Kisah sebuah pertemanan yang berawal manis hingga renggang dan berakhir dengan saling berdamai. Pertemanan yang salah satu diantara keduanya menaruh bumbu rasa itu terjadi tarik ulur. Sampai memakan banyak kesalahpahaman. Lantas, bagaimanakah kisah selanjutnya tentang mereka? apakah keduanya akan berakhir hanya masing-masing atau asing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zennatyas21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16. Menemani
Pagi ini Adhara berangkat ke sekolah lebih awal dan bertemu dengan Langit di koridor.
Gadis itu ingin menyapanya namun dirinya malu karena di sepanjang koridor sudah banyak anak anak yang sedang duduk.
"Baru berangkat, Ra?" tanya Langit menghentikan langkahnya yang berlawanan dengan Dhara.
Sontak Dhara sedikit terkejut tiba tiba di sapa oleh lelaki yang ingin dia sapa tadi.
"Hah? i- iya," jawabnya kikuk.
Adhara terburu-buru ingin cepat sampai masuk ke kelas karena anak-anak yang tengah berlalu lalang di sekitarnya sudah memusatkan perhatian pada Dhara.
"Ra, gue mau ngomong sesuatu sama lo." ucap Langit meraih lengan tangan Dhara membuat gadis itu berhenti.
"Mau ngomong apa? gue nggak mau diliatin sama banyak murid di sini," lirihnya menatap Langit datar.
Langit pun menatap siswa siswi yang berlalu lalang melewati mereka yang masih berdiri di koridor. "Nanti aja gue ngomongnya pas istirahat pertama. Kayaknya ada cewek yang lagi nungguin lo masuk ke kelas." kata Langit mengarahkan pandangannya ke salah satu murid yang sedang menggenggam buku dan pulpen di depan pintu.
Adhara ikut menoleh ke salah satu cewek yang dikatakan oleh Langit. "Oh, lo nungguin gue masuk ke kelas? kenapa ya?" tanya gadis itu masih berdiri didepan Langit.
Pelan pelan cewek yang merasa di ajak berbicara itu pun menghampiri Dhara. "Iya, gue lagi butuh lo banget." ucap cewek itu memohon.
Mata Dhara terfokus pada sebuah buku dan pulpen yang di genggam oleh cewek itu. Kemudian ia juga menatap nametag cewek tersebut agar dia tahu namanya.
"In-tan, nama lo Intan?" tanya Dhara. Sejurus kemudian Langit pergi meninggalkan mereka karena ia di telpon salah seorang guru kurikulum untuk kumpul rapat OSIS.
"Iya, ngobrolnya dalem kelas aja ya? gue malu kalo kita di sini terus." ujar cewek itu, arah pandangannya kemana mana.
Adhara mengangguk paham. "Oh oke, duduk di bangku gue aja kalo emang lo mau ngobrol sama gue." titahnya sembarj berjalan beriringan dengan Intan menuju kelas.
Sesampainya mereka ke kelas, Intan langsung menuruti perintah Dhara untuk duduk di bangkunya. "Btw, mau cerita atau ngobrol tentang apa?" tanya Adhara membuka topik lebih dulu.
Intan sedikit canggung untuk memberi tahu soal apa tujuannya membutuhkan Adhara. "Em- lo kan pinter mapel Bahasa Indonesia nih. Lo mau gak ajarin gue?" nada Intan sedikit bergetar, bahkan ia pun tak berani menatap Dhara. Apa se-serem itu wajah Adhara?
Adhara manggut manggut sambil menatap Intan yang sepertinya sangat membutuhkan dirinya. "Boleh, kalo mau belajar sama gue gak papa. Lo juga nggak perlu takut sampe nggak mau natap gue gitu," ujar gadis tersebut menyinggung Intan.
Dengan perasaan tersinggung membuat Intan mendongak dan menatap Dhara pelan pelan.
"Gue nggak serem kok orangnya, mungkin karena lo jarang ngobrol sama gue. Padahal kan kita sekelas, gue bukan tipe cewek yang suka menyinggung perasaan orang kok. Gue ngelakuin itu biar lo nggak canggung sama gue." ucapan Dhara mampu membuat Intan tak terlalu takut menatap Adhara.
"Cantik banget," gumam Intan sempat terdengar sekilas oleh Adhara.
"Hah? apa maksud lo?" bingung gadis itu tak mengerti.
"Lo cantik banget aslinya, Ra." ungkap Intan setelah ia menatap wajah Adhara yang putih alami dengan bibirnya yang berwarna merah muda alami.
Adhara sempat tercengang mendengar ucapan teman sekelasnya itu. Perasaan Adhara tidak pernah memamerkan kecantikannya bahkan ia tak pernah memakai make up di sekolah.
"Ra! hello? lo baik-baik aja kan?" tanya Intan membuyarkan lamunan gadis tersebut.
"E-eh, gue nggak secantik lo kok, Tan. Gue nggak pernah pake makeup di sekolahan karena itu udah peraturan." jawab Dhara, Intan pun hanya berdecak kagum atas jawaban yang didengarnya langsung dari Adhara.
"Jadi lo mau nanti ajarin gue?" sekali lagi Intan memastikan.
"Iya insyaAllah. Selagi gue bisa, gue pasti berbagi buat yang membutuhkan." Ahh ... Intan benar- benar dibuat kagum parah oleh seorang Adhara. Siswi anak IPS itu membuat dirinya terinspirasi untuk berbagi ilmu selagi masih bisa membantu.
"Thank you, Adhara!" teriak Intan bahagia. Wah, ternyata Intan itu lucu ya kepribadian aslinya.
"Sama sama, Tan." jawabnya tersenyum manis.
•••••••
"Ra, gue mau ngomong sesuatu sama lo." ucap Langit pelan.
Dhara langsung duduk di bangku taman belakang sekolah. "Ngomong soal apa?"
"Mau gak temenin gue latihan basket nanti abis pulang sekolah?" tanya Langit duduk di sebelahnya Dhara.
"Ada pertandingan? kok gue nggak tau?" jawabnya tanya balik. Ia menatap Langit yang menggenggam benda pipih sebuah ponsel.
"Ada pertandingan basket besok di SMA Merpati. Tadi gue dipanggil guru kurikulum buat ikut main sama anak-anak." jawab lelaki tersebut menatap Dhara.
Adhara perlu berpikir untuk menjawab pertanyaan dari Langit, jika dirinya mau menemani Langit latihan kemungkinan besar ia juga harus ikut Tim nya Langit bertanding di SMA Merpati yang dulunya adalah sekolahnya sebelum pindah kesini.
"Kalo gue nemenin lo, kemungkinan besar gue harus ikut buat jadi supporter lo dong? ke SMA gue yang ada di desa?" ujar gadis itu tampak berpikir.
Langit menghela napasnya pelan, "Kalo kamu nggak mau, gak papa jangan dipaksa. Aku bisa latihan sendiri dan ke tempat pertandingan cuma sama tim anak-anak yang lain." kata lelaki itu membolak balikan ponselnya.
Mendengar jawaban Langit, Adhara merasa bersalah karena dirinya mengucapkan kata tadi Langit jadi tak ingin merepotkannya.
"Aku mau kok temenin kamu latihan sampai besok tanding, insyaallah aku ikut ke sana." sahutnya cepat.
"Apa kamu dibolehin sama ayah kamu? takutnya ayah kamu nggak ngizinin buat pergi ke desa." Rasa ragu mulai terasa oleh Langit.
"Gak papa kok, asal ada yang jagain gue aja sih. Ayah nggak bakal marah gue jalan sama cowok selagi cowok itu mau jagain gue dan tanggung jawab atas keselamatan gue." jelas Dhara seraya meminum susu kotak.
Langit mengerutkan keningnya, "Lo bawa susu kotak dari mana? perasaan tadi nggak bawa apa-apa." bingungnya.
Adhara malah terkekeh. "Dari tadi kan gue bawa susu kotak sama roti coklat nih. Lo mau?" gadis itu menawari apa yang di genggam di kedua tangannya.
Langit menggeleng. "Buat lo aja, jadi gimana? mau temenin gue latihan?" tanya lelaki tersebut memastikan.
"Sekaligus dukung lo di pertandingan." sahut cepat Dhara langsung menyantap roti coklatnya.
Melihat gadis cantik dengan gaya makannya yang sangat menikmati itu membuat Langit tersenyum senyum sendiri. Apakah Langit menyukai Adhara?
"Langit? Lang!" seru Dhara menepuk bahu Langit membuat lelaki itu sedikit tersentak kaget.
"Iya Ra?" jawab lelaki tersebut kikuk.
"Lo kenapa bengong?"
"Gak papa."
"Eh, kalo makan roti kebiasaan belepotan ya Ra?" tanya Langit menahan rasa ingin tertawa.
Adhara memang begitu setiap makan roti coklat pasti di sudut bibirnya tertinggal jejak coklat yang masih setia menempel. Hahaha...
"Ha-hah? belepotan? ah masa sih?" ucapnya terburu buru mencari cermin di area taman.
Astaga Adhara ... mana ada cermin di taman, huftt! emang Dhara ini beda sama penulis lain yang pendiem, bahasanya formal. Sedangkan dia? oh tidak. Karakter aslinya memang selalu aktif orangnya.
Langit memperhatikan Adhara yang mondar mandir mencari cermin di sekitar taman. "Lo nggak nyadar kalo sekarang kita lagi di mana?" pertanyaan Langit membuat Adhara berhenti sebentar.
Dan bodohnya ia baru menyadari sekarang bahwa dia hanya sia sia mencari cermin untuk melihat bibirnya yang belepotan terkena coklat. "Oh iya, hehe ... jadi malu sendiri, huft ..." katanya lalu duduk kembali di samping Langit.
Langit tersenyum memandangi wajah Adhara yang tetap cantik walaupun di sudut bibirnya masih ada coklat bekas dirinya memakan roti tadi. "Maaf," ucapnya mengusap sudut bibir Dhara yang terkena coklat.
Adhara diam mematung. Dirinya tak bisa berkata kata selain merasakan detak jantungnya. Rasanya ia ingin terbang tinggi.
"Kenapa, Ra?" tanya Langit menatap Adhara.
"Aish, enggak. Gue gak papa." jawabnya.
"Udah bersih." kata Langit membersihkan tangannya dengan tisu miliknya.
"Thanks ya, Lang,"
"Iya sama-sama"