Ketika Akbar tiba-tiba terbangun dalam tubuh Niko, ia dihadapkan pada tantangan besar untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan baru yang sama sekali berbeda. Meskipun bingung, Akbar melihat kesempatan untuk menjalani hidup yang lebih baik sambil berusaha mempertahankan identitasnya sendiri. Dalam prosesnya, ia berjuang meniru perilaku Niko dan memenuhi harapan keluarganya yang mendalam akan sosok Niko yang hilang.
Di sisi lain, keluarga Trioka Adiguna tidak ada yang tau kalau tubuh Niko sekarang bertukar dengan Akbar. Akbar, dalam upayanya untuk mengenal Niko lebih dalam, menemukan momen-momen nostalgia yang mengajarinya tentang kehidupan Niko, mengungkapkan sisi-sisi yang belum pernah ia ketahui.
Seiring berjalannya waktu, Akbar terjebak dalam konflik emosional. Ia merasakan kesedihan dan penyesalan karena mengambil tempat Niko, sambil berjuang dengan tanggung jawab untuk memenuhi ekspektasi keluarga. Dengan tekad untuk menghormati jiwa Niko yang hilang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Farhan Akbar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Obrolan Laki-laki Tentang yang Menonjol
Niko, Roni, dan Vin duduk di meja outdoor, angin sepoi-sepoi membawa aroma makanan dari kantin. Matahari bersinar cerah, dan suasana ceria mengelilingi mereka. Namun, ada sesuatu yang aneh; beberapa murid yang lewat terheran-heran, menatap Niko dengan ekspresi bingung.
“Kenapa Niko duduk di sini?” bisik seorang gadis kepada temannya, suaranya penuh rasa ingin tahu. “Dia biasanya selalu di VIP Room.”
Roni yang duduk di samping Niko, menyeringai dan berbisik, “Mungkin dia ingin merasakan kehidupan rakyat biasa, ya kan?”
Vin, dengan nada sarkastik, menimpali, “Atau mungkin dia baru menyadari bahwa ada dunia di luar bola kristal yang biasanya dia huni.”
Niko, yang merasa sedikit canggung dengan perhatian yang tiba-tiba mengarah padanya, tersenyum dan berkata, “Kadang-kadang, udara segar itu lebih baik daripada duduk di ruang nyaman. Plus, di sini lebih banyak teman.”
Beberapa murid masih menatap, tetapi seiring berjalannya waktu, mereka mulai mengangguk, tampaknya terpengaruh oleh aura percaya diri Niko. Di tengah suasana yang ramai itu, Niko berusaha merangkul momen baru dalam hidupnya, mencoba untuk memahami dunia yang lebih luas di luar lingkaran elit yang biasanya mengelilinginya.
Roni tersenyum lebar, melirik ke sekeliling meja outdoor. "Ah, bener! Di sini emang adem, meskipun nggak ada AC," katanya dengan semangat.
Dia mengangkat gelas minumannya, seolah mengusung sebuah toast. "Lihat, kita bisa menikmati suasana tanpa gangguan dari orang-orang yang selalu mengeluh soal tempat duduk."
Vin mengangguk setuju. "Dan kita bisa menikmati makanan tanpa merasa harus bersikap formal. Makan enak, tertawa lepas, itu yang penting!"
Niko, merasa lebih nyaman dengan obrolan ringan mereka, mengangguk. "Kadang-kadang, hal-hal sederhana justru yang paling berharga," ujarnya, matanya bersinar dengan semangat baru.
Mereka bertiga melanjutkan percakapan, tertawa, dan merasakan kebersamaan yang hangat, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan di VIP Room.
Di dalam hati, Akbar merasa berdebar. Aduh, hari ini dag dig dug! Ia menghela napas lega, bersyukur Roni dan Vin mau ikut bersamanya keluar dari ruang VIP. Alhamdulillah, kalau tidak, bisa-bisa gue jadi orang belet di sana.
Melihat Roni yang ceria dan Vin yang santai, Akbar merasa sedikit lebih tenang. Ini lebih baik daripada duduk sendiri di ruang itu, pikirnya. Momen ini memberikan kesempatan baginya untuk mengenal teman-teman baru dan melupakan segala ekspektasi yang biasanya mengikutinya.
Semoga saja semua ini bisa menjadi awal yang baru, batinnya, mencoba mengatasi rasa canggung yang masih menggelayuti pikirannya.
Akbar memandang sekeliling kantin, suasana ramai dan penuh energi membuatnya merasa lebih hidup. Di satu sudut, sekelompok teman sedang berfoto, tertawa lepas dengan latar belakang yang cerah. Di sisi lain, beberapa siswa sedang merekam video TokTok, bergerak penuh semangat mengikuti gerakan yang sedang tren.
Dunia di sini mempunyai vibes yang sama dengan sekolah-sekolah yang lain, pikir Akbar, senyumnya semakin lebar. Dia melihat Roni yang dengan ceria berusaha memposisikan diri agar bisa masuk ke dalam frame foto. Vin yang duduk santai, tak kalah serunya, menggelengkan kepala sambil tersenyum, menanggapi aksi konyol Roni.
“Mau ikut, Nik?” Roni memanggil, menepuk kursi di sebelahnya.
Akbar menggelengkan kepala sambil tersenyum. “Ga, gua di sini aja,” jawabnya. Dia merasa nyaman dengan posisi duduknya yang lebih santai, menikmati suasana tanpa tekanan.
“Kalau gitu, kita bakal jadi penonton aja!” Roni berseru, semangat, sebelum kembali berpose untuk foto.
