Setelah fenomena Dukhan melanda, dunia berubah drastis dengan iklim yang semakin ekstrem dan teknologi yang lumpuh. Umat manusia harus bertahan hidup di tengah panas terik dan kemarau panjang yang tak kunjung usai.
Kisah ini mengikuti perjalanan sebuah kelompok yang berjuang menghadapi kenyataan baru. Mereka mencoba menanam di tanah kering, mencari air, dan bergantung pada kebijaksanaan lama. Di tengah tantangan yang berat, muncul momen tegang, humor, dan rasa kebersamaan yang kuat.
Mencari Harapan di Tengah Kemarau adalah cerita tentang perjuangan, keimanan, dan kebersamaan dalam menghadapi ujian akhir zaman.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehidupan di Ujung Harapan
13.1. Dalam Kegelapan yang Terus Menghimpit
Hari demi hari berlalu, tak terasa mereka sudah berada di dalam bunker selama 38 hari. Suasana semakin mencekam, dan meski mereka masih hidup, penampilan mereka mirip mayat hidup. Wajah-wajah yang dulunya ceria kini terlihat pucat dan kurus, dengan rambut acak-acakan yang tak terurus.
Bau busuk memenuhi udara, mengalahkan aroma apapun yang pernah mereka kenal. Mulut mereka berbau tak sedap, hasil dari kurangnya kebersihan dan makanan. Dalam kegelapan, suara-suara saling bersahutan, dari desah napas berat hingga suara gelisah yang menggema.
Di sudut bunker, Maria merintih pelan, "Aku tidak tahu berapa lama lagi kita bisa bertahan seperti ini." Rasa putus asa terlihat jelas di wajahnya. Sebagian orang hanya bisa mengangguk, merasakan keputusasaan yang sama.
Ulama itu berdiri di tengah kerumunan, mencoba menenangkan orang-orang yang semakin putus asa. "Kita masih bisa bertahan," serunya dengan tegas. "Jangan biarkan kegelapan ini mengalahkan kita! Teruslah berdzikir!"
Namun, ada suara skeptis yang muncul dari belakang. "Dzikir? Apa itu cukup untuk mengisi perut kita yang keroncongan ini?" tanya seorang pria dengan nada pesimis.
Suara itu mengundang tawa sinis dari beberapa orang yang frustasi. Mereka saling menatap, menyadari betapa jauh mereka sudah terperosok ke dalam keputusasaan. Keringat dingin mengalir di pelipis mereka, menambah ketidaknyamanan dalam suasana yang sudah mencekam ini.
Salah satu wanita, Maria, menambahkan, "Aku sudah tidak tahan lagi! Lihat kita, seperti hantu berkeliaran! Kenapa kita harus bertahan di sini? Kita tidak bisa terus berdoa tanpa berusaha!"
Ulama itu, meski tetap tenang, bisa merasakan ketegangan di antara mereka. "Ingat, ini adalah ujian. Ujian untuk menguji keimanan kita. Allah tidak akan membiarkan kita sendirian di tengah cobaan ini."
Sebagian dari mereka terdiam, tetapi sebagian lain tetap skeptis. Dengan perut yang keroncongan dan raga yang lemas, semangat mulai meredup.
Seorang lelaki tua bernama Haji Ahmad angkat bicara. "Kita perlu mencari cara untuk bertahan. Mungkin ada sesuatu yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan peluang kita. Mencari makanan atau mencari cara keluar dari sini."
"Setuju!" jawab yang lain. "Kita tidak bisa terus seperti ini. Kita butuh rencana!"
Perdebatan mulai menghangat. Beberapa orang mulai berdiskusi tentang kemungkinan membuka pintu bunker untuk mencari makanan. "Tapi, bagaimana kalau di luar masih berbahaya? Kita tidak tahu apa yang terjadi di sana," kata seorang wanita muda dengan suara gemetar.
"Setiap saat kita menunggu, kita semakin lemah!" jawab Haji Ahmad. "Kita harus mengambil risiko!"
