SMA Rimba Sakti terletak di pinggiran Kota Malang. Menjadi tempat di mana misteri dan intrik berkembang. Di tengah-tengah kehidupan sekolah yang sibuk, penculikan misterius hingga kasus pembunuhan yang tidak terduga terjadi membuat sekelompok detektif amatir yang merupakan anak-anak SMA Rimba Sakti menemukan kejanggalan sehingga mereka ikut terlibat di dalamnya.
Mereka bekerja sama memecahkan teka-teki yang semakin rumit dengan menjaga persahabatan tetap kuat, tetapi ketika mereka mengungkap jaringan kejahatan yang lebih dalam justru lebih membingungkan.
Pertanyaannya bukan lagi siapa yang bersalah, melainkan siapa yang bisa dipercaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moon Fairy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21
SMA Rimba Sakti selalu menyimpan banyak cerita. Di antara koridor dan ruang-ruang kelasnya, tak terhitung banyaknya kenangan yang tertinggal. Namun, di sudut terpencil dekat gerbang belakang sekolah, sebuah bangunan tua berdiri agak tersembunyi. Bangunan yang tadinya digunakan sebagai gudang barang-barang usang itu kini berubah menjadi markas baru untuk klub detektif sekolah yang terkenal, The RADAN.
“Ini dia, rumah baru kita,” kata Rian sambil melangkah masuk, wajahnya penuh kegembiraan. Meskipun bangunan itu tampak sedikit berdebu dan tua, atmosfer misteriusnya malah membuat Rian semakin bersemangat.
Aisyah, yang berdiri di belakang Rian, menatap bangunan itu dengan ragu. "Ini... rumah kosong? Kita beneran diizinkan pakai ini?"
Arga mengangguk sambil memasukkan kunci ke saku celananya. "Iya, Pak Wahyu yang ngurus. Semua ruang klub di gedung utama udah penuh, jadi kita dapat tempat ini. Dulu katanya gudang, tapi sejak renovasi besar-besaran tahun lalu, nggak ada yang pakai lagi."
Mereka masuk lebih dalam ke ruangan, melihat ke sekeliling. Ruangannya memang sederhana, dindingnya kusam dan beberapa perabot lama terlihat berdebu, namun ada kesan nyaman di dalamnya. Meja-meja kayu yang besar, beberapa lemari tua, dan papan tulis besar di dinding, cukup untuk mengubah tempat ini menjadi pusat investigasi mereka.
“Yah, setidaknya ini lebih bagus daripada gak punya markas sama sekali,” komentar Nadya sambil tersenyum kecil.
Dimas, yang datang terakhir dengan laptop di tangannya, segera duduk di salah satu kursi kayu yang terlihat kokoh. “Tempatnya cocok buat kerja, suasananya pas. Ada sinyal Wi-Fi dari sekolah,” dia menatap layar laptopnya, jari-jarinya dengan cepat menari di atas keyboard.
Rian mendekat ke jendela yang menghadap ke hutan di belakang sekolah. "Liat pemandangannya, langsung ke arah hutan belakang. Gak heran mereka gak kasih markas ini ke klub-klub lain."
“Hutan itu…” Aisyah mendekat, berdiri di sebelah Rian. “Dengar-dengar, ada cerita aneh soal hutan belakang ini. Katanya dulunya ada klub yang berhubungan sama hutan itu, kan?”
“Klub Misteri?” tanya Nadya sambil mengambil kursi yang belum diduduki. “Aku dengar cerita mereka. Klub yang dulunya sempat terkenal di sekolah karena mitos soal Hutan Keramat.”
Rian mengangguk, tampak bersemangat. “Betul! Klub Misteri udah ada sejak lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Dulu, mereka sering masuk hutan buat nyari bukti soal makhluk gaib atau ritual-ritual aneh. Sampai-sampai banyak siswa takut lewat gerbang belakang gara-gara itu."
"Zaman dulu klub ini booming," lanjut Rian sambil bersandar di jendela, "Tapi sekarang? Cuma sisa empat orang di klub itu. Tiga anak kelas 11 sama satu anak kelas 10 yang nggak tau apa-apa. Kasian, sih."
"Kenapa mereka tetap ada kalau udah gak relevan?" tanya Aisyah, penasaran.
"Sebenarnya mereka masih aktif, cuma cara mereka udah beda. Daripada nyelidiki misteri kayak kita, sekarang mereka malah terlibat sama ritual-ritual aneh. Katanya sih buat 'memanggil' sesuatu," jelas Rian dengan nada dramatis, jelas menikmati setiap kata.
“Ritual?” Nadya menatap Rian, setengah tak percaya. “Mereka serius?”