Vin hanya tertawa, sambil mengambil ponselnya untuk merekam momen seru di kantin. Akbar merasakan kehangatan kebersamaan itu dan menyadari, kadang, memilih untuk tetap berada di tempat yang nyaman adalah pilihan terbaik.
Mereka melanjutkan makan siang dengan santai, obrolan penuh tawa mengisi udara. Di tengah suasana itu, Roni melirik ke arah Clara yang sedang duduk bersama teman-temannya. "Nik, liat noh si Clara, makin hari makin nonjok!" ujarnya sambil menyeringai.
Akbar yang sedang menyeruput kopi terkejut, hampir saja tersedak. Dia terdesak sedikit, menahan tawa sekaligus rasa canggung yang muncul.
“Eh, jangan gitu dong!” Akbar mencoba membela diri sambil tersenyum, meskipun dia tahu Roni hanya bercanda. Momen itu membuat suasana semakin hidup, dan dia merasa lebih rileks di tengah tawa yang menggema.
“Ya, ya, kita semua tahu lu suka tipe-tipe yang menonjol kayak si Clara Kan!” Vin menimpali , membuat Akbar semakin merah padam.
Tapi di dalam hati, Akbar merasa senang. Momen-momen seperti ini, meski sedikit memalukan, membuatnya merasa terhubung dengan teman-temannya.
Dalam hati, Akbar berpikir, Yah, gue nggak tahu tipe si Niko tuh kayak gimana. Sesekali, dia melirik ke arah Clara, yang kini terlihat semakin percaya diri.
Tapi pertumbuhan dia memang besar banget, pikirnya, tanpa bisa mengalihkan pandangannya dari Clara. Dia tidak bisa menahan untuk melirik ke arah dadanya, merasa sedikit bingung dan terkejut dengan apa yang terlihat.
Mungkin ini salah satu alasan kenapa Roni ngebahas dia, pikir Akbar, berusaha mengalihkan perhatian dari rasa canggung yang mulai menyelimuti. Momen ini membuatnya merenungkan, bukan hanya tentang Clara, tetapi juga tentang bagaimana perasaannya terhadap kehidupan yang baru dan pengalaman yang sedang dijalani.
Dalam hati, Akbar bertanya-tanya, Apakah dia blasteran? Makanya pertumbuhannya signifikan ketimbang anak SMA lainnya? Dia tak bisa menahan rasa ingin tahunya, mengamati Clara dengan cermat.
Pasti ada sesuatu yang istimewa tentang dia, pikirnya. Akbar merasa campur aduk—terpesona dan sekaligus bingung. Dia ingin mengenalnya lebih jauh, tetapi rasa canggung dan ketidakpastian membuatnya ragu untuk mendekat.
Saat Roni dan Vin melanjutkan obrolan mereka, Akbar berusaha mengalihkan pikirannya, tetapi Clara tetap menjadi sorotan, menciptakan keraguan dan ketertarikan dalam dirinya.
Vin melanjutkan, “Gengs, lu tahu nggak, si Mia sama si Clara udah keluar dari geng si Sonia. Waktu itu ada kejadian kacau!”
Akbar mengangkat alisnya, merasa penasaran. Namun, dia berusaha terlihat santai, berpura-pura tidak tahu urusan. “Gue kan jarang masuk sekolah, mana gue tahu?” jawabnya dengan nada cuek, meskipun di dalam hati dia ingin tahu lebih banyak.
Roni dan Vin saling tukar pandang, lalu tertawa. Roni menambahkan, “Iya, banyak drama di situ. Katanya, ada pertengkaran hebat sebelum mereka memutuskan keluar.”
Akbar mengangguk, berusaha menyerap informasi sambil tetap mempertahankan wajah tenang. Ini menarik, pikirnya. Mungkin ada lebih banyak cerita yang bisa mengguncang dunia SMA ini. Meski tampak cuek, dia merasa sedikit terlibat dalam drama yang tengah berlangsung.
Tak lama kemudian, saat mereka masih asyik mengobrol, Clara dan Mia menghampiri meja mereka. Suasana langsung terasa berbeda; tawanya Roni dan Vin mendadak meredup, sementara Akbar merasakan jantungnya berdegup kencang.
"Hey, guys! Tumben banget kalian makan di luar!" seru Mia, berusaha terdengar santai.
Niko dan teman-temannya menoleh, dan Roni langsung menyambut dengan senyum lebar. "Iya, kita butuh suasana baru! Plus, suasan outdoor ini lebih seru, kan?" jawab Roni, dengan penuh energi.
Clara tersenyum, merasa suasana jadi lebih hangat. "Bener banget! Kita juga lagi menikmati waktu kita di sini. Apa kalian mau sharing makanan? Pasti lebih seru!"
Vin menanggapi dengan guyon yang khas, "Asal jangan kasih kita makanan yang udah jatuh, ya."
Semua orang tertawa kecuali Akbar dengan senyum tipi-tipisnya, dan Clara merasakan ketegangan di antara mereka mulai mencair. Mia menambahkan, "Kita juga bisa saling bagi cerita seru! Kalian pasti punya banyak kisah menarik."
Akbar berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap santai, meski di dalam hati, dia merasa sedikit gugup. Akhirnya mereka di sini, pikirnya, dan berharap bisa berbincang tanpa merasa canggung.
“Ya, tentu saja!” Roni menjawab, sedikit berlebihan dalam kegembiraannya. “Semakin ramai, semakin asyik!”
Mereka semua berpindah ke meja, suasana semakin hangat ketika obrolan mulai mengalir. Akbar merasakan ketegangan sedikit mereda, tetapi di dalam hatinya, dia masih merasa ingin tahu tentang apa yang terjadi antara Clara, Mia, dan geng Sonia.