Ulama itu mengamati dengan cermat. "Mungkin kita bisa melakukan survei kecil-kecilan. Satu atau dua orang untuk keluar, dan melihat situasi di luar. Jika aman, kita bisa kembali dan merencanakan langkah selanjutnya."
Saran itu membuat kerumunan semakin bersemangat. "Ya, kita bisa bergantian! Satu orang keluar, yang lain tetap di sini dan menjaga pintu," saran seorang pria muda.
Mereka mulai berdiskusi lebih lanjut tentang siapa yang akan pergi. Ketegangan mulai mereda, digantikan oleh rasa harapan yang baru. Kegelapan dan bau busuk yang menyelimuti mereka mulai tergantikan oleh tekad untuk bertahan hidup.
"Ayo, kita semua berdoa agar Allah memberi kita jalan keluar dari semua ini," kata ulama itu, mengajak semua untuk bersatu.
Mereka merapatkan barisan, berdzikir bersama. Meski dalam kegelapan, cahaya harapan mulai menyala kembali.
13.2. Kelinci Percobaan
Dengan semangat baru, dua orang yang terpilih, Haji Ahmad dan seorang pemuda bernama Rudi, bersiap untuk keluar dari bunker. "Ingat, kita hanya mencari tahu kondisi di luar," kata Haji Ahmad, matanya berbinar meski tubuhnya lemah. Rudi mengangguk, tetapi raut wajahnya menunjukkan ketakutan.
Ketika pintu bunker dibuka, hawa dingin langsung menyergap mereka. Kegelapan di luar lebih pekat daripada yang mereka bayangkan. Haji Ahmad dan Rudi mulai meraba-raba, berusaha melangkah maju, tetapi pandangan mereka terhalang total.
"Saya tidak bisa melihat apa-apa," keluh Rudi, suaranya bergetar. "Bagaimana kalau ada bahaya di luar sana?"
"Tenang, kita bisa mengandalkan indra lain," jawab Haji Ahmad sambil meraba dinding untuk menjaga keseimbangan. Namun, langkah mereka tidak stabil. Mereka sering terjatuh, tersandung batu dan puing-puing yang tak terlihat.
Setiap kali mereka jatuh, suara tubuh yang menghantam tanah terdengar, dan hawa dingin terasa semakin menggigit. "Aduh, ini sangat menyakitkan!" Rudi mengeluh, berusaha bangkit sambil mengusap lututnya yang terluka.
"Jangan menyerah!" Haji Ahmad memotivasi. "Kita harus terus bergerak, temukan jalan keluar dari kegelapan ini!"
Namun, saat mereka terus meraba, hawa dingin semakin mencekik, membuat mereka merasa lemas. "Aku tidak tahan lagi! Ini benar-benar mencekik!" Rudi berteriak, suara ketakutannya bergema dalam kegelapan.
"Baiklah, kita balik saja. Tidak ada gunanya terus maju jika kita tidak bisa melihat," Haji Ahmad memutuskan, meskipun hatinya berat.
Keduanya mulai berbalik, tetapi dalam kegelapan, mereka kembali tersandung. Rudi jatuh kembali, mengeluarkan keluhan kesakitan. "Kita tidak bisa terus begini," katanya, napasnya semakin cepat.
"Pegang bahuku," Haji Ahmad membantu Rudi bangkit. Dengan langkah goyah, mereka akhirnya kembali menuju pintu bunker. "Aku harap yang lain tidak kehilangan harapan saat kita kembali," kata Haji Ahmad, berusaha membangkitkan semangat.
Ketika mereka tiba di pintu bunker dan melangkah masuk, bau busuk dan suasana pengap langsung menyambut mereka. "Bagaimana? Apa yang kamu lihat?" seorang wanita bertanya, penuh harap.
Haji Ahmad menatap mereka dengan tatapan lelah. "Di luar... masih gelap. Dan hawa dinginnya membuat kita tidak bisa bertahan lama. Kita harus mencari cara lain."
Rudi menambahkan, "Kami tidak menemukan apa-apa. Hanya kegelapan dan hawa dingin. Kita tidak bisa terus menerus seperti ini."
