Bertransmigrasi kedalam tubuh Tuan Muda di dalam novel.
Sebuah Novel Fantasy terbaik yang pernah ada di dalam sejarah.
Namun kasus terbaik disini hanyalah jika menjadi pembaca, akan menjadi sebaliknya jika harus terjebak di dalam novel tersebut.
Ini adalah kisah tentang seseorang yang terjebak di dalam novel terbaik, tetapi terburuk bagi dirinya karena harus terjebak di dalam novel tersebut.
Yang mau liat ilustrasi bisa ke IG : n1.merena
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Merena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Selanjutnya.
Aku menatap mayat-mayat di tanah, tubuh mereka terbakar dan penuh irisan yang dalam, akibat dari pisau yang kuselimuti sihir api. Asap tipis mengepul dari luka mereka, dan bau daging yang terbakar bercampur dengan aroma hutan yang lembap. Pemandangan ini seakan menjadi bukti dingin dari apa yang baru saja terjadi—kekacauan dalam hening yang kini menyelimuti kami.
Aku menoleh ke arah Lucian, yang kini berdiri di atas tubuh-tubuh tak bernyawa. Dia terlihat sama sekali tidak terpengaruh, senyuman kecil masih menghiasi bibirnya, seperti ini hanyalah rutinitas harian baginya. Aku berjalan mendekatinya dan bertanya, "Siapa mereka ini?"
Lucian hanya mengangkat bahu santai, tidak sedikit pun terganggu oleh pertanyaanku. "Entahlah," jawabnya dengan ringan. "Tapi sepertinya orang ini akan memberi kita jawabannya." Dia meraih kerah supir kereta, menariknya dari tanah seperti menarik kain tua yang kotor.
Wajah supir kereta itu pucat, penuh teror yang membeku. Matanya memelas, bibirnya gemetar saat ia menatap kami dengan ketakutan yang begitu mendalam. Dia tampak seperti tikus yang terperangkap, tanpa celah untuk melarikan diri. "Saya akan mengatakan semuanya! Mohon, jangan bunuh saya! Saya hanya dibayar!" tangisnya pecah, suaranya bergetar dalam panik yang tak tertahankan.
Lucian tersenyum kecil, senyum yang penuh kepalsuan dan dingin. "Itu tergantung apakah informasi yang kau berikan cukup memuaskan atau tidak," ucapnya, kata-katanya terdengar tenang tapi mematikan. Matanya yang tajam menatap lurus ke dalam jiwa pria itu, seperti elang yang mengintai mangsa kecilnya.
Aku berdiri di samping Lucian, tetap diam dan tenang. Aku tidak perlu ikut campur dalam hal ini. Aku hanya menyaksikan dengan seksama bagaimana Lucian mengendalikan situasi, caranya berbicara dengan begitu santai namun penuh ancaman. Ini membuatku berpikir bahwa dalam segala ketenangannya, Lucian jauh lebih berbahaya daripada yang bisa terlihat dari luar.
"Katakan dalam satu kalimat," suara Lucian terdengar tegas, "siapa yang memberikan perintah, dan apa perintahnya." Nadanya seperti cambukan, dingin dan tak terelakkan.
Supir itu menelan ludah, keringat dingin bercucuran di wajahnya. "Nyonya kedua," katanya terbata-bata, suaranya penuh ketakutan. "Dia menyuruhku menyewa beberapa orang untuk membunuhmu, pelayan pribadi Nyonya ketiga." Suaranya semakin cepat, hampir tanpa jeda. "Aku sudah mengatakan semuanya! Kumohon, lepaskan aku!"
Lucian mengangguk pelan, bibirnya membentuk senyum tipis. "Informasi yang bagus," katanya lembut, seolah-olah memberikan pujian. "Tapi... aku bukan tipe orang yang meninggalkan ujung longgar." Dalam satu gerakan cepat, pisau Lucian menembus tenggorokan pria itu, membuat napas terakhirnya terhenti seketika. Tubuhnya terkulai lemas di tanah, nyawanya hilang tanpa perlawanan.
