Di tengah gelapnya kota, Adira dan Ricardo dipertemukan oleh takdir yang pahit.
Ricardo, pria dengan masa lalu penuh luka dan mata biru sedingin es, tak pernah percaya lagi pada cinta setelah ditinggalkan oleh orang-orang yang seharusnya menyayanginya.
Sementara Adira, seorang wanita yang kehilangan harapan, berusaha mencari arti baru dalam hidupnya.
Mereka berdua berjuang melewati masa lalu yang penuh derita, namun di setiap persimpangan yang mereka temui, ada api gairah yang tak bisa diabaikan.
Bisakah cinta menyembuhkan luka-luka terdalam mereka? Atau justru membawa mereka lebih jauh ke dalam kegelapan?
Ketika jalan hidup penuh luka bertemu dengan gairah yang tak terhindarkan, hanya waktu yang bisa menjawab.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Selina Navy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
"Ricardo,"
“Boleh gak tinggalin aku sendirian dulu di sini? Sebentar aja...”
Ricardo tanpa berkata apa-apa, mengangguk pelan. Memandang Adira dengan tatapan yang hangat. Sebelum berbalik pergi, Ricardo sempat mengulurkan tangannya, mengusap kepala Adira dengan lembut. Sentuhan itu memang sederhana, tapi terasa nyaman bagi Adira. Ricardo seolah memberi tahu Adira bahwa dia mengerti dan akan memberinya waktu seperti yang Adira pinta.
Setelah Ricardo pergi, Adira membiarkan dirinya hanyut dalam suara angin yang berhembus. Bagi kebanyakan orang mungkin hujan terasa biasa saja. Namun bagi Adira, hujan adalah sebuah keajaiban istimewa yang selalu menyentuh hatinya.
Langit yang awalnya hanya mendung perlahan berubah menjadi kelabu pekat dan hujan mulai turun, tetes demi tetes. Adira yang berdiri di tengah hujan, membentangkan kedua tangannya. Merasakan dinginnya hujan yang menyentuh kulitnya. Dia mengangkat wajahnya, membiarkan hujan membasahi wajah dan rambutnya. Adira seolah tak peduli dengan bajunya yang basah atau dingin yang telah meresap ke kulitnya.
Ada rasa bahagia yang susah dijelaskan dengan kata-kata saat ia berada di tengah hujan. Bagi Adira, hujan sudah seperti hadiah spesial dari langit untuk nya yang selalu berhasil membuat Adira merasa tenang dan senang.
Sementara, Ricardo yang sedang berada di dalam ruangan nya, gelisah mendengar suara hujan yang semakin deras. Walaupun kini dia tau Adira sangat menyukai hujan, ia tetap bergegas mengambil handuk dari sudut kamar mandi dan naik ke rooftop. Memastikan Adira agar tak kedinginan.
Saat Ricardo tiba di rooftop, ia berhenti sejenak di ambang pintu. Terpesona oleh Adira yang berdiri dengan kedua tangan terbuka lebar, menikmati setiap tetes hujan yang jatuh dari langit.
Ricardo tak ingin mengganggu momen itu. Ia memilih untuk menunggu, memberi Adira waktu untuk menikmati hujan yang jarang terjadi di Tijuana.
Namun, setelah beberapa saat, Ricardo mulai merasa khawatir. Ia takut Adira jatuh sakit karena cuaca yang dingin.
Dengan lembut, ia mendekati Adira dan memanggil namanya, "Adira." suaranya tenang dan rendah.
Adira terkejut dan berbalik, "Loh? Kok kamu naik?,"
Ricardo maju dan dengan perlahan membentangkan handuk di atas kepala Adira.
“Sudah ya, nanti kamu bisa sakit,” katanya lembut.
Adira tersenyum mendapatkan perhatian Ricardo. "Terima kasih,"ucap nya pelan.
Setibanya di dalam ruanganya Ricardo langsung berkata, “Kamu mandi dulu pakai air hangat." ujarnya tegas namun penuh perhatian.
Adira lantas mengangguk dan segera ke kamar mandi. Setelah beberapa saat, Adira pun selesai. Adira tampak segar dengan kaos putih lengan pendek dan celana panjang berbahan kaos yang baru mereka beli tadi.
Ricardo, yang sedang berdiri di dekat meja kerjanya, melihat Adira dan tersenyum.
“Duduklah di sini,” kata Ricardo menunjuk kursi pada meja kerjanya.
Adira pun duduk sesuai instruksi Ricardo.
Setelah itu, Ricardo pergi ke kamar mandi dan kembali dengan hairdryer. Dengan hati-hati, ia mulai mengeringkan rambut Adira.
Adira merasa berbunga-bunga. Ini pertama kalinya ada laki-laki yang mengeringkan rambutnya. Merasakan kehangatan dari hairdryer dan perhatian Ricardo, membuat hatinya berdebar dan berkata lembut "Makasih ya. ."