Suasana kembali suram, tetapi ulama itu menyuarakan harapan. "Kita harus tetap berdzikir dan bersatu. Jangan biarkan kegelapan di luar merusak semangat kita. Kita akan menemukan jalan keluar dari semua ini."
Mereka kembali berdoa, berharap agar Allah memberikan petunjuk dan kekuatan untuk menghadapi ujian yang semakin berat.
13.3. Pasrah dan Berdoa
Setelah Haji Ahmad dan Rudi kembali dari usaha mereka yang gagal, suasana di dalam bunker terasa semakin berat. Ulama, yang dengan cermat mendengarkan cerita mereka, menghela napas panjang.
"Jadi, di luar masih gelap dan dingin, dan tidak ada harapan untuk menemukan makanan?" tanyanya, wajahnya terlihat lelah tetapi tetap tegar.
"Ya, ulama. Tidak ada apa-apa di sana," jawab Haji Ahmad, suaranya terdengar putus asa. "Kami hanya meraba-raba dan tersandung."
Ulama itu mengangguk, memahami kesulitan yang mereka hadapi. "Kita tidak bisa bergantung pada kondisi di luar. Kita harus memperkuat diri dengan dzikir. Dengan dzikir, kita bisa menemukan ketenangan dan kekuatan."
Dia berdiri dan mengangkat tangannya, meskipun tidak ada cahaya untuk melihat, suaranya tegas dan penuh harapan. "Mari kita berdzikir bersama. Setiap kalimat dzikir adalah cahaya dalam kegelapan ini. Kita harus terus berdoa, memohon petunjuk dan pertolongan dari Allah."
Mendengar itu, orang-orang di sekitar mulai berkumpul, meskipun mereka tampak lelah dan letih. Namun, saat ulama memimpin dzikir, suasana perlahan berubah. Suara gemuruh dzikir mereka terdengar nyaring, mengisi ruang sempit itu dengan energi positif.
"Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar," teriak mereka bersama, suara bergetar namun penuh keyakinan.
Beberapa di antara mereka mulai merasakan ketenangan, meskipun perut mereka keroncongan. Haji Ahmad merasa beban di pundaknya sedikit berkurang. Rudi pun mengangguk, ikut terbawa semangat. "Kita tidak sendirian. Allah bersama kita," katanya.
Ulama melihat semangat itu dan tersenyum, meskipun di balik senyum itu terdapat kesedihan yang mendalam. "Ingatlah, sahabat-sahabatku. Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya yang bersungguh-sungguh berdoa. Kita harus terus berharap, meskipun dalam kegelapan."
Mereka melanjutkan dzikir, merasakan ikatan yang semakin kuat satu sama lain. Dalam hati mereka, meskipun terjebak dalam kegelapan, mereka percaya bahwa setiap dzikir adalah harapan dan kekuatan untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
13.4 Ceramah di Bunker
Lalu ulama itu berdiri dengan penuh keyakinan, matanya menyala meskipun dalam gelap. Suaranya menggema di dalam bunker, mengundang perhatian semua orang. "Setelah Dukhan, bumi mengalami pemanasan global. Suasana dan udara iklim menjadi ekstrem, dengan panas yang sangat tinggi dan kemarau panjang yang terjadi selama tiga tahun berturut-turut."
Ia mengangkat tangannya, menandakan pentingnya apa yang akan disampaikan. "Mari saya bacakan Hadits Shahih Bukhari dan Muslim tentang Dajjal. Menjelang keluarnya Dajjal, ada tiga tahun berat yang dialami manusia di muka bumi ini. Di tahun pertama, sepertiga air di langit akan ditahan, dan sepertiga tanaman yang dapat dimakan akan mati."
Suasana hening, semua pendengar mendengarkan dengan saksama. "Di tahun kedua, dua pertiga air dari langit akan ditahan, begitu juga dua pertiga tanaman dan hewan ternak yang bisa dimakan. Kelangkaan pakan terjadi, dan orang-orang mulai berebut makanan. Harga bahan baku meroket. Lihatlah, saat ini kita berada di ambang itu."