"Yup, aku dengar mereka pernah kepergok ngelakuin sesuatu di hutan belakang sekolah waktu malam. Beberapa siswa bahkan bilang salah satu dari mereka bisa liat hantu,” Rian melanjutkan sambil menggerakkan tangannya seolah-olah membayangkan skenario seram.
“Fira maksudmu?” tanya Nadya dan Rian mengangguk.
"Kalau aku sih, lebih percaya kalau mereka cuma cari perhatian," sela Dimas tanpa menatap dari laptopnya. "Teori konspirasi, hal-hal mistis, semua itu cuma omong kosong buat mereka yang nggak bisa terima kenyataan. Tapi... kita nggak bisa anggap mereka remeh. Kadang orang yang kelihatan aneh bisa bikin kejadian aneh juga."
Semua terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Dimas. Rian yang biasanya suka bercanda, kini terlihat lebih serius. “Gimanapun, klub itu saingan kita sekarang. Mereka nggak akan suka kalau kita berhasil memecahkan misteri di sekolah ini.”
Arga, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. “Kita tetap fokus ke tujuan kita. Kita di sini bukan buat saingan sama mereka, tapi buat cari kebenaran. Kalau klub itu ngelakuin hal-hal yang aneh atau bahkan ngelanggar aturan, kita harus nemuin bukti.”
Aisyah mengangguk setuju. "Kita nggak boleh terganggu sama rumor. Fokus ke tujuan kita, dan yang penting, jangan terpengaruh sama omong kosong soal ritual atau makhluk gaib. Yang penting kita waspada, dan siap menghadapi apa pun."
Rian tersenyum lebar, kembali ceria. “Yap! Lagipula, siapa takut sama klub yang hobinya ngelakuin ritual aneh di hutan? Kalau mereka mau coba-coba, kita tinggal maju aja.”
Mereka sudah mulai merapikan ruangan itu, tapi debu tebal dan suasana tua yang menghantui bangunan kosong tersebut tak bisa hilang begitu saja. Nadya membuka jendela besar di salah satu sisi ruangan untuk membiarkan udara segar masuk. Sinar matahari yang menembus dedaunan di hutan belakang menyapu ruangan, membuat suasana menjadi lebih hidup.
“Rasanya... beda, ya,” gumam Nadya, menatap keluar jendela. "Udara di sini seger banget, padahal tempatnya tua."
"Setuju," jawab Arga yang sedang menata ulang meja di sudut ruangan. "Tapi kita butuh lebih dari udara segar buat bikin tempat ini nyaman."
Rian yang duduk di kursi, bersandar santai, tiba-tiba angkat suara dengan nada serius, “Iya, bener! Kita butuh renovasi total! Gimana kalau kita bikin tempat ini kayak markas rahasia ala detektif di film-film? Kita perlu sofa yang empuk, lampu gantung keren, meja kaca, terus mungkin karpet merah buat kesan elegan!”
Dimas, tanpa menoleh dari laptopnya, menyahut datar, “Siapa yang mau bayar semua itu? Kalau mau serba mewah, bayar sendiri aja.”
“Makanya,” jawab Rian, mengalihkan pandangannya ke Nadya yang sedang berdiri dekat jendela. “Kita kan punya sponsor resmi—Nadya si anak orang kaya. Gimana, Nad? Sumbang dikit buat kemajuan klub kita?”
Nadya menoleh cepat, melirik Rian dengan mata menyipit. "Sponsor? Maksudmu aku yang harus beliin barang-barang mahal itu?"
Rian mengangguk mantap. “Yap! Kan biar markas kita nggak cuma jadi tempat ngumpul, tapi juga jadi tempat yang enak buat nongkrong! Kamu juga bisa dapat promosi—The RADAN didukung penuh oleh Nadya Soekardjo, putri pengusaha ternama, yang menyediakan fasilitas terbaik untuk investigasi. Siapa tahu nanti namamu bisa masuk ke majalah!”
Semua terdiam sejenak, menunggu reaksi Nadya. Wajahnya tampak serius, seolah benar-benar mempertimbangkan ide gila itu.
Kemudian dia tertawa kecil. “Kalau mau sofa empuk dan karpet merah, kalian urus sendiri. Tapi kalau buat sekedar beli alat tulis baru atau laptop buat penyelidikan, mungkin bisa aku pertimbangkan.”
Rian mengangkat kedua tangannya dengan dramatis, “Hidup Nadya, sponsor abadi kita!” Sementara yang lain hanya menggelengkan kepala, tersenyum kecil mendengar lelucon itu.
Arga yang kini sedang membersihkan papan tulis besar, memutar matanya sambil berkata, “Jangan dipikirin Nad, dia cuma cari kesempatan buat malas-malasan di sofa empuk.”
