NovelToon NovelToon
Battle Scars

Battle Scars

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: Irma pratama

Apa jadinya kalo seorang anak ketua Organisasi hitam jatuh cinta dengan seorang Gus?

Karena ada masalah di dalam Organisasi itu jadi ada beberapa pihak yang menentang kepemimpinan Hans ayah dari BAlqis, sehingga penyerangan pun tak terhindarkan lagi...
Balqis yang selamat diperintahkan sang ayah untuk diam dan bersembunyi di sebuah pondok pesantren punya teman baiknya.

vagaimanakah kisah selanjutnya?
Baca terus ya...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Banjir

Malam ini suasana mesjid begitu sepi, hanya terdengar suara Ustadz Iskandar saja yang tengah menjelaskan kitab. Semua santri memilih diam mendengarkan.

Mereka sangat anteng bila digurui Ustadz lain, berbeda lagi bila digurui Zaigham, mereka akan riuh dan sesekali tertawa karena candaan.

Malam ini, tidak hanya suasana mesjid yang sunyi karena santri tidak riuh, diluar pun keadaan lingkungan terlalu sepi berpadu dengan angin yang berhembus menusuk tulang.

Langit mendung seperti akan turun hujan karena dilihat dari awan yang menggumpal hitam.

"Mel, kayaknya ini bakalan ada ba--- "

Tik!

Tik!

Ucapan Balqis terpotong hujan turun begitu deras mengguyur sampai tanah menjadi lembab dan menggenang. Hujan sangat deras sampai air genangan tadi menjadi naik.

"Astaghfirullah, Ustadz. Di luar banjir."

Semua santri langsung panik, mereka berbondong-bondong keluar mesjid. Ternyata memang benar air naik ke tangga mesjid.

"Ustadz, bagaimana ini?"

"Sebagian santri pergi ke kobong. Kalian amankan yang ada di lantai bawah."

Sebagian santri pun bergegas pergi ke kobong. Mereka tergesa-gesa karena khawatir lingkungan kobong akan tergenang air.

"Astaghfirullah!"

Mereka begitu terkejut saat melihat keadaan lantai satu. Bahkan di dapur perabotan ikut mengapung.

"Mel, mau ke mana?"

Balqis memutar matanya malas. Dia kesal karena hampir semua santriwati pergi ke kobong.

"Kayaknya ujan-ujanan pas malem seger deh!"

Balqis melepaskan mukenannya. Dia pun mendekati air dan menyentuhnya dengan kaki.

"Wih, dingin!"

"Jangan turun. Naik ke atas."

Balqis menoleh. Zaigham menghentikan aksinya yang akan hujan-hujanan. Kemudian melirik ke arah lain yang ternyata semua santriwati sudah pergi.

"Lah... Pada kemana mereka? Kok mereka nggak ngajak gue sih?"

Dengan perasaan dongkol. Balqis kembali naik ke atas. Dia pun memutuskan pergi ke kobong menyusul teman-temannya yang lain.

Sesampainya di kobong. Balqis segera ke lantai dua seperti yang lain. Dia memperhatikan air yang semakin naik ke atas.

"Bagaimana ini, Ustadzah?"

Sebagian santri panik. Bukannya air surut, melainkan malah semakin naik dan hujan semakin deras.

"Kalian masuk ke kobong. Semoga saja airnya akan surut nanti."

Semua santri masuk ke dalam. Mereka sangat berharap hujan reda dan air surut. Karena bila hujan terus deras dipastikan air akan semakin naik.

Beberapa jam kemudian.

Tok!

Tok!

"Bangun! Ayo cepat bangun!"

Semua santri bangun tergesa-gesa. Detik kemudian, semuanya panik. Bahkan ada yang menangis.

"Balqis, bangun! Kita harus pergi dari sini,"

Balqis yang malas meregangkan badannya. Dia bangun sambil mengucek matanya. Kemudian mengambil hijabnya dan bergabung bersama yang lain.

Detik kemudian, matanya membulat sempurna saat melihat air hampir naik ke lantai dua.

"Bagaimana ini?"

Semua santri pun bergerak ke kamar ujung. Mereka dievakuasi santriwan untuk dipindahkan ke tempat yang tinggi memakai perahu.

"Apa penyebab banjir ini, Ustadz Zaki?"

