Menjadi pedagang antar dua dunia? Apakah itu memungkinkan?
Setelah kepergian kakeknya, Sagara mewarisi sebuah rumah mewah tiga lantai yang dikelilingi halaman luas. Awalnya, Sagara berencana menjual rumah itu agar dapat membeli tempat tinggal yang lebih kecil dan memanfaatkan sisa uangnya untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, saat seorang calon pembeli datang, Sagara tiba-tiba mengurungkan niatnya. Sebab, dia telah menemukan sesuatu yang mengejutkan di belakang rumah tersebut, sesuatu yang mengubah pandangannya sepenuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kata Pandu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23 : Meninggalkan Jejak Masa Lalu
Mentari cerah memercikkan cahaya hangat ke seluruh pelosok kediaman Adyatama, membuat bayang-bayang pepohonan di halaman tampak menari-nari. Sagara, dengan langkah mantap, memeriksa sekali lagi barang-barang yang telah ia persiapkan selama dua hari terakhir. Di hadapannya, deretan barang-barang modern seperti telepon genggam, jam tangan, hingga beberapa peralatan elektronik kecil yang dipilihnya dengan cermat berdasarkan rekomendasi dari Fransiskus, kini tersusun rapi. Namun, di luar rekomendasi itu, ia menambahkan beberapa barang lagi yang menurut perhitungannya akan memiliki daya tarik tersendiri di dunia sihir, meski itu lebih berdasar insting daripada logika.
Sagara menarik napas panjang, matanya menyapu seluruh tumpukan barang yang hampir menguasai ruang tamu kediaman Adyatama. Ia merenung sesaat, menyadari betapa antusiasnya dia mempersiapkan barang-barang dagangannya ini.
"Aku benar-benar perlu mencari ruangan sementara untuk menyimpan semuanya," gumam Sagara, suaranya hampir tenggelam dalam keheningan pagi.
Beberapa pekerja Kediaman Adyatama memperhatikannya dari kejauhan. Mereka tak bicara, tak juga bertanya. Mereka tampak terbiasa melihat aktivitas semacam ini. Dahulu, sebelum Miles menghilang, Fransiskus sering kali yang mengurus semua hal terkait perdagangan rahasia ini. Namun, kini Sagara melakukannya sendiri. Tidak ada rasa canggung atau tanya di wajah para pekerja. Mereka tahu ada hal-hal yang lebih baik tidak mereka persoalkan.
Pikiran Sagara terlempar sesaat kepada Fransiskus. Pria yang telah lama bekerja untuk keluarga ini, dan selama bertahun-tahun pergi dan kembali dengan sendirinya tanpa banyak kata. Menghilangnya keberadaan dia pun tidak terlalu mengundang perhatian para pekerja di mansion ini, seolah perginya Fransiskus adalah hal yang wajar dan terduga, khususnya bagi Emma.
Setelah yakin bahwa semua persiapan dagangannya sudah selesai, Sagara menghela napas lega. Pikirannya kemudian melayang kepada satu urusan lain yang menunggunya. Kontrakan lamanya. Sagara merasa saatnya membereskan barang-barang yang masih tertinggal di sana. Sebagian barang mungkin sudah tidak layak pakai, tapi yang masih berguna akan ia bawa ke kediaman Adyatama. Dia juga ingin bertemu pemilik kontrakan untuk menyampaikan keinginannya keluar dari kontrakan dan membahas pengembalian uang yang sudah Lucas bayarkan.
Setelah sarapan, ia memberi isyarat kepada Surya untuk bersiap. Surya, yang sejak tadi pagi sudah tampak sigap menunggunya, langsung mengambil kunci mobil dan mengikuti Sagara keluar. Terlihat raut wajah Surya sangat senang. Dalam beberapa hari belakangan ini dia memang antusias setiap kali Sagara mengajaknya pergi keluar karena keberadaan mobil baru di keluarga ini, sehingga dia bisa kembali ke tugas aslinya sebagai supir, tidak lagi mengerjakan pekerjaan yang bukan keahliannya.
"Kita akan pergi ke tempat tinggalku yang dulu," kata Sagara, suaranya datar tapi tegas.
Surya mengangguk patuh. "Tuan, apakah kita akan langsung kembali ke sini setelah urusan di sana selesai?"
