Follow IG : base_author
Membaktikan kehidupannya untuk imamnya, peran yang dilakoni Thalia Ruth selama 4 tahun menjalani hidup berumah tangga dengan Andre Miles, suaminya. Di tinggallkan kedua orang tuanya karena kecelakaan menjadikan Thalia yang yatim piatu sepenuhnya menggantungkan hidupnya pada Andre dengan kepercayaan yang tanpa batas. Bagaimana Thalia menjalani kehidupannya setelah Andre mencampakkannya setelah memperoleh semua yang diinginkan?? bahkan ibu mertua pun mendukung semua perbuatan suaminya yang ternyata sudah direncanakan sejak lama.
Menjadi lemah karena dikhianati atau bangkit melawan suaminya... manakah yang dipilih Thalia?
Siapkan tisu dan alat tempur sebelum membaca 😎
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Base Fams, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PART 23
Kita kembali ke zaman Thalia saat menjadi mahasiswi.. 🤭
Sore itu, Andre berdiri di dekat motornya dengan stelan kemeja biru, dan celana bahan berwarna hitam. Ia tersenyum lembut ketika netranya melihat sosok gadis setengah berlari dari dalam kampus, mendekatinya. Thalia Ruth, sosok gadis ceria yang menjadi temannya setelah insiden terkuncinya gadis itu di dalam toilet.
"Sudah lama menunggu? " tanya Thalia sambil mengatur napasnya yang tidak beraturan, bersamaan dengan sentuhan tangan Andre tengah merapikan rambutnya yang berantakan.
Mendapatkan perhatian lebih, tentu membuat gadis manapun merasa senang termasuk Thalia. Apalagi yang melakukannya Andre Miles, pria pintar yang memiliki wajah rupawan, idola kampus saat pria itu mengemban ilmu di fakultas yang sama dengan Thalia.
"Tidak juga, hmm... sekitar 10 menit yang lalu. Bagaimana jika kita makan dulu sebelum melihat pameran? aku ingin makan Mie ayam bakso Mas Mulyono."
Thalia mengangguk cepat, "mie ayam jadi menu favorit dikala mendung. Ayo... aku jadi lapar." Ujar Thalia bersemangat. Mie ayam adalah salah satu makanan favoritnya begitu juga dengan Andre, dan kedai milik Mas Mulyono menjadi kedai yang kerap mereka kunjungi ketika ingin menikmati makanan berbahan utama mie itu. Selain rasa yang enak, lokasinya pun tidak jauh dari kampus. Hanya beberapa meter saja.
"Ayo, naiklah. " Perintah Andre setelah pria itu duduk di kendaraan roda dua miliknya.
Ponsel milik Thalia berdering, mengurungkan niatnya untuk naik. Siapa yang menghubungiku? tanya Thalia dalam hatinya, kemudian ia mengeluarkan gawai dari tas ranselnya. Nomer tidak di kenal.
"Kenapa tidak diterima?" tanya Andre.
"Nomernya tidak aku ketahui. Mungkin orang iseng." sampai deringan itu selesai, Thalia tak juga menerima panggilan tersebut. Tidak berselang lama, ponselnya lagi-lagi berdering. Kali ini, Thalia mengenal siapa yang menghubunginya. Paman Rendra.
"Aku terima dulu ya, " Thalia meminta izin, Andre pun menganggukkan kepalanya. Sambil menunggu Thalia, pria itu membuka ponselnya.
"Halo Paman.“ Sapa Thalia menerima panggilan dari anak buah Ayahnya. " Thalia masih berada di kampus, Paman. Ada apa?"
"----"
"Paman mau menjemputku? oh Pak Rahmat." Thalia menatap Andre yang dibalas pria itu. "Baiklah Paman." Ia mengakhiri panggilan dari Paman Rendra.
"Maaf, Kak. Baru saja anak buah Papa menghubungiku, jika Pak Rahmat sedang menuju kesini untuk menjemputku." Sesal Thalia.
"Kita batal pergi?" Tanya Andre, Thalia mengangguk merasa tidak enak. Andre pun tersenyum. "Tidak masalah, Thalia. Next time masih bisa kan?"
"Tentu saja, " Thalia bernapas lega, kemudian ia tersenyum membalas senyuman Andre yang tertuju untuknya.
Kini Thalia bersama Andre berada di bahu jalan, menunggu Pak Rahmat. Dari posisi mereka, mobil yang di kendarai Pak Rahmat sudah terlihat.
"Jemputanku sudah datang, " kata Thalia. Andre pun turun dari motornya. Begitu mobil berhenti, Andre berinisiatif membukakan pintu penumpang bagian belakang untuk Thalia. "Terimakasih banyak Kak, aku duluan." Pamit Thalia, Andre mengiyakan.
"Loh, kita mau kemana, Pak?" Thalia memerhatikan ruas jalan yang bukan ke arah rumahnya.