"Di depan terjadi longsor. Air yang biasanya mengalir di sungai tersumbat dan menyebar ke mana-mana ,"

"Apa kira-kiranya air akan surut atau semakin naik?"

"Surut. Tapi besar kemungkinan sekarang air akan naik. Karena air dari sekitar hilir sangat deras,"

"Astaghfirullah! Lalu bagaimana dengan warga sekitar?"

"Mereka semua sedang di evakuasi ke tempat tinggi, sama seperti kita semua.

Daerah kita berada di bawah, jadi bila banjir datang kemungkinan semuanya akan seperti danau,"

"Astaghfirullah!"

"Kalian kemasi barang-barang sebelum berangkat."

Balqis yang mendengar penuturan itu bergegas pergi ke kobong. Dia mengemasi semua barang berharga dan baju-bajunya. Setelah semua siap, dia menghampiri Fairuz untuk menaiki perahu.

"Hati-hati, Balqis!"

"Hah?!"

"Astaghfirullah!"

Mata Balqis membulat sempurna. Jantungnya berdebar cepat seperti akan copot. Dia hampir saja terjatuh ke dalam air yang tingginya sekitar 2,5 m. Tapi untung saja, Fairuz menahannya.

"Astaghfirullah! Balqis!"

Melodi memeluknya yang kini sudah duduk sambil menetralkan nafas. Dia sangat terkejut melihat Balqis yang hampir terjatuh barusan. Setelah beberapa santri berada di perahu, Fairuz pun menjalankannya menjauh dari kobong.

"Astaghfirullah! Lihat, rumah-rumah hampir tenggelam,"

Hati Balqis bergetar melihat bencana di depan matanya. Banjir besar seperti ini baru pertama kali dilihatnya.

"Untung aja barusan gue selamet. Kalo nggak gue udah kelelep kayaknya di air kotor."

Sesampainya di tempat pengungsian yang letaknya sangat tinggi dari tempat tadi, semua orang pun turun dan bergabung dengan yang lain.

Termasuk Balqis yang turun dengan hati-hati, dia tidak ingin hampir terjatuh seperti barusan.

"Balqis, jangan mendekati air. Aku tidak ingin kamu tenggelam."

Balqis dibuat tertegun mendengar perhatian dadakan itu dari Fairuz sebelum dia kembali pergi menjemput santri lain. Tak lama Balqis pun haya mengangguk sambil menatap Fairuz.

"Sepertinya Ustadz Fairuz menyukaimu, Qis."

"Ck... Apa'an sih, Mel!"

Balqis membalikkan badannya. Dia membuang wajah karena godaan Melodi tentang Fairuz barusan.

Degh!

Langkah Balqis terhenti. Dia melihat Alditra yang tengah menatapnya. Kemudian memalingkan wajah dengan ekpresi tidak biasanya.

Om Gus!?

"Balqis, ayo? Kita harus ke tempat tidur."

Balqis masih memperhatikan Alditra. Laki-laki itu tidak meliriknya sedikit pun. Dia masih anteng membuang wajahnya ke sembarang tempat. Di tempat pengungsian. Balqis tidak berani tidur seperti yang lain. Apalagi hanya beralasan karpet.

Gue nggak bisa dan nggak mau tidur di sini. Mana panas lagi...

Balqis memutuskan untuk keluar. Dia mengedarkan matanya menelusuri tempat yang sekarang diinjaknya.

Matanya berbinar, senyumannya menyungging saat melihat tempat yang sekarang dekat dengan kota. Karena itu tandanya dia akan mudah untuk kabur.

Besok gue bakalan kabur dari sini pas yang lain lagi sibuk.

Degh!

Balqis tertegun. Dia melihat Alditra sudah berada di belakangnya. Sejak kejadian kemarin keceplosan bicara, dia belum lagi menampakkan dirinya pada Alditra karena tiba-tiba nervous.

"H-Hai, Om Gus!"

Alditra tidak menjawab. Tapi dia menujukkan buku kecilnya agar dibaca.

Balqis mendekat. Dia membaca tulisan beberapa kata itu.

(Jangan mencoba kabur. Seharusnya kamu membantu yang lain. Jangan pikirkan lepas begitu saja dan membiarkan yang lain.)

(Bantu mereka.)

