Malam itu petir mengaum keras di langit, suara gemuruhnya bergema. Angin mengamuk, langit menangis, meneteskan air dengan deras. Alam seolah memberi pertanda, akan datang suatu bencana yang mengancam sebuah keluarga.
Clara seorang ibu beranak satu menjadi korban ghibah dan fitnah. Sampai mati pun Clara akan ingat pelaku yang sudah melecehkannya.
Akankah kebenaran akan terungkap?
Siapa dalang di balik tragedi berdarah ini?
Ikuti ceritanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yenny Een, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 Tajamnya Lidah
Dira, Dilara, Salman, Salma, Anton dan ketiga temannya berada di dalam ruangan Bu Mila. Dilara menceritakan kronologis kejadian beberapa menit yang lalu kepada Bu Mila. Dilara tidak terima dilecehkan oleh Anton di depan umum. Anton juga memfitnah Dilara sebagai 'ayam kampus'.
Sontak Dira marah, Dira melayangkan tinjunya ke rahang Anton.
"Cukup kalian!" teriak Bu Mila.
Anton kembali meringis kesakitan. Anton memegangi wajahnya yang ngilu, gigi-giginya hampir rontok. Rahangnya hari ini mendapatkan tinju dari Salman dan Dira.
Bu Mila bertanya kepada Anton mengapa Anton menuduh Dilara 'ayam kampus'. Apakah Anton melihat dengan mata kepalanya sendiri Dilara melakukan hal-hal semacam itu, atau mendengar gosip dari orang lain.
Anton sambil memegang wajahnya yang sakit menjawab, dia mendengar dari gosip-gosip di kampus. Dia mendengar celotehan para cewek yang gosipin Dilara. Mereka bilang, Dilara yang pendiam ternyata gadis gampangan, simpanan om-om yang butuh belaian.
"Siapa yang bilang! Biar gue copotin giginya!" Salma kali ini yang emosi.
"Maaf Bu Mila. Ini tidak bisa dibiarkan. Jika gosip ini tidak segera dihentikan, saya takut semua yang ada di kampus ini akan termakan fitnah," kata Dira.
"Benar sekali, beberapa tahun yang lalu sebuah keluarga dighibah kemudian difitnah. Dan mereka terbunuh. Hati-hati dengan lidah kalian. Lidah kalian tajamnya lebih daripada pedang. Anton beritahu Ibu siapa saja yang bergosip?"
Dengan menahan sakit di sekujur tubuhnya, Anton dan teman-temannya menelusuri koridor kampus, Anton dan teman-temannya menarik cewek-cewek yang menggosipkan Dilara. Cewek-cewek itu ditanyai satu persatu dari mana gosip itu berasal.
Dan akhirnya setelah memakan waktu yang cukup lama, mereka menemukan siapa yang menyebarkan gosip pertama.
"Apa? Apa? Kok kalian semua ngumpul di sini?" tanya Ella.
"Eh, El, lu tau dari mana si Dila mainan Om-om?" pancing salah satu temannya.
"Gue pernah liat Dila di mall sama Om-om, gandengan tangan lagi," Ella sambil tertawa kecil.
"Ella, apa perkataanmu ada buktinya?" Bu Mila muncul di hadapan Ella.
"Hmm, hmm, saya sendiri saksinya," jawab Ella.
"Bohong, semua yang dikatakan Ella fitnah. Saya berani bersumpah semua itu tidak benar," Dilara membela diri.
Tiba-tiba Zehan menarik tangan Ella menjauh sedikit dari kerumunan.
"Yang selingkuh itu Nyokap lu! Nyokap lu yang ngancurin rumah tangga Nyokap gue. Mau gue sebar biar semua pada tau, hah! Tunjukin buktinya kalo Dilara simpanan Om-om!" Zehan kembali menarik Ella ke depan Bu Mila.
"Gimana Ella? Ada buktinya?" tanya Bu Mila.
"Hmmm, gak ada," jawabnya menunduk.
"Jadi?" Bu Mila menyilangkan kedua tangan ke dadanya.
"Gak ada Bu. Saya cuman kesal az sama Dila."
"Kamu tau apa efeknya bagi Dila? Dia dilecehkan, dihujat karena kamu. Ella kamu ikut ke ruangan Ibu!" Bu Mila dengan kesal meninggalkan kerumunan.
"Uuuuuuuuuu!" semua orang menyoraki Ella yang nampak biasa tidak ada penyesalan di wajahnya.
Zehan kembali melemparkan tatapan penuh kebencian kepada Ella. Sebelum menuju ruangan Bu Mila, Ella masih sempat menyenggol Dila dengan pundaknya. Salma spontan mendorong pundak Ella.
"Gila!" Ella mencibir.
"Udah jangan diladenin, orang gila dia mah," Salman mengajak pergi Salma, Dilara, Dira.