"Ya," jawab Sagara sembari membuka pintu mobil, "Aku tidak ingin berlama-lama di sana. Hanya mengambil barang yang masih perlu, dan bertemu pemilik kontrakan. Selebihnya, kita kembali."
Mobil itu pun melaju pelan, melewati gerbang besar Kediaman Adyatama yang megah. Sagara duduk di kursi penumpang, diam menatap jalanan yang menghampar di depannya. Pikiran Sagara melayang, memikirkan langkah-langkah ke depan. Di satu sisi, ia merasa harus menjelaskan semuanya kepada Lucas, tetapi di sisi lain, ada rahasia besar yang tak bisa ia ungkap begitu saja.
Sesampainya di kontrakan lamanya, Sagara merasakan perasaan yang aneh. Tempat ini dulu menjadi pelabuhan kecil baginya, tempat ia pulang setelah seharian penuh kuliah dan kerja sambilan, dan menjalani kehidupan sederhana lainnya. Kini dengan adanya Kediaman Adyatama yang megah, kontrakan itu tampak kecil dan kusam di matanya.
Ketika ia turun dari mobil, pintu rumah kontrakan terbuka perlahan, dan pemilik rumah, seorang wanita paruh baya yang ramah tapi tegas, keluar menyambutnya. Senyumnya tipis tapi hangat, meski terlihat sedikit penasaran dengan kehadiran Sagara yang tiba-tiba setelah lama tak terlihat.
"Sagara! Lama tidak kelihatan, Nak. Apa kabar?" sapanya dengan nada yang lembut.
Sagara tersenyum tipis, mengangguk dengan hormat, meski dia merasa janggal dengan sikap sang ibu kontrakan yang tak seperti biasanya. "Baik, Bu. Saya ke sini ingin beres-beres barang dan juga membahas soal kontrakan ini."
"Oh, iya. Saya sudah dengar dari Nak Lucas bahwa kamu mungkin akan pindah. Ada urusan penting, ya?" tanya wanita itu sambil membuka pintu lebih lebar, mempersilakan Sagara untuk masuk.
Sagara melangkah masuk, Surya mengikutinya di belakang. "Ya, Bu. Saya sudah menetap di rumah peninggalan kakek saya. Mungkin tidak akan tinggal di sini lagi."
"Begitu, ya. Baiklah, silakan beres-beres. Kalau ada yang perlu dibicarakan lebih lanjut, saya menunggu di depan saja," jawab sang pemilik kontrakan sambil berjalan pelan menuju kursi di ruang tamu.
Sagara kemudian masuk ke kamarnya. Ruangan itu terasa lebih sempit dari yang ia ingat. Barang-barangnya tergeletak di sana-sini, seolah menunggu untuk diambil atau dibuang. Ia segera mulai memilah-milah. Barang-barang penting dimasukkan ke dalam koper, sementara yang lain dibiarkan begitu saja.
Setelah hampir satu jam, ia keluar dari kamar dengan koper di tangannya. Wanita pemilik kontrakan tersenyum dan menawarinya teh. Namun, Sagara menolak dengan sopan.
"Bu, saya juga ingin membicarakan soal uang kontrakan," ujar Sagara.
Wanita itu tersenyum kecil, tapi perlahan sikapnya berubah canggung. "Oh, soal itu... Sebenarnya saya sudah memberitahu Nak Lucas bahwa pembayaran kontrakan yang sudah dibayarkan tidak bisa dikembalikan dengan alasan apapun. Jika kamu ingin mendapatkan kembali uang kontrakan, silahkan mencari orang lain untuk menggantikan kamu menempati tempat itu dan membayarnya."
"Tapi Lucas membayarnya tanpa sepengetahuan saya, bukannya tidak sah jika orang lain yang membayar tanpa izin saya sebagai penyewanya?" kata Sagara tegas.
Wanita itu hanya tersenyum, tidak ingin memperpanjang perdebatan. "Baiklah, kalau kamu masih memaksa, saya juga ga mau membuat masalah lebih besar sama kamu. Begini saja, saya bisa kembalikan uangnya hanya setengahnya saja, hanya itu yang bisa saya tawarkan."
Sagara pun mengangguk, sepertinya tidak ada jalan lain selain menyetujuinya. Kemudian dia berpamitan dengan sopan. Setelah memastikan semua urusannya selesai, ia dan Surya kembali melaju menuju kediaman Adyatama. Mobil meluncur pelan, sementara Sagara tenggelam dalam pikirannya.