Alan…Alan…”
“Habisnya aku bingung seleranya Mbak Ara itu gimana sekarang. Yang muda salah, yang tua salah. Maunya yang kayak gimana? Kakek-kakek sakti?”
“Tambah kurang ajar ya kamu. Kualat kamu nggak jadi nikah sama Dista!”
“Ampun, jangan kutuk dong, Mbaak. Mama nih yang ngasih aku syarat kalau mau nikah duluan, aku harus nyariin kamu jodoh dulu!”
Ara berhenti memiting tangan adiknya. Dia beralih ke Mamanya.
“Beneran Mama ngasih syarat kayak gitu ke Alan?”
“Mama kan nggak pengen kamu malu atau merasa nggak adil dilangkahi adik-adikmu. Azka udah nikah, sekarang Alan juga mau lamaran. Kamu malah belum ada rencana apa-apa, Ara.”
Dada Ara bergemuruh.
“Ara bukan tipe kakak yang kejam sampai ngga ngebolehin adiknya nikah duluan, Ma. Kalau mereka udah dapat jodoh duluan, Ara nggak masalah. Mama sama aja maksa Ara nikah tanpa proses dulu kalau kayak gini caranya.”
Ara kembali menatap Alan yang masih garuk-garuk kepala.
“Alan…kamu boleh nikah duluan. Kakakmu ini ikhlaaaas…relaaaa...”
“Beneran, Mbak?”
“Iyaaa….masak iya sih aku nggak ngebolehin kamu nikah. Kamu liat tuh si Azka udah nikah duluan, aku izinin kan. Daripada zina, kalau kamu udah kebelet, nikahlah, halalin pilihanmu. Aku ikut seneng kalau kamu bahagia sama pasangan kamu. Menikah itu butuh keberanian. Aku salut sama kamu kalau kamu berani memutuskan untuk menikah. Bukan cuma pacar-pacaran nggak jelas.”
Alan terdiam mendengar perkataan kakaknya itu. Dia sekonyong-konyong menyalami tangan Ara sambil mengucap terima kasih.
“Makasih, Mbak. Makasih banyak. Besok aku lamar Dista.”
Ara mengangguk-angguk mantap sambil mengacungkan jempol.
“Ma, Alan udah dapat restu ya. Alan nggak perlu nyariin calon lagi buat Mbak Ara. Dia masih pengen bertapa di Gunung Gede bareng Wiro Sableng kayaknya.”
“Hush! Ngomong yang bener. Tugas kamu tetep jalan walaupun kamu udah nikah nanti. Selama kakakmu itu belum nikah, tugas kalian adalah mencarikannya jodoh. Pokoknya jangan berhenti berusaha!”
“Mamaa….” Ara mulai mengeluh.
“Nggak ada penolakan. Anak Mama harus udah nikah semua sebelum Mama ulang tahun ke-56!”
Mama Ara melenggang pergi masuk ke kamar, sedangkan Ara dan Alan masih sama-sama berdiri di ruang tamu dengan perasaan terbebani.
“Alan…”
Ara merangkul pundak adiknya sambil berbisik.
“Kamu nggak perlu nyariin jodoh buat aku, kamu bisa bebas tugas.”
“Kata siapa? Mama yang ngasih tugas, mana ada yang bisa lepas.”
“Kamu nggak usah repot-repot. Asalkan kamu ngasih upeti sama aku.”
“Halah…sama aja…lepas dari mulut harimau, masuk ke comberan!”
“Kurang ajar! Kamu nyamain aku sama comberan?”
Ara membanting badan besar adiknya ke lantai sampai-sampai adegan harus disensor karena mengandung unsur kekerasan.