Balqis menghela nafasnya. Rencana kabur yang baru saja tertata kini pupus. Dia bisa saja besok nekad untuk kabur, namun entah kenapa perkataan Alditra di kertasnya membuat hatinya belok.

Lagian tau aja kalo gue mau kabur... Dia bisa baca pikiran gue ya?

"Ck... Terserah Gue lah. Mau kabur mau diem pun itu hak gue!"

Balqis melengos pergi. Entah kenapa dirinya seperti tidak bisa terkontrol saat di depan Alditra. Hatinya mendadak tidak karuan. Ada campuran yang berbeda di dalam hatinya.

"Aaarrgghhhttt!!! Gue nggak bisa tidur!"

Balqis terus berguling-guling. Dia tidak bisa memejamkan matanya seperti yang lain. Apalagi badannya merasa sakit-sakit karena tidur di karpet saja.

"Allahu Akbar."

"Allahu Akbar."

Suara adzan subuh berkumandang. Semua santri menggeliat bangun. Namun tidak dengan Balqis, karena dia tidak bisa terlelap sama sekali.

Setelah beberapa jam. Matahari bersinar terang pagi ini. Air di area perkampungan yang banjir belum surut sama sekali.

"Kita tidak ada bekal. Katanya bantuan juga akan sampai siang nanti karena hambatan di jalan yang jauh menuju tempat lokasi,"

"Bila seperti itu kita tidak akan makan pagi ini,"

"Yah, puasa dong!"

Balqis mendengus saat mendengar berita itu. Dia juga mendadak kehilangan semangat hari ini. Apalagi harus berbaur dengan warga lain, tentunya hal itu membuatnya tidak suka.

"Astaghfirullah!"

"Ya Allah, kasian sekali!"

Balqis menoleh. Dia melihat kerumunan yang jaraknya beberapa meter. Karena penasaran, dia pun mendekat untuk melihat.

Degh!

Mata Balqis membulat. Dia terkejut sampai menjauh dari kerumunan. Dia sangat terkejut melihat beberapa orang yang sudah tidak bernyawa ditemukan dalam keadaan naas karena tenggelam.

"Kalo semalem gue jadi kepeleset mungkin nasib gue sekarang kayak mereka."

Balqis meneguk salivanya dengan susah payah. Kemudian mendekati santri lain yang memperhatikan orang-orang tengah menyelamatkan warga yang semalam tidak tertolong.

"Alhamdulillah, ya! Kita selamat,"

"Iya. Alhamdulillah, Allah masih mengizinkan kita untuk bernafas dan selamat dalam bencana banjir ini."

Balqis terdiam. Tanpa sadar dia juga mengucap syukur karena semalam bisa selamat dari bahaya terpeleset yang hampir membuatnya terjatuh.

"Semua atas kuasa Allah. Bencana yang terjadi hari ini atas kehendak Allah,"

"Iya. Semua terjadi agar kita semakin dekat dengan-Nya."

"Apalah yang kita sombongkan sebagai manusia? Sedangkan semuanya milik Allah. Contohnya harta yang kita punya. Segimanapun melimpah banyak dan menjaganya dengan baik, tapi bila Allah sudah berkehendak semuanya akan hilang dari genggaman. Karena semua hanyalah titipan."

Balqis hanya terdiam. Pandangannya lurus ke depan sambil mendengarkan. Otaknya berputar keras, dia mencerna baik perkataan mereka.

"Ini bagaimana, Umi? Semua orang kelaparan. Bantuan juga belum sampai,"

"Nanti Umi katakan pada aby agar segera bertindak."

Balqis beranjak dari duduknya. Kemudian masuk ke tenda dan mengambil tas kesayangannya. Setelah itu, dia keluar mencari seseorang.

"Balqis, mau ke mana bawa tas?" tanya Fairuz.

"Ustadz, di sini ada bank nggak?" Balqis bertanya balik.

"Ada. Tapi bukan bank besar," jawab Fairuz.

"Ya udah anter saya ke sana!" ucap Balqis.

"B-Boleh." balas Fairuz yang langsung menuntun arah.

Tanpa sadar, kepergian mereka berdua diperhatikan Alditra. Dia memperhatikan kedekatan mereka yang secara tiba-tiba terlihat sangat akrab.

Sesampainya di tempat yang dimaksud. Balqis pun mengambil nomor antrian. Dia juga kelelahan karena harus berjalan cukup jauh.