Setelah rambut Adira kering, Ricardo mengambil sisir dan mulai menyisir rambut Adira. Lalu dengan penuh perhatian, ia mengikat rambut Adira dengan ikat rambut hitam miliknya dan memastikan agar ikatan itu tak menyakiti kepalanya.
Ricardo pun selesai mengikat rambut Adira. Ia hendak melihat hasil ikatannya. Namun, dirinya terkejut melihat Adira yang tiba-tiba menangis.
“Sakit ya?,” tanya Ricardo, khawatir sambil memegang lembut kepala Adira.
Adira menggeleng dan menjelasakan, “Bukan… Hanya saja, dulu ayah selalu menyisir rambutku dan mengikatnya kencang. Persis seperti yang kau lakukan sekarang,”
Melihat Adira menangis, Ricardo duduk di atas meja kerjanya. Meraih kedua tangan Adira dan dengan lembut berkata, “Kalau itu, sepertinya aku mengerti perasaan ayahmu,”
Adira pun terdiam, mendongak melihat Ricardo yang sedang duduk diatas meja.
"Mengerti bagaimana?," tanya Adira bingung.
Ricardo tersenyum, “Kau terlalu malas menyisir rambutmu. Makanya ayahmu yang selalu melakukannya.”
Adira terkejut, “Kok? Kamu tahu?” tanyanya.
Ricardo tertawa geli, “Selama berapa hari kamu di sini, aku tak pernah melihatmu menyisir rambutmu sekalipun Adira."
Adira tersipu malu, wajahnya memerah. Lalu menutupi wajahnya dengan tangannya.
Ricardo yang merasa puas menggoda Adira dengan perlahan membuka tangan Adira yang menutupi wajahnya.
“Tak apa jika kau tidak suka menyisir rambutmu,” katanya lembut. “Biar aku saja.. Aku suka menyisir rambutmu.”
Mendengar itu wajah Adira pun memerah. Ia yang tak tahan digoda oleh Ricardo akhirnya berdiri dan dengan nada bercanda berkata, “Oke, Pak Mafia… Sekarang gantian. Kau yang duduk, aku yang menyisiri rambutmu!”
Ricardo hanya menatap Adira sambil menggeleng pelan, senyumnya tipis menghiasi wajahnya.
“Iss, tak adil!” gerutu Adira, sambil memegang pinggang kecilnya. Pura-pura kesal karena Ricardo tidak mau menurutinya.
Ricardo tetap diam, matanya tak lepas dari wajah Adira dan tanpa ia sadari, tatapannya berubah semakin hangat.
“Bagaimana ini, Adira…” gumamnya pelan, namun tidak melanjutkan perkataannya.
Adira yang menunggu kelanjutan kalimatnya, hanya diam. Masih memegang pinggangnya dan menatap Ricardo dengan penuh rasa penasaran. Namun, kata-kata Ricardo yang tersisa hanya terucap dalam hatinya.
"Bagaimana ini, Adira… Aku semakin menyukaimu… Rasanya aku hampir gila karena sangat menyukaimu,"
Ricardo masih duduk di atas meja dengan tenang, memandangi Adira dengan tatapan yang lembut dan hangat. Perasaan dalam hatinya terus tumbuh.
Sementara Adira yang masih berdiri di hadapannya tidak menyadari betapa dalamnya perasaan Ricardo. Ricardo hanya bisa memendamnya, menikmati momen-momen kecil di mana mereka saling berinteraksi tanpa banyak bicara.
Tiba - tiba handphone di dalam laci meja kerja Ricardo berdering. Lantas ia meraih laci dengan tangan kirinya dan mengambil handphone nya. Lalu menjawab telepon dengan suara berat dan dingin,
"Ya?"
Adira yang berada di depannya mundur selangkah, memberikan nya sedikit ruang. Ricardo terdiam beberapa saat, mendengarkan suara dari seberang telepon.
Setelah mendengar sesuatu, ia hanya menjawab singkat, "Kalian pergi lah, aku tak ikut,"
Kemudian menutup teleponnya tanpa berkata lebih lanjut dan kembali meletakkan handphone ke dalam laci.
Adira yang memperhatikan pun penasaran, "Wah, telepon sekali pakai kamu banyak sekali." tanya Adira.
Ricardo tak memberikan respon apapun, hanya menutup laci tanpa ekspresi. Adira, yang selalu penasaran dengan kehidupan Ricardo pun memanfaatkan momen itu untuk bertanya lagi, "Ricardo, sebenarnya aku penasaran sama dunia kamu. Kamu mau gak bercerita sedikit tentang pekerjaan kamu?,"
Ricardo menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "Penasaran? Di bagian mana nya?," tanya Ricardo.
"Kalau aku bertanya, kamu tidak akan marah kan?,"
"Tidak," jawab Ricardo singkat.
"Hummm... "
"Apa kamu pernah... "
.
.
.
Bersambung...
(ehemmm/Shhh//Shy/)