Atas penyebaran gosip yang tidak berdasar, Ella mendapatkan teguran dari pihak kampus. Ella diberi hukuman membersihkan kamar mandi kampus selama satu bulan penuh.
Dilara diizinkan tidak masuk kampus hari ini. Dan Dira pun mengajak Dilara jalan-jalan. Mereka berhenti di sebuah taman dekat pinggir sungai. Dira memesan beberapa minuman dan cemilan untuk mereka. Mereka duduk di kursi taman.
"Kak, setelah pulang dari Desa Damai, aku sering bermimpi buruk."
"Mimpi buruk?" Dira menatap Dilara.
"Iya, sepertinya aku membunuh seseorang," terlihat ketakutan di mata Dilara.
"Membunuh?" Dira menyipitkan matanya.
"Iya Kak, mimpi itu seperti nyata dan terus berulang," jawab Dilara.
Setelah menghabiskan makanan mereka, Dira membawa Dilara ke suatu tempat dengan mobilnya. Perjalanan tidak begitu jauh, cukup 15 menit mereka tiba di sebuah klinik pengobatan.
"Kak, siapa yang sakit?"
"Aku ingin mengenalkan mu pada seseorang," Dira keluar dari mobilnya.
Dilara juga membuka pintu mobil. Mereka masuk ke dalam klinik. Setelah berbicara sebentar dengan perawat yang ada di depan. Dira dan Dilara dipersilahkan masuk ke dalam ruangan seorang Dokter.
Seperti ruangan Dokter pada umumnya, Dilara mengamati ruangan itu. Di sana ada sofa panjang, terlihat empuk. Dan di atas meja kerjanya ada bingkai foto yang membelakangi mereka. Dilara penasaran, Dilara membalik bingkai foto itu.
"Kak Dira ini siapa?" tunjuk Dilara ke bingkai foto.
"Itu Dira bersama Ayah Bundanya. Apa kamu yang namanya Dilara?" di dada Dokter itu terlihat tanda pengenal bernama Dokter Eren.
"Oh, iya Om, eh Dokter," jawab Dilara gugup.
"Panggil Om saja, Ayah juga boleh," kata-kata Dokter Eren mampu membuat Dilara tersipu.
Dira memberitahu maksud kedatangannya. Dira menceritakan mimpi yang dialami Dilara. Dira meminta bantuan ayahnya untuk mengetahui mimpi itu adalah mimpi atau sesuatu yang pernah terjadi dan Dilara tidak mengingatnya.
Setelah mencek kondisi Dilara dan semua prosedur sudah dijalani. Dilara berbaring di sofa panjang yang tadi dilihatnya. Dilara merasa nyaman berbaring di atasnya. Dokter Eren memutar musik relaksasi terdengar suara air mengalir dalam musik yang lembut.
Dilara mengikuti instruksi Dokter Eren. Dilara masuk ke alam bawah sadarnya. Dilara kembali ke beberapa waktu yang lalu di saat mengejar seorang pria. Dilara dan pria itu masuk ke dalam rumah kosong. Dan Dilara melihat seseorang keluar dari tubuhnya.
Dilara samar-samar melihat sosok hitam menghajar, mencekik dan segala jenis penyiksaan yang diberikannya kepada pria itu. Dia juga melihat beberapa kali pria itu memohon meminta ampun. Dilara mencoba mencari tahu wajah pria itu. Dilara membelalakkan matanya. Dan sosok itu juga menatap ke arah Dilara.
"Dila, Dila, Dila!" panggil Dokter Eren.
Dilara membuka matanya, keringat dingin mulai bercucuran di keningnya. Dilara duduk sambil memegang dadanya yang berdegup sangat kencang.
"Dila, apa kamu sudah menemukan jawaban yang kamu cari?" tanya Dokter Eren.
"Iya, terima kasih Om,"
"Baiklah, Dila, Dira, Ayah menemui pasien dulu ya," Dokter Eren keluar dari ruangan.
"Dila, apa yang kamu liat?" Dira duduk di samping Dilara.
"Kak Dira ingat pria yang menjadi korban perampokan di rumah kosong yang matinya memprihatinkan?"
Dira mengangguk tanda mengingat. Dilara membuka galeri ponselnya.
"Ini dia, mereka yang ada di foto ini adalah sahabat dari Papahnya Zehan,"
"Lalu?" Dira tidak mengerti maksud Dilara.
"Coba perhatikan, Ini namanya Roy, dia yang meninggal di rumah kosong. Di sebelahnya namanya Indra, dan ini namanya Tony, Kak Dira tau kan dia itu yang nyulik aku."
"Dan ...." Dira masih tidak mengerti maksud Dilara.
"Dua orang itu kok kebetulan sahabatnya Om Bobby. Yang jadi pertanyaan ku, apakah mereka semua yang ada di foto ini adalah pembunuh orang tuaku?"
"Dilara, aku tidak mengerