Apa pun itu, perihal patah hati selalu menjadi bagian kehidupan yang paling rumit untuk diselesaikan.
Tentang kehilangan yang sulit menemukan pengganti, tentang perasaan yang masih tertinggal pada tubuh seseorang yang sudah lama beranjak, tentang berusaha mengumpulkan rasa percaya yang sudah hancur berkeping-keping, tentang bertahan dari rindu-rindu yang menyerang setiap malam, serta tentang berjuang menemukan keikhlasan yang paling dalam.
Kamu akan tetap kebasahan bila kamu tak menghindar dari derasnya hujan dan mencari tempat berteduh. Kamu akan tetap kedinginan bila kamu tak berpindah dari bawah langit malam dan menghangatkan diri di dekat perapian. Demikian pun luka, kamu akan tetap merasa kesakitan bila kamu tak pernah meneteskan obat dan membalutnya perlahan.
Jangan menunggu orang lain datang membawakanmu penawar, tapi raciklah penawarmu sendiri, Jangan menunggu orang lain datang membawakanmu kebahagiaan, tapi jemputlah kebahagiaanmu sendiri.
Kamu tak boleh terpuruk selamanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hawa zaza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 21
Pukul sembilan malam, Bimo berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan langkah gontai. Mencari kamar rawat anaknya yang berada di lantai dua. Kamar kelas tiga, di sepanjang lorong banyak keluarga pasien yang berjaga. Suaranya cukup ramai meskipun sudah malam, memang seperti itulah keadaan kamar kelas bawah. Bimo menatap Munaroh yang bersender di dinding di bawah ranjang anaknya. Kamar yang di isi lima ranjang rawat terlihat masih cukup ramai dengan suara para keluarga yang tengah menunggu.
"Akhirnya kamu datang juga, mas." Sambut Munaroh dengan tatapan benci dan wajah masam. Bimo cuek saja, dia sama sekali tidak mau menanggapi ucapan istrinya. Tanpa merasa bersalah, Bimo duduk di tepi ranjang anak laki lakinya yang sudah tidur nyenyak.
"Bagaimana keadaan Brio, apa yang di katakan dokter?" Tanya Bimo setelah sekian menit diam saja.
"Brio kena gejala tipes." Sahut Munaroh ketus, hatinya masih dongkol karena Bimo lebih mengutamakan keluarganya di banding anaknya sendiri.
"Bagaimana biayanya, kamu daftar lewat apa?" Tanya Bimo kembali, pikirannya kacau karena akhir akhir ini dia sudah banyak mengeluarkan uang untuk keluarganya.
"Umum, kita gak terdaftar BPJS." Sahut Munaroh kesal, Bimo semakin terlihat perhitungan.
"Huuuft, pasti habis banyak. Aku sudah gak punya uang lagi." Keluh Bimo yang langsung mendapatkan tatapan sinis dari Munaroh.
"Aku gak mau tau ya, mas. Brio tanggung jawab kamu, bagaimanapun caranya kamu harus usahakan untuk dapat uangnya. Jangan hanya bisa ngurusin keluarga mbakmu saja, tapi sama anak sendiri gak bisa!" Ketus Munaroh kesal, Bimo langsung menatapnya tak suka. Kalau bukan di tempat ramai, Bimo pasti sudah menampar mulut Munaroh yang berani menghardiknya tentang keluarganya.
"Diam kamu, Laras saja tidak pernah protes apalagi ngoceh kayak kamu saat Luna sakit. Dia selalu bisa mengatasi sendiri. Dasar perempuan malas, parasit!" Bentak Bimo dengan rahang mengeras. Munaroh mendelik tak terima, tapi berusaha untuk tidak membalas hinaan Bimo, karena takut dan malu dengan orang orang sekitar.
🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂
"Alhamdulillah, terimakasih banyak Tuhan. Aku gak pernah menyangka kalau bisa ada di titik ini." Laras tersenyum menatap tumpukkan pesanan online nya. Entah kebaikan apa yang pernah Laras lakukan, setelah bercerai dari Bimo, rejekinya terus mengalir deras dengan cara tak di sangka sangka.
Pembangunan kos kosan sudah hampir tujuh puluh persen, Wardana banyak mempekerjakan tukang agar cepat selesai. Sedangkan Laras sudah mulai melakukan promo untuk menawarkan tempat kosnya, dan Alhamdulillahnya sudah ada yang daftar dan kasih uang DP.
Laras menjalani waktunya lebih bersemangat, mengerjakan semua pekerjaannya tanpa merasa lelah. Sedikit demi sedikit, tabungannya semakin bertambah. Wardana begitu loyal pada Laras, meskipun dia sudah memberi uang untuk jatah makan para tukang, Wardana juga masih memberikan sembako dalam jumlah yang lumayan banyak pada Laras. Laras benar benar beruntung dan tak lagi kekurangan.