Setelah beberapa menit menunggu antrian, Balqis dan Fairuz pun masuk ke dalam. Mereka langsung menghampiri pegawai bank.

"Mbak, saya mau narik uang," ucap Balqis.

"Berapa yang ingin ditarik, Dek?" tanya pegawai yang bernama Nana.

"100 juta," jawab Balqis.

Sontak hal itu membuat Fairuz dan pegawai bank yang lain terkejut. Mereka mendekati Balqis untuk menanyakan identitasnya.

"Qis, dari mana uang sebanyak itu?" bisik Fairuz yang wajahnya pucat karena terkejut.

"Dek, sebelumnya bisa perlihatkan identitas kamu?" pinta pegawai laki-laki yang bernama Hamzah.

Balqis membuka tasnya. Dia mengeluarkan identitasnya beserta photo keluarga agar mereka percaya.

"Jadi kamu putri Pak Hans?" tanya Hamzah.

Balqis mengangguk. Lalu mengeluarkan kartu ATMnya.

"Qis!"

"Tenang aja, Ustadz. Uang segitu nggak seberapa buat saya. Lagian uang saya masih banyak!"

Ini untuk pertama kalinya Balqis berbicara dengan sopan pada seseorang bahkan pada Alditra pun dia masih berbicara informal.

Sementara Fauruz terdiam, dia baru kali ini melihat uang menumpuk berwarna merah setelah Balqis melakukan penarikan. Setelah selesai berurusan dengan uang. Mereka kembali ke tempat pengungsian dengan wajah Fairuz tidak karuan, sedangkan Balqis biasa saja.

Sesampainya di sana. Balqis langsung menghampiri Arsalan yang tengah mengobrol dengan kepala desa dan yang lainnya tentang memenuhi kebutuhan warga.

"Assalamu'alaikum?"

"Wa'alaikumussalam."

"Aby, Saya mau nyumbang buat beli kebutuhan," Balqis mengeluarkan plastik hitam dari tasnya. Dia memperlihatkan semua uangnya.

Sontak hal itu membuat semua orang terkejut, termasuk Melodi beserta santri yang lain.

"Balqis, uang dari mana ini, nak?" tanya Arsalan.

"Punya saya. Bukannya Aby juga tau kalo Daddy saya kaya?" jawab Balqis. "Apa uang itu masih kurang buat menuhin semua kebutuhan teman-teman saya?"

Arsalan terdiam. "Nak, kita memang membutuhkan uang tapi kamu tidak usah mengeluarkan tabungan kamu,"

"Tenang aja, By. Uang segitu bukan apa-apa buat saya. Saya masih bisa narik uang lebih banyak lagi, kalo masih kurang" sahut Balqis.

Arsalan terdiam. Meskipun Balqis bersikap sombong, tapi niatnya membantu terlihat tulus.

"Saya mau semua kebutuhan teman-teman saya terpenuhi. Mereka harus mendapatkan makanan yang sehat," ujar Balqis.

"Kami akan kelola uangnya dengan sangat baik, Balqis. Dan terima kasih sudah membantu?" sahut Arsalan.

Balqis mengangguk. Dia juga memperhatikan orang-orang yang langsung sibuk membelanjakan uang itu untuk kebutuhan.

Senyuman Balqis menyungging. Dia pun keluar dari tenda sambil melihat-lihat.

"Om Gus!"

Dengan kebahagiaan tingkat dewa, dia pun menghampiri Alditra yang termenung memperhatikan air di depannya.

"Hi, Om Gus!"

Alditra melirik. Dia melihat Balqis yang tersenyum semanis mungkin. Tapi tetap saja terlihat menakutkan untuknya.

"Ini buat Om,"

Balqis menyodorkan sebuah buku novel yang masih dibungkus plastik. "Gue tau, semua buku Om Gus tenggelam di sana kan? Jadi gue beliin buku baru,"

Alditra mengambil buku itu. Dia memperhatikannya dengan intens.

"Om Gus suka nggak?" Alditra hanya mengangguk.

Dia suka membaca. Karena dengan membaca dia bisa mengalihkan perkataan yang membuatnya terluka.

Setelah memberikan buku, Balqis pergi begitu saja tanpa menunggu Alditra berterima kasih. Karena yang paling pentingnya buku itu diterima baik.

"Balqis!"