"Anu, Non... kita akan ke rumah sakit" Pak Rahmat menjawab pertanyaan Thalia tergagap, seraya memerhatikan wajah nona mudanya dari kaca spion. Perasaannya berkecamuk, dan turut sedih. Tak mampu memberitahu kenyataan yang pasti membuat Thalia bersedih.
Mendapati jawaban Pak Rahmat, Thalia mengerutkan keningnya. Mendadak perasaan Thalia tidak enak dan gelisah. "Ke rumah sakit?" ulang Thalia seraya memajukan tubuhnya. "Memangnya siapa yang sakit, Pak?"
Pak Rahmat tidak langsung menjawab, pria paruh baya itu berpikir, bagaimana cara menyampaikannya. "Kenapa bapak diam? katakan Pak?" desak Thalia tidak sabar.
Pak Rahmat berdeham, wajahnya memancarkan kesedihan. "Tuan Arvin... dan Nyonya Shella... "
"Ada apa, Pak? apa yang terjadi dengan Papa, dan Mama?" desak Thalia lagi, dengan netranya berembun, dan bergetar.
"Tuan dan Nyonya mengalami kecelakaan, Nona.."
"Tidak... Tidak mungkin..."
Pagi harinya, Thalia duduk di dekat peti kedua orang tuanya, dengan Hanna berada disisinya. Yah, kecelakaan beruntun yang terjadi di tol Mojokerto-Surabaya kemarin siang, menewaskan 7 orang. 2 diantaranya adalah orangtua Thalia yang meninggal di lokasi kejadian. Setelah menjalani proses autopsi, jenazah orangtua Thalia pun bisa dipulangkan.
Tidak ada yang lebih menyedihkan, selain ditinggalkan oleh orang yang disayang untuk selamanya. Karena ketika rindu, kita tak lagi bisa melihat dan mendengar suaranya. Itulah yang tengah dirasakan Thalia. Ia harus kehilangan dua orang yang sangat dicintainya dalam satu waktu. Ia sangat sedih, berduka teramat dalam.
Menerima kenyataan atas kehilangan orang yang dicintai tidaklah mudah, butuh waktu untuk Thalia melalui tahapan demi tahapan sebelum akhirnya bisa mengikhlaskan kepergian orangtuanya.
Thalia menyandarkan tubuh lemahnya di sandaran kursi. Manik coklat indah yang diwarisi sang Ayah, nampak sendu, dan wajah cantiknya terlihat mendung dengan lengkungan hitam yang samar di bawah matanya. Bagaimana saat malam tadi, Thalia tidak bisa beristirahat dengan benar. Yang dilakukan gadis itu hanya merenung, mengingat kebersamaannya bersama kedua orangtuanya.
Mbok Sum datang dari arah dapur membawa kotak makanan, lalu memberikannya kepada Hanna. Hanna membuka kotak makan yang berisi nasi dan juga ayam bakar madu. Menu masakan Kesukaan Thalia selain mie ayam dan martabak bihun.
"Makan dulu ya, Tha. Dari kemarin malam kamu belum makan." Bujuk Hanna mengulurkan tangan hendak menyuapi sahabatnya itu. Akan tetapi Thalia menutup rapat bibirnya, menolak suapan Hanna. "Sedikit saja, please." Lanjut Hanna berusaha membujuk Thalia, memasang wajah memelas. "Aku khawatir jika kamu jatuh sakit." ujar Hanna pelan, penuh kelembutan
Mendengar suara Hanna yang memohon, akhirnya Thalia membuka mulut, menerima suapan dari sahabatnya itu. Tidak banyak yang dimakan, tapi setidaknya ada asupan yang masuk ke dalam perutnya.
Para pelayat mulai berdatangan memenuhi ruangan. Tuan Arvin, dan Nyonya Shella, sepasang suami-istri itu memiliki sifat yang sangat baik dan bersahaja. Selain kerabat, tidak heran, jika para pelayat banyak yang datang untuk berbelasungkawa.
"Thalia, " batin seorang pria yang baru datang, menyambangi kediaman atasannya. "Jadi, Thalia anak tunggalnya Pak Arvin. Akh, kebetulan yang sangat manis." Lanjutnya tersenyum tipis penuh maksud.
Sosok pria itu adalah Andre Miles...
🥀🥀🥀
Dengan duduk bersandar di sofa yang terletak di ruang kerja milik mendiang mertuanya, Andre menikmati wine sambil menghubungi kekasihnya. Sudah satu jam berlalu, mereka bercengkrama melalui panggilan video.
"Beristirahatlah, besok aku jemput." Perintah Andre melihat Mona yang sudah mengantuk.
Mona mengangguk, "oke, Sayang. Aku tidur dulu. I love you."
"I love you, too." Balas Andre sebelum panggilannya bersama Mona berakhir.
Kriet.... pintu ruangan terbuka. Andre mengalihkan tatapannya dari layar ponsel ke arah pintu. Begitu melihat siapa yang datang, Andre pun tersenyum lebar hingga barisan gigi bersihnya terlihat.
"Masuklah, Tita. "