Aisyah, yang sejak tadi sibuk dengan penyusunan dokumen-dokumen, ikut tersenyum. “Bagaimana pun, kita butuh beberapa barang untuk menunjang aktivitas klub kita. Tapi tetep, jangan terlalu berlebihan. Kita kan bukan klub seni yang perlu dekorasi mahal.”
Nadya kemudian mengambil secarik kertas dan pena. “Oke, kalau kalian serius, tulis aja apa yang kita butuhin. Tapi inget, jangan minta yang aneh-aneh.” Dia melirik Rian sambil tersenyum lebar. "No karpet merah atau lampu gantung kristal."
"Deal !" jawab Rian sambil tersenyum lebar. "Aku cuman butuh kursi empuk buat duduk kalau harus mikir keras soal kasus."
Suasana markas perlahan terasa lebih hangat. Semua anggota mulai terlibat dalam tugas mereka masing-masing, membereskan dan menyusun strategi untuk penyelidikan selanjutnya. Arga membersihkan papan tulis besar yang sudah mulai dipenuhi coretan ide dari pertemuan mereka sebelumnya. Aisyah merapikan buku-buku referensi yang akan mereka gunakan, sementara Dimas masih asyik dengan laptopnya, mengetik sesuatu dengan kecepatan yang sulit diikuti mata.
Di tengah kesibukan itu, Arga melangkah keluar sebentar untuk menghirup udara segar. Pemandangan di sekitar gerbang belakang sekolah begitu tenang, berbeda dengan hiruk-pikuk di gedung utama. Pepohonan yang menjulang tinggi di hutan belakang tampak diam, seperti saksi bisu dari berbagai cerita yang tersembunyi di balik sejarah sekolah ini.
Dia menatap hutan itu dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Banyak yang mengatakan bahwa hutan itu menyimpan misteri. Kisah-kisah lama yang beredar dari mulut ke mulut tentang 'Hutan Keramat' masih hidup, meski dalam bisikan kecil di antara siswa. Salah satu kisah yang paling menarik perhatiannya adalah tentang Klub Misteri, klub yang dulu berkuasa dan pernah sangat terkenal.
Arga sempat mendengar cerita dari siswa-siswa senior tentang kejayaan klub tersebut. Mereka dulunya sering menjelajah hutan, mengadakan penyelidikan tentang hal-hal gaib, mencoba membuktikan keberadaan makhluk-makhluk mistis atau ritual-ritual aneh yang dilakukan di sana. Namun, seiring berjalannya waktu, minat terhadap hal-hal supranatural mulai pudar. Teknologi dan ilmu pengetahuan yang semakin maju menyingkirkan takhayul dan kepercayaan pada hal-hal yang tak terlihat.
Klub Misteri yang dulu berjaya kini tersisa hanya empat orang, dengan reputasi yang lebih mirip lelucon daripada legenda. Meski begitu, Arga merasa mereka tak boleh dianggap remeh. Bagaimanapun juga, sejarah sekolah ini pernah mencatat bahwa klub itu punya pengaruh besar. Mereka bisa saja merencanakan sesuatu yang tak terduga, apalagi dengan rumor yang berkembang bahwa mereka masih aktif melakukan "ritual" di hutan.
Saat Arga kembali ke dalam markas, dia mendapati Rian yang masih sibuk mengatur furnitur seadanya dengan gaya yang berlebihan, seolah-olah sedang menata sebuah penthouse. Sementara itu, Nadya dan Aisyah kini sibuk menyiapkan daftar kebutuhan dasar klub, sedangkan Dimas tampak serius memperhatikan sesuatu di layar laptopnya.
“Ada sesuatu di luar?” tanya Aisyah ketika melihat Arga kembali dengan ekspresi agak termenung.
Arga hanya menggeleng, namun tetap melirik ke arah jendela. "Nggak ada apa-apa, cuma... pemandangan hutan itu bikin aku mikir."
“Mikir apa?” tanya Nadya, penasaran.
“Mikir soal Klub Misteri,” jawab Arga. “Mereka mungkin gak segila yang dibicarain orang, tapi aku yakin ada sesuatu yang mereka sembunyiin. Kalau benar mereka sering masuk hutan buat ritual, mungkin ada sesuatu yang perlu kita selidiki.”
Aisyah mengangguk setuju. “Tapi, kalau mau selidiki mereka, kita harus punya rencana yang matang.”
Markas baru mereka mungkin kecil dan sederhana, namun semangat The RADAN tetap besar. Di antara candaan, obrolan ringan, dan keseriusan, mereka tahu bahwa petualangan mereka belum benar-benar dimulai. Hanya masalah waktu sebelum mereka terlibat lagi dalam misteri yang lebih besar, dan kali ini, Klub Misteri tampaknya akan menjadi pusat perhatian.
...—o0o—...