Di tahun 70-an, kota ini penuh dengan kejahatan yang berkembang seperti lumut di sudut-sudut gedung tua. Di tengah semua kekacauan, ada sebuah perusahaan detektif swasta kecil tapi terkenal, "Red-Eye Detective Agency," yang dipimpin oleh Bagas Pratama — seorang jenius yang jarang bicara, namun sekali bicara, pasti menampar logika orang yang mendengarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khairatin Khair, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8
Pagi itu, suasana di kantor Red-Eye Detective Agency terasa lebih hening daripada biasanya. Toni tertidur dengan gelisah di sofa setelah malam panjang yang penuh ketegangan. Sementara itu, Siti dan Bagas sibuk membahas rencana mereka berikutnya di ruang kerja.
“Pak Bagas, kita harus mencari lebih banyak informasi tentang Bayangan. Toni hanya memberi kita sebagian kecil gambaran, tetapi tidak ada nama atau petunjuk yang benar-benar bisa dipegang,” kata Siti, suaranya rendah namun penuh ketegasan.
Bagas mengangguk, matanya menatap peta kota yang tersebar di mejanya. “Kelompok ini jelas punya jaringan yang kuat. Mereka mungkin bekerja melalui orang-orang penting di kota ini — para pejabat atau pengusaha besar.”
Siti memandangi peta tersebut dan mengingat sesuatu. “Pak, bukankah di antara nama-nama yang diberikan Pak Irawan, ada satu orang yang dulu sempat menjadi rekan bisnisnya dan Pak Ramelan? Seorang politisi yang cukup berpengaruh di kota ini — Pak Suryo?”
Bagas mengangguk pelan. “Suryo… Dia punya akses ke banyak proyek yang terkait dengan perizinan kota. Kalau ada seseorang yang bisa memberi kita petunjuk, mungkin dia salah satunya.”
Siti tersenyum kecil. “Kalau begitu, kita perlu mengatur pertemuan dengannya.”
Bagas tampak berpikir sejenak. “Akan terlalu mencurigakan jika kita bertemu langsung. Kita butuh cara untuk mendekatinya tanpa membuat kelompok Bayangan curiga.”
---
Pertemuan yang Direncanakan
Dengan bantuan informasi dari beberapa kenalan lama di kepolisian, Bagas akhirnya berhasil mengatur pertemuan dengan Pak Suryo di sebuah kedai kopi di pinggir kota, tempat yang cukup sepi dan aman. Suryo dikenal sebagai orang yang tenang namun berhati-hati, sehingga pertemuan di tempat ramai mungkin akan mengurangi risiko.
Siti dan Bagas tiba lebih awal, memastikan meja mereka berada di sudut yang cukup tersembunyi dari pandangan orang lain. Mereka menunggu dengan sabar sampai sosok Pak Suryo muncul, mengenakan setelan kasual dengan topi fedora untuk menyamarkan identitasnya.
“Pak Bagas, Siti,” sapa Suryo sambil duduk, matanya langsung meneliti sekeliling ruangan sebelum berbicara lebih lanjut. “Saya tak punya banyak waktu, jadi katakan saja apa yang ingin kalian tahu.”
Bagas tak membuang waktu, langsung menyodorkan pertanyaannya. “Kami sedang menyelidiki kematian Pak Ramelan, dan kami tahu bahwa ada kelompok bayangan yang terkait dengan proyek besar yang pernah Anda kerjakan bersama Pak Ramelan dan Pak Kusuma.”
Pak Suryo menghela napas, seolah beban lama yang berat baru saja diungkit kembali. “Saya sudah mencoba mengubur masa lalu itu, Pak Bagas. Tapi jika kalian ingin tahu tentang kelompok itu, saya hanya bisa memberi sedikit gambaran. Mereka bekerja dalam kerahasiaan total. Kami yang pernah terlibat hanya tahu sosok mereka yang disebut sebagai ‘Bayangan’.”
Siti mencondongkan tubuhnya, tak sabar mendengar lebih jauh. “Apakah Anda tahu siapa sosok Bayangan itu, Pak?”
Pak Suryo menggeleng pelan. “Kami tak pernah melihat wajahnya. Dia selalu bekerja melalui perantara — orang-orang yang bisa mengatur segalanya dari balik layar. Yang kami tahu hanyalah bahwa dia mengendalikan jaringan bisnis gelap yang besar. Satu-satunya orang yang mungkin tahu lebih banyak tentang Bayangan adalah seseorang yang dijuluki Srigala.”
Bagas mengernyitkan dahi, penasaran dengan nama itu. “Srigala?”
“Ya,” lanjut Suryo dengan suara pelan, seolah takut ada yang mendengar. “Srigala adalah salah satu orang kepercayaan Bayangan. Dia adalah penghubung antara kelompok itu dengan pihak luar. Jika kalian bisa menemukan Srigala, mungkin kalian bisa menemukan Bayangan.”
Bagas mengangguk, mencatat dalam pikirannya setiap informasi yang ia dapat. “Di mana kami bisa menemukan Srigala?”
Pak Suryo menggeleng lagi. “Tak ada yang tahu pasti. Dia adalah bayangan lain yang sulit ditangkap, tetapi beberapa bulan lalu, saya mendengar kabar bahwa dia sering terlihat di tempat perjudian di pinggir kota. Itu saja yang saya tahu.”
---
Bahaya yang Mendekat
Percakapan mereka terhenti ketika Suryo tiba-tiba menatap ke luar jendela dengan cemas. Dua pria berbadan tegap berdiri di luar kedai kopi, tampak mencurigakan. Bagas dan Siti juga memperhatikan kehadiran mereka.
“Sepertinya kita diawasi,” bisik Suryo, wajahnya terlihat pucat. “Mereka pasti dari kelompok itu. Mereka tahu saya bertemu kalian.”
Bagas memberi isyarat pada Siti untuk tetap tenang. “Pak Suryo, kami harus segera pergi dari sini. Jangan buat gerakan yang mencurigakan.”
Suryo mengangguk panik, lalu bangkit perlahan. Mereka berjalan keluar kedai kopi dengan hati-hati, mencoba berpencar untuk menghindari perhatian. Suryo berjalan lebih dulu ke arah tempat parkir, sementara Bagas dan Siti tetap menjaga jarak di belakang.
Namun, sebelum Suryo berhasil mencapai mobilnya, salah satu pria itu mendekatinya dengan cepat. Suryo terperangah dan melangkah mundur, namun pria itu sudah berdiri di hadapannya, mencegat jalannya.
“Pak Suryo, kami ingin bicara sebentar,” ucap pria itu dengan nada rendah namun penuh ancaman.
Bagas dan Siti melihat kejadian itu dari balik mobil, mencoba mencari cara untuk membantu Suryo tanpa menimbulkan kegaduhan. Tanpa berpikir panjang, Bagas memberi isyarat pada Siti untuk tetap di tempat, lalu ia mendekat dengan tenang dan menyapa pria itu dengan suara rendah.
“Permisi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan senyum tipis yang penuh arti.
Pria itu menatap Bagas dengan tajam, lalu berpaling pada Suryo. “Saya rasa Anda tak perlu ikut campur, Pak. Ini hanya urusan kecil antara kami dan Pak Suryo.”
Bagas tak bergeming. “Oh ya? Menurut saya, urusan kecil ini perlu saksi. Siapa tahu bisa jadi besar.”
Pria itu tampak kesal, namun sebelum ia sempat bereaksi, Suryo melangkah cepat ke arah mobilnya, memberi isyarat pada Bagas dan Siti untuk segera pergi.
“Ayo, Siti!” seru Bagas sambil bergerak cepat. Mereka segera masuk ke dalam mobil dan meninggalkan tempat itu, sementara dua pria tadi hanya bisa melihat dari kejauhan, tampak bingung dengan perlawanan kecil yang tak mereka duga.
---
Kembali ke Kantor: Sebuah Kesadaran Baru
Malam itu, Bagas dan Siti kembali ke kantor dalam keheningan. Suryo telah kembali ke tempat aman, tetapi pertemuan dengan dua pria tadi membuat mereka semakin sadar akan bahaya yang kini mengincar mereka.
“Pak Bagas, sepertinya kelompok ini akan terus memburu siapa pun yang mencoba mengungkap mereka,” kata Siti, suaranya terdengar khawatir.
Bagas mengangguk. “Benar, Siti. Tapi kita semakin dekat dengan kebenaran. Kita tahu sekarang bahwa Bayangan beroperasi melalui seseorang bernama Srigala. Itu cukup memberi kita arah.”
Siti terdiam sejenak, lalu menatap Bagas dengan tekad baru. “Kalau begitu, kita harus temukan Srigala. Mungkin ini cara satu-satunya untuk mengakhiri semua ini.”
Bagas mengangguk, menyadari bahwa langkah mereka ke depan akan jauh lebih berbahaya. Namun, ia tahu bahwa kebenaran sudah semakin dekat, dan tidak ada jalan untuk mundur.
“Bersiaplah, Siti. Kita akan menghadapi Bayangan dari dekat,” ujar Bagas dengan nada penuh tekad.
Semangat.