"Mbak Laras, besok kita tetap masuk, bos nyuruh lembur." Pak Joko, salah satu tukang yang bekerja membangun kos kosan datang menghampiri Laras yang tengah membungkus pesanan online nya.
"Iyakah pak Joko, kok tumben?" Balas Laras yang menghentikan aktifitasnya dan beralih menatap pria berumur lima puluh tahun di hadapannya yang tengah minum kopi yang di suguhkan Laras.
"Iya mbak, tadi pagi mas Wardana nelpon. Katanya biar cepat selesai dan segera menghasilkan." Kekeh pak Joko dengan wajah ceria.
"Baiklah pak joko, besok biar aku siapkan menu sarapan dan makan siangnya. Pak Joko barangkali mau request apa gitu buat menunya?" Sahut Laras dengan senyuman ramah.
"Owalah mbak Laras ini, bapak itu apa saja doyan, asal kenyang. Apa yang mbak Laras suguhkan pasti bapak makan, wong masakan mbak Laras itu enak banget." Sahut pak Joko dengan jujur dan apa adanya.
"Alhamdulillah kalau pak Joko suka, besok aku masakin sayur asem saja ya pak, bikin sambal terasi sama ikannya tongkol dan bakwan jagung. Siang siang makan yang seger seger pasti enak, kalau untuk sarapan nasi pecel saja, kebetulan sambal pecel masih banyak." Balas Laras dengan antusias.
"Wah enak itu mbak Laras, kalau begitu bapak pamit kerja lagi ya, mbak." Balas pak Joko dan segera kembali bekerja.
"Buk, berarti besok kita gak jadi jalan jalan nonton film ya?" Tiba tiba Luna datang dengan wajah cemberut. Luna yang tadi mau mengambil minum tak sengaja mendengar obrolan pak Joko dengan Laras.
"Jadi kok, tapi sore ya nak. Karena besok ibu harus menyiapkan makan siang buat yang kerja, gak papa kan?" Balas Laras dengan senyuman hangat. Luna yang tadi cemberut kembali terlihat sumringah.
"Beneran buk, kita jadi jalan jalannya?" Sahut Luna ceria, Laras menggeleng gemas melihat anak kesayangannya bahagia.
"Iya sayang, tapi sore ya. Kita berangkat jam empat, setelah bapak bapak tukang pulang." Janji Laras yang membuat Luna langsung berjingkrak senang.
"Asik, makasih ya buk." Sorak Luna yang langsung memeluk Laras erat.
"Duh senengnya anak ibu." Gemas Laras yang menciumi rambut Luna berkali kali.
"Iya dong, Luna seneng banget. Lama gak jalan jalan ke mall dan nonton film." Sahut Luna apa adanya, seketika hati Laras seperti di sentil.
"Maafin ibu ya nak, maaf kalau ibu belum bisa membuat Luna bahagia. Tapi ibu janji, setelah ini kita akan hidup bahagia selamanya, Bismillah." Sambung Laras yang membalas pelukan Luna.
"Buk, ibu itu sudah melakukan yang terbaik buat Luna kok. Luna janji, Luna akan buat ibu bangga dan Luna akan terus bersama ibu apapun keadaannya, karena Luna sayang banget sama ibu." Sahut Luna yang semakin mengeratkan pelukannya.
"Makasih sayang, terimakasih ya sudah kuat menghadapi ujian hidup bersama ibu." Sahut Laras terharu, baginya Luna adalah segalanya.
"Terimakasih juga, karena ibu gak malu punya anak kayak Luna, maaf kalau Luna sering bikin ibu sedih dan malu." Sambung Luna lirih.
"Husttt, gak boleh ngomong begitu ya, nak. Luna itu hebat, Luna luar biasa bagi ibu. Ibu itu sayaaaang banget sama Luna, bagi ibu Luna adalah yang terbaik. Gak boleh berkecil hati dan mikir yang aneh aneh, cukup buktikan jika Luna juga hebat seperti anak-anak lainnya, oke sayaaaang?" Sahut Laras yang sudah menatap wajah putrinya penuh cinta, mengusap lembut pipi putihnya Luna penuh kasih sayang.
Dari Luna bayi hingga beranjak dewasa, Laras satu satunya yang memahami kondisi Luna. Menerima semua kekurangan Luna dengan hati lapang. Menjaga dan melindungi Luna sepenuh jiwa raganya. Laras tidak pernah membiarkan satu orang pun menyakiti Luna, Laras selalu menjadi garda terdepan untuk melindungi putrinya. Cinta dan kasih sayangnya pada Luna sangatlah besar. Laras selalu berjanji untuk bisa membahagiakan putrinya itu.
diihh .. khayalan nya terlalu tinggi pake segala ingin ibu nya tinggal disitu .. hadeuuhh .. dasar ga tau malu .. semoga aja Laras bisa melindungi diri nya dan Luna ..