Aku hanya bisa memandang tanpa banyak emosi. Ini bukan pertama kalinya aku melihat kematian, dan pasti bukan yang terakhir. Namun, caranya Lucian menghabisi nyawa begitu saja, dengan senyuman yang nyaris main-main, membuatku semakin menyadari betapa tenangnya dia dalam menghadapi kekerasan.
"Lalu, apa selanjutnya?" tanyaku, masih berusaha memahami apa yang sebenarnya ada di pikiran Lucian.
"Selanjutnya? Oh, tentu saja kita masih lanjut," jawabnya sambil tersenyum lebar, kembali dengan sikap riangnya. "Tidak ada yang berubah."
Aku melirik ke sekitar, melihat mayat-mayat yang berserakan di tanah. "Dan semua mayat ini?" tanyaku sambil menunjuk pemandangan yang mengerikan itu.
"Tinggalkan saja," jawabnya ringan, seakan kematian mereka tidak lebih dari daun-daun yang gugur di musim dingin. "Naiklah ke dalam kereta, kita akan melanjutkan perjalanan." Lucian kini memacu kuda, karena supir kuda yang ada sudah menjadi dingin.
Meski dalam hati aku merasa heran dengan rencana Lucian, aku tetap mengikutinya tanpa banyak pertanyaan lagi. Setelah semua yang terjadi, mungkin lebih baik aku tidak terlalu banyak bertanya. Aku naik kembali ke dalam kereta, duduk dalam diam saat perjalanan kembali dilanjutkan.
Malam turun perlahan, kegelapan mulai menyelimuti hutan di sekeliling kami. Suara malam—angin yang berbisik di antara pepohonan, gemerisik dedaunan—kini menjadi satu-satunya yang terdengar, memberi kesan bahwa dunia telah melupakan pembantaian yang baru saja terjadi. Kereta terus melaju tanpa gangguan, seolah-olah hutan itu sendiri telah menyerah pada kedamaian palsu yang diciptakan oleh kekerasan.
Tiba-tiba, kereta berhenti. Pintu terbuka, dan wajah Lucian muncul dalam bayangan malam. "Kita tidak akan berhenti untuk beristirahat malam ini," katanya dengan suara datar. "Jika kita terus berjalan, kita akan tiba di tujuan sebelum fajar."
Aku menatapnya dengan bingung. "Kenapa tiba-tiba?" tanyaku, masih belum sepenuhnya mengerti apa yang ia rencanakan.
Alih-alih menjawab, Lucian melepaskan kuda-kuda yang terikat pada kereta, membiarkan mereka lari ke arah yang tidak jelas. Kemudian, dia mulai merusak kereta kuda dengan pisaunya, menciptakan goresan-goresan dalam yang menghancurkan kereta mewah itu tanpa ampun.
Aku menatapnya dengan kebingungan yang semakin dalam. "Ronan, robek bajumu dan kotori dengan tanah," katanya sambil terus merusak kereta, tidak menoleh ke arahku.
Aku mengerutkan dahi. "Untuk apa?" tanyaku, mencoba memahami logika di balik tindakannya.
"Percayalah, lakukan saja," katanya dengan tegas. Lucian juga mulai merobek bajunya dan mengotori dengan tanah.
Aku mengangguk pelan, meski masih merasa ragu. Aku mulai merobek bajuku dan mengotori tubuhku dengan tanah. Tindakan ini terasa aneh, tapi aku tahu Lucian selalu memiliki alasan untuk setiap tindakannya. Kini, kami berdua tampak seperti pengemis lusuh yang terdampar di tengah hutan.
"Kau bisa berjalan jauh, kan?" Lucian memastikan sambil memeriksa keadaan di sekeliling.
"Tentu," jawabku mantap.
"Bagus," katanya singkat. "Kita akan berjalan sampai fajar."
the darkest mana
shadow mana
masih ada lagi tapi 2 itu aja cukup