Melodi memeluknya erat. Kemudian melepaskannya. "Kamu yang terbaik. Terima kasih banyak, ya? Sudah membantu,"

"Gue nggak mau lo sama yang lain kelaperan, Mel. Jadi gue kasih duit gue supaya mereka bahagia soalnya udah dipake buat kebaikan,"

Balqis menyamakan semua barang-barangnya dengan makanan. Dia ingin barang-barangnya bahagia seperti makanan. Meskipun dia belum bisa membuang sifat sombongnya.

"Kamu yang terbaik, Balqis!"

"Nggak usah ngomong kayak gitu, Mel. Soalnya lo juga kan udah banyak bantu gue, lo juga yang terbaik kok.. Lo emang bestie gue!"

"Itu tidak seberapa, Balqis."

Balqis pun tersenyum. Kemudian masuk ke tenda bersama Melodi untuk beristirahat.

*****

Semua santri terlihat sibuk. Mereka tengah membagikan makanan yang dibeli dari uang Balqis tadi. Uang yang diberikannya sangat cukup untuk membeli kebutuhan makanan untuk semua santri dan warga pagi ini. Dan untuk siang nanti mereka tidak perlu khawatir karena bantuan akan segera tiba memberikan bahan pokok.

"Qis, ini bagian kamu."

Balqis yang baru keluar tenda mengambil nasi kotak dan minuman. Dia juga melihat semua orang tengah menikmati makanan. Senyuman Balqis terukir, dia merasakan kehangatan di dalam dirinya melihat orang-orang. Apalagi anak-anak sangat gembira bisa makan.

"Jadi ini rasanya berbagi?"

Senyuman Balqis masih terus terukir. Kemudian beralih duduk bersama yang lain. Mereka makan bersama-sama membentuk lingkaran.

Di sela makan, ada canda dan tawa di antara mereka. Meskipun makanan yang dibagikan tidak mewah, tapi kebersamaan mereka membuat cukup kenyang.

Itulah yang kini dirasakan Balqis. Dia memang melahap makanan yang tidak pernah dimakannya, tapi entah kenapa rasanya begitu enak. Mungkin karena makannya bersama-sama.

"Balqis, cantik kan, Gus?" Fairuz berbisik di telinga Alditra yang tengah membaca buku. "Bagaimana menurutmu? Apa dia pantas buat saya?"

Alditra mengangguk. Dia tidak menjawab dengan isyarat atau tulisan.

"Hmmm. Dari pertama kali saya melihatnya saat berlari, saya jadi tertarik padanya."

Alditra kali ini diam. Dia tidak menanggapi perkataan Fairuz. Ditutupnya buku yang sejak tadi dibacanya. Matanya secara perlahan melirik ke arah Balqis yang tengah mengoceh menyombongkan dirinya.

"Dia perempuan ceria."

Alditra mengangguk samar. Dia akui, Balqis memang perempuan ceria meskipun menyebalkan karena sering mengganggunya.

"Al, setelah saya lulus kuliah nanti, rencananya saya mau melamarnya,"

Alditra menoleh. Dia membalas perkataan Fairuz dengan isyarat.

(Apa kamu yakin akan memilihnya menjadi seorang istri?)

"ya... Meskipun saya tau dia seperti apa dari gosip yang menyebar. Tapi saya yakin dia akan berubah. Bahkan sekalinya berubah dia akan lebih berharga dari berlian."

Alditra terdiam. Entah apa yang dipikirkannya karena secara tiba-tiba tangannya memijit keningnya yang terasa pening.

"Semua perempuan itu berharga. Tapi ada yang lebih berharga. Yaitu bukan cinta, melainkan senyuman. Hei Al, lihat dia? Senyuman semanis itu sangat langka. Karena senyuman sekalinya hilang akan terasa hampa."

Alditra menghela nafasnya. Pandangannya lurus ke depan memperhatikan orang-orang.

Puk!

"Annisa datang."

Degh!

Mendengar perkataan itu, Alditra langsung menoleh ke belakang. Dia terkejut karena ternyata memang benar Annisa datang berkunjung sambil membawa banyak barang bawaan.

"Assalamu'alaikum, Gus!"

Alditra mengangguk sebagai jawaban. Kemudian tangannya terulur mengambil paper bag yang diberikan Annisa padanya.

"Semoga Gus menyukai selimutnya."

