Lilyana Belvania, gadis kecil berusia 7 tahun, memiliki persahabatan erat dengan Melisa, tetangganya. Sering bermain bersama di rumah Melisa, Lily diam-diam kagum pada Ezra, kakak Melisa yang lebih tua. Ketika keluarga Melisa pindah ke luar pulau, Lily sedih kehilangan sahabat dan Ezra. Bertahun-tahun kemudian, saat Lily pindah ke Jakarta untuk kuliah, ia bertemu kembali dengan Melisa di tempat yang tak terduga. Pertemuan ini membangkitkan kenangan lama apakah Lily juga akan dipertemukan kembali dengan Ezra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan Hati
Hari terakhir ospek telah usai, meninggalkan kesan mendalam bagi Lily. Malam itu, setelah kembali dari taman kampus, Lily berbaring di tempat tidurnya, memandang langit-langit dengan pikiran yang terus berputar. Sepanjang malam, dia tak bisa berhenti memikirkan pengakuan Radit dan perasaan yang perlahan tumbuh dalam dirinya. Meski banyak keraguan yang melingkupinya, ada sesuatu yang tak bisa ia abaikan perasaan nyaman yang Radit bawa ke dalam hidupnya selama ospek.
Keesokan paginya, Melisa menyambangi kamar Lily. “Gimana, Lil? Udah mikirin soal Kak Radit?” tanya Melisa dengan penasaran, duduk di tepi tempat tidur.
Lily menghela napas, lalu duduk tegak. “Aku udah mikir semalaman, Mel. Mungkin ini aneh dan terlalu cepat, tapi aku juga nggak bisa terus-terusan menghindar dari perasaanku sendiri. Aku mulai suka sama Kak Radit.”
Melisa tersenyum lebar, penuh semangat. “Akhirnya kamu sadar juga, Lil! Jadi, kamu bakal terima cintanya?”
Lily mengangguk pelan. “Iya, aku rasa aku akan terima. Meskipun Kak Ezra memperingatkan kita, aku yakin Kak Radit berbeda. Selama ini dia selalu baik dan nggak pernah memaksakan apapun.”
Melisa tertawa kecil. “Ya udah, berarti setelah ini kamu harus kasih jawaban ke dia. Jangan bikin Kak Radit menunggu terlalu lama.”
***
Pada sore harinya, Lily memutuskan untuk menghubungi Radit dan mengajaknya bertemu di tempat yang sama di taman kampus. Saat Radit tiba, wajahnya sedikit gugup, namun tetap dihiasi dengan senyum hangat. Lily berdiri di samping bangku yang kemarin menjadi tempat perbincangan mereka, merasa jantungnya berdegup kencang.
“Kak Radit,” Lily memulai, mencoba menenangkan dirinya. “Aku udah mikir banyak tentang apa yang Kakak bilang kemarin.”
Radit tersenyum lembut, mendengarkan dengan penuh perhatian. “Iya, Lil. Kamu nggak perlu buru-buru. Aku ngerti.”
Lily menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Setelah mikir dan mempertimbangkan semuanya, aku… aku juga suka sama Kakak. Aku rasa kita bisa mencoba menjalani ini bersama.”
Radit terdiam sejenak, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Kemudian, senyumnya semakin lebar, penuh kelegaan dan kebahagiaan. “Beneran, Lil? Kamu yakin?”
Lily tersenyum dan mengangguk, merasa beban besar di hatinya terangkat. “Iya, Kak. Aku yakin.”
Tanpa ragu, Radit langsung meraih tangan Lily dengan lembut. “Makasih, Lil. Aku janji akan menjaga kamu dan perasaanmu. Aku nggak akan mengecewakan kamu.”
Keduanya saling tersenyum, merasakan ketenangan yang luar biasa. Momen itu terasa seperti awal dari sesuatu yang baru, sebuah perjalanan bersama yang diwarnai oleh rasa cinta yang mulai tumbuh di antara mereka.
***
Setelah Lily menerima cinta Radit, suasana di antara mereka berubah. Hubungan mereka terasa lebih hangat dan dekat, meski masih berada dalam tahap awal. Radit sering kali mengirim pesan-pesan manis, menanyakan kabar Lily atau sekadar berbagi cerita. Hal ini membuat Lily semakin merasa bahwa keputusan untuk menerima Radit adalah hal yang benar.
Meskipun begitu, di dalam hati Lily, ada satu hal yang masih ia khawatirkan—reaksi dari Ezra. Peringatan yang diberikan Ezra sebelumnya tentang kakak tingkat yang mendekati mahasiswa baru saat ospek terus terngiang-ngiang di kepalanya. Lily tahu bahwa pada akhirnya, dia harus memberitahu Ezra tentang hubungannya dengan Radit, meskipun dia ragu bagaimana reaksi Ezra nanti.