Ia melanjutkan, "Rasulullah bersabda, tidak akan terjadi kiamat hingga tetangga tega membunuh tetangga hanya karena menyangka ada makanan di rumahnya. Ini adalah realita yang mungkin akan kita hadapi."
Tiba-tiba, salah seorang pendengar bertanya, "Lalu, bagaimana kita bisa bertahan hidup?"
Ulama itu tersenyum, "Rasulullah menjawab, dengan dzikir! Subhanallah, walhamdulillah, wala ilaha illallah, wallahu akbar. Ucapkan itu berulang kali, mohon kepada Allah agar kita dikenyangkan oleh dzikir ini."
Suara gemuruh setuju terdengar dari orang-orang yang ada di bunker. Mereka merasa terinspirasi dan termotivasi oleh kata-katanya. Ulama itu melanjutkan, "Hanya orang beriman yang bisa melakukan ini, karena mereka punya keyakinan. Yang lemah imannya, mereka akan putus asa dan mengambil jalan yang salah."
Di tengah penjelasannya, suara gaduh dari luar bunker terdengar, tetapi ulama itu tetap fokus. "Kita harus bersabar. Perubahan cuaca ekstrem ini adalah akibat dari bencana yang lebih besar. Dan kita berada di sini untuk bertahan dan saling menguatkan."
Setelah mendengar penjelasan itu, suasana di bunker mulai terasa lebih tenang. Mereka semua terdiam, merenungkan kata-kata ulama, berharap bisa bertahan dalam kegelapan yang mengancam mereka.
13.5 Diskusi di Bunker
Setelah ceramah ulama itu, suasana dalam bunker terasa lebih hidup. Dalam kegelapan yang pekat, di antara bau yang menyengat, orang-orang mulai saling berdiskusi, berbagi pandangan dan refleksi tentang apa yang baru saja mereka dengar.
“Jadi, kita harus lebih banyak berdzikir untuk bertahan hidup?” seorang pria berbadan kurus bertanya, suaranya penuh harap. Ia terlihat semakin cemas dengan keadaan di sekelilingnya.
“Benar,” jawab seorang wanita dengan mata lelah, “dzikir adalah makanan bagi jiwa kita. Dalam keadaan seperti ini, kita perlu memperkuat iman. Mungkin, dengan berdzikir kita bisa menemukan ketenangan di tengah kesulitan ini.”
Seorang pemuda menambahkan, “Tapi bagaimana jika kita sudah sangat lemah? Kadang rasanya sulit untuk mengingat apa yang harus kita ucapkan. Semua ini membuat saya merasa putus asa.”
Ulama itu mendengar percakapan mereka dan menanggapi, “Ingatlah, dzikir tidak hanya sekadar kata-kata. Ini adalah cara kita berhubungan dengan Allah. Meskipun kita lemah, niat yang tulus akan membawa kita lebih dekat kepada-Nya. Ketika hati kita ikhlas, dzikir akan mengalir dengan sendirinya.”
“Saya rasa, kita harus membuat jadwal untuk berdzikir bersama,” usul seorang wanita tua, suaranya bergetar namun penuh semangat. “Kita bisa saling mengingatkan dan memberi semangat satu sama lain. Ini bisa menjadi ritual harian kita.”
“Bagus sekali!” seru seorang pria lainnya. “Dengan cara itu, kita bisa lebih disiplin dan tidak merasa sendirian. Mungkin kita juga bisa saling bertukar cerita tentang pengalaman kita, agar kita merasa lebih terhubung.”
Beberapa orang mulai menyusun rencana. Mereka membagi tugas dan menentukan waktu untuk berkumpul dan berdzikir. “Saya akan mengawasi jam,” kata seorang remaja yang tampak lebih bersemangat. “Setiap kali waktu dzikir tiba, saya akan memanggil kalian.”
“Saya bisa mengajarkan beberapa doa dan dzikir,” tawar seorang wanita yang selama ini lebih pendiam. “Saya ingin berbagi apa yang saya tahu agar kita bisa berdzikir dengan lebih khusyuk.”