Alditra hanya mengangguk. Dia tidak tahu harus berkata apa lagi selain berterima kasih padanya dengan anggukan.

Hening!

Setelahnya hanya saling diam di antara mereka. Alditra tahu, dia sangat tidak pandai mengajak seseorang mengobrol, apalagi dia harus menggunakan buku agar lawan bicaranya menjawab.

"Sebaiknya, aku menghampiri Umi dulu."

Alditra mempersilahkan Annisa pergi. Kemudian matanya memicing saat Balqis tengah memperhatikannya barusan bersama Annisa.

Balqis memang tidak melakukan apa-apa. Bahkan dia terlihat tidak peduli. Padahal dalam hatinya mendadak tidak karuan karena rasa cemburu tiba-tiba menyapa.

Alditra kembali memutar kursinya. Dia membuka buku untuk membacanya. Dia tidak ingin berurusan dengan tatapan Balqis yang terlihat mengintimidasi.

"Cieee, yang baru dikasih hadiah sama calon istri."

Baru saja Alditra mencoba berpaling dari Balqis. Sekarang perempuan itu sudah cekikikan di dekatnya. Untung saja dia tidak terkejut. Mungkin bila terkejut karena kehadirannya secara tiba-tiba jantungnya sudah copot.

"Isi hadiahnya apa? Boleh nggak gue liat?"

Tanpa izin terlebih dahulu, Balqis mengambil paper bag itu dan membukanya. Matanya berbinar saat menyentuh selimut yang sangat lembut di tangannya.

"Hmm... Selimutnya bagus, tebel, lembut. Wangi juga. Gue suka."

Balqis memeluk selimut itu. "Boleh nggak Om Gus kalo gue minta?" tanpa rasa malu dia meminta selimut itu secara paksa.

Alditra tidak mengangguk atau pun menggelengkan kepalanya. Dia sendiri kebingungan dengan jawaban. Hatinya mendadak berkata memberikan selimut itu, akan tetapi pikirannya bilang jangan.

Melihat keterdiaman Alditra Balqis hanya mendecih.

"Ck.... Nih, nggak jadi. Becanda gue Om, nggak usah cemberut gitu.... Lagian itukan pemberian dari calon istri tercinta, masa iya mau dikasih ke calon istri masa depan. Hahaha."

Alis Alditra mengeryit. Sungguh perkataan Balqis benar-benar aneh didengar.

"Hah.. Ya udah gue pergi dulu ya Om Gus!"

Balqis membalikkan badannya. Namun langkahnya terhenti saat Fairuz tersenyum tepat di belakang. "Ustadz!"

Alditra ikut menoleh. Dia melihat jelas bagaimana tatapan hangat Fairuz.

"Kenapa Fairuz terlihat menyebalkan!" batinnya.

"Qis, jangan terlalu dekat dengan air. Nanti kamu kepeleset," ujar Fairuz.

"Masa sih? Perasaan saya jauh deh," sahut Balqis polos.

Fairuz tersenyum.

"Bila kamu ingin pergi, saya bisa mengantarmu,"

"Ide bagus! Kalo gitu Ustadz bisa kasih tahu saya di mana halte bus nggak? saya mau ke sana," jawab Balqis.

"Halte bus, ya?" Fairuz terlihat berpikir.

Alditra yang mendengar pertanyaan Balqis langsung memutar kursinya. Dia pun menarik tangan Fairuz agar tidak menjawab pertanyaannya. Dia tahu arti pertanyaan itu.

"Tunggu, Om Gus! Ustadznya belum jawab pertanyaan gue Iihh..," Balqis yang sewot mencoba menahan kursi roda Alditra dengan kuat.

Tentunya aksi Balqis menjadi pusat perhatian. Dia sangat berani menarik kursi roda Alditra yang kekeh ingin pergi.

"Tunggu bentar iihhh! Gue belum denger jawabannya Ustad," ucap Balqis.

"Lepaskan, Balqis! Kamu akan membuat Alditra terjatuh," Fatimah dengan paksa melepaskan tangan Balqis. "Apa yang kamu lakukan?"

"Ustadz Fairuz belum menjawab pertanyaanku. Tapi Om Gus ngajak dia pergi," jawab Balqis.

"Memangnya apa yang kamu tanyakan?" tanya Fatimah.

"Di mana letak halte bus?" jawab Balqis.