Beberapa hari kemudian, setelah perasaan Lily sedikit lebih tenang, dia memutuskan untuk bertemu dengan Ezra. Mereka bertemu di kafe kecil dekat kampus, tempat yang biasa mereka kunjungi sejak Lily dan Melisa mulai kuliah di Jakarta.
Saat duduk bersama, Lily merasa sedikit canggung. Ezra terlihat tenang seperti biasanya, namun Lily tahu percakapan ini tidak akan mudah.
“Ada apa, Lil? Kamu kelihatan gelisah,” tanya Ezra, memperhatikan wajah Lily yang tampak berbeda.
Lily menggigit bibirnya sebelum akhirnya berbicara. “Kak Ezra, aku mau cerita sesuatu.”
Ezra menatapnya dengan tenang, menunggu Lily melanjutkan.
“Jadi… beberapa waktu yang lalu, Kak Radit bilang kalau dia suka sama aku. Dan setelah mikir-mikir, aku juga mulai suka sama dia. Aku udah terima cintanya,” kata Lily pelan, namun jujur.
Ezra terdiam sejenak, wajahnya sulit dibaca. Lily merasa jantungnya berdebar kencang, menunggu reaksi dari kakak sahabatnya itu.
“Kamu yakin dengan keputusanmu, Lil?” Ezra akhirnya bertanya dengan suara yang serius.
Lily mengangguk perlahan. “Iya, Kak. Aku yakin. Kak Radit orangnya baik, dan aku merasa nyaman sama dia.”
Ezra menarik napas panjang sebelum menjawab, “Kalau kamu merasa itu yang terbaik buat kamu, aku nggak bisa bilang apa-apa. Aku cuma mau kamu hati-hati. Selama Radit memperlakukan kamu dengan baik, aku dukung keputusanmu.”
Mendengar jawaban itu, Lily merasa lega. “Makasih, Kak Ezra. Aku janji aku akan berhati-hati.”
Ezra tersenyum tipis, namun wajahnya tetap penuh dengan keprihatinan. “Ingat, Lil. Kalau ada sesuatu yang bikin kamu nggak nyaman, jangan ragu buat cerita sama aku atau Melisa.”
Percakapan mereka malam itu menjadi awal dari babak baru dalam hidup Lily. Meski Ezra masih sedikit khawatir, Lily merasa bahwa dukungan dari Ezra dan Melisa akan membuat hubungannya dengan Radit berjalan dengan lebih baik.
***
Hari Pertama Kuliah
Hari pertama kuliah tiba, dan rasa gugup menggelayuti hati Lily sejak pagi. Ia memandangi jadwal yang baru diterima semalam. Mata kuliahnya tersebar sepanjang hari, tapi yang membuat Lily merasa aneh adalah kenyataan bahwa ia dan Melisa tidak sekelas. Ternyata, meski mereka memilih jurusan yang sama, sistem penjadwalan kampus membuat mereka harus berada di kelas yang berbeda.
Saat sarapan, Melisa duduk di samping Lily dengan wajah sedikit cemberut. “Yah, ternyata kita nggak bisa bareng, Lil. Aku bener-bener berharap kita bisa satu kelas.”
Lily tersenyum lemah sambil mengaduk-aduk nasinya. “Iya, aku juga agak kecewa, Mel. Tapi kita pasti masih bisa ketemu di kampus, kan? Mungkin jam istirahat atau saat nggak ada kelas.”
Melisa mengangguk. “Ya, semoga. Aku cuma nggak kebayang aja harus sendirian di kelas baru tanpa kamu.”
Lily mengerti perasaan sahabatnya itu. Mereka selalu bersama sejak kecil, dan perpisahan kecil ini pasti terasa berat. Tapi, di dalam hati, Lily juga merasa ini adalah kesempatan baginya untuk sedikit keluar dari zona nyaman dan belajar menjadi lebih mandiri. Selain itu, ada Radit yang kini menjadi bagian penting dalam hidupnya.
“Aku yakin kita bisa mengatasi ini, Mel. Kita udah di tahap baru sekarang. Kuliah. Mungkin ini waktunya kita buat bertemu orang-orang baru,” kata Lily, mencoba untuk lebih optimis.
Lily cpt move on syg, jgn brlarut larut dlm kesdihan bgkitlh fokus dgn kuliamu. aku do'akn smoga secepatnya tuhan mngirim laki" yg mncintai kmu dgn tulus. up lgi thor byk" 😍💪