Diskusi itu semakin hangat. Mereka merencanakan sesi dzikir pertama dan bagaimana cara melaksanakannya di dalam kegelapan yang membelenggu. “Kita bisa mulai dengan membaca Al-Fatihah secara bersama-sama,” kata seorang lelaki yang ditunjuk sebagai pemimpin dzikir. “Meskipun kita terkurung, semangat kita tidak boleh padam.”
Mereka pun sepakat untuk melakukannya setiap saat, setelah merasa cukup lelah dengan keadaan yang menekan. Meskipun dikelilingi oleh bau tidak sedap dan kegelapan, perasaan harapan mulai menyelimuti mereka.
Semua berkumpul untuk sesi dzikir. Dalam keheningan, mereka mengangkat suara, meskipun lembut namun penuh keikhlasan. “Amin!” seru mereka bersama setelah selesai berdoa.
Setelah sesi dzikir, mereka saling berbagi cerita. Seorang ibu mulai menceritakan tentang anak-anaknya yang tinggal di luar, bagaimana mereka merindukan senyum dan tawa anak-anaknya. “Saya ingin melihat mereka lagi,” ujarnya sambil menahan air mata. “Tapi saya percaya, Allah akan menjaga mereka.”
Seorang pria yang mendengarkan menambahkan, “Kita semua merindukan keluarga kita. Ini adalah ujian berat, tetapi kita harus tetap kuat untuk mereka. Kita tidak boleh menyerah.”
Seiring malam berlalu, keakraban di antara mereka semakin mendalam. Mereka mulai mengenal satu sama lain lebih baik, berbagi cerita, tawa, dan kadang-kadang air mata. “Kita perlu saling mendukung. Mungkin kita bisa berjanji untuk tidak putus asa, apapun yang terjadi,” ujar seorang wanita, penuh semangat.
“Ya, kita harus fokus pada apa yang masih kita miliki,” sahut seorang pria. “Kita punya iman, kita punya harapan, dan yang paling penting, kita punya kesempatan untuk berubah.”
Diskusi berlanjut, dan suasana semakin hangat. Mereka berbicara tentang pengalaman hidup masing-masing sebelum terjebak di bunker. Beberapa dari mereka memiliki kenangan indah yang kini terasa jauh.
Ketika mereka kembali ke topik dzikir, ulama itu mengingatkan, “Ingat, dzikir adalah penguat jiwa kita. Meskipun kita mungkin merasa lemah dan putus asa, Allah selalu ada untuk kita. Mari kita tingkatkan lagi semangat kita.”
Seiring waktu, keadaan di dalam bunker mulai terasa lebih ringan. Meskipun tantangan masih ada di luar sana, mereka belajar untuk bersyukur atas kebersamaan dan kekuatan yang mereka temukan dalam iman dan dzikir.
Setiap saat mereka mengadakan sesi dzikir, dan setiap kali, rasa harapan semakin tumbuh. Mereka mulai merasakan dampak positif dari kebersamaan dan dukungan satu sama lain.
“Mari kita mulai dengan membaca Surah Al-Fatiha,” kata seorang lelaki yang ditunjuk sebagai pemimpin dzikir. “Semoga Allah mendengar doa dan harapan kita.”
Semua orang mengangkat suara mereka, meskipun lembut, namun penuh keikhlasan. Suara mereka bergema dalam kegelapan. “Amin!” seru mereka bersamaan ketika selesai.
Seiring berjalannya waktu, semangat mereka untuk saling mendukung semakin kuat. Dalam situasi yang sulit, mereka belajar untuk berjuang bersama. “Siapa yang tahu, mungkin besok adalah hari ketika kita bisa keluar dan melihat matahari lagi,” ucap ulama dengan penuh keyakinan, menatap wajah-wajah penuh harapan di sekelilingnya.
“Ya, mari kita berdoa agar hari itu segera datang,” sahut mereka serempak, semangat baru membara di dalam hati masing-masing. Kegelapan tidak lagi menjadi halangan bagi mereka; kebersamaan dan iman menjadi cahaya yang memandu mereka.