Arsalan yang mendengar jawaban Balqis langsung menghampiri. Dia memberikan isyarat pada Fairuz agar pura-pura tidak tahu.

"Mmhh... Balqis, di sini tidak ada halte bus."

"Nggak usah bohong! Saya tau kalian nggak mau saya pergi kan? Sampai kalian bohongin saya, dan bahkan sampai sekarang kalian terus menjaga gerbangnya supaya saya nggak kabur kan," sahut Balqis ketus.

"Balqis, diamlah di sini bersama kita. Kamu akan aman," bujuk Arsalan.

"Nggak. Saya nggak punya alesan buat tinggal lama selain buat nyelametin diri dari orang-orang jahat itu. Meskipun Om Abraham masih bilang buat tetep disini tapi saya yakin disana udah aman! Saya bisa balik lagi ke kota nemuin Daddy," balas Balqis.

"Siapa yang datang kesini menemuimu, Nak?!" sela Abi Arsalan mengernyit bingung karena baru kali ini dia mendengar ada orang yang menemui Balqis tapa sepengetahuannya.

"Om Abraham, dia... Satu organisasi sama Daddy, dia yang ngajarin saya semuanya..."

"Untuk apa beliau kesini?"

"Mh... Dia cuma minta tolong saya aja udah gitu dia balik lagi kok! Dan kayaknya sekarang saya pulang!"

"Tidak Balqis, kamu salah besar. Keadaan di kota sedang tidak aman untuk kamu. Kamu harus tetap di sini," sela Azizah.

"Aras dasar apa Kak Azizah bilang di kotatidak aman? Apa kak Azizah udah kesana?! Jujur saja saya udah muak tinggal di sini. saya nggak bisa hidup disini. Saya mau kehidupan bebas saya nalik lagi!," teriak Balqis mengeluarka unek-uneknya yang sedari lama dipendam..

Azizah mencoba meredamkan emosinya yang meluap. Mereka tidak bisa membiarkan Balqis pergi karena amanah Hans.

"Qis, dengar! Kita di sini keluarga kamu. Meskipun tidak ada daddy kamu, tapi kita di sini tetap melindungi kamu," ujar Azizah.

balqis haya berdecak kesal dengan Arsalan dan Azizah yang terus menahannya untuk bertahan disini. Balqis pun berlalu pergi. Kepalanya serasa panas menghadapi mereka yang tidak mengerti dirinya.

"Semua santriwan, jaga lingkungan pengungsian. Jangan sampai Balqis pergi dari sini. Dan awasi juga orang-orang karena takutnya ada yang mencurigakan datang keaini dan menemui Balqis."

Semua santriwan langsung patuh. Mereka berpencar untuk berjaga-jaga. Bukan hanya Balqis yang harus diwaspadai, melainkan mereka akan membantu warga juga.

Di dalam tenda. Balqis membungkus dirinya dengan selimut. Dia tidak ingin bertemu dengan siapa pun saat ini. Hatinya sedih karena tidak bisa pergi menjemput kebebasan.

"Daddy... Aku mau pulang... Mereka nyebelin banget Daddy!"

Balqis memejamkan matanya. Tidak terasa dia terlelap tidur membawa sesak di hatinya.

"Balqis, tidur." Melodi kembali bersama yang lain setelah memastikan Balqis tertidur.

"Aneh nggak sih sama perkataan Balqis tadi? Dia bicara tentang orang-orang jahat, dia juga pernah bilang kan kalo Daddy nya ketua organisasi" tanya Amel.

"Iya. apa jagan jangan ayahnya Balqis ketua organisasi hitam?" jawab Raras.

"Hah? Maksudnya mafia?"

"Apa jangan-jangan Balqis buronan lagi. Apalagi dari awal kedatangannya misterius kan? Dia ada secara tiba-tiba tanpa kita ketahui, apalagi perutnya waktu itu terluka,"

"Hust, jangan bicara seperti itu!" sela Melodi.

Mereka seketika diam saat Melodi mengintruksi. Pikiran mereka juga menyimpan tanda tanya besar tentang Balqis. Apalagi perkataannya tadi semakin membuat mereka penasaran.

1
sukronbersyar'i
mantap seru, gan , jgn lupa mampir juga ya
Tara
wah...dasar preman Yach😅😂
Tara
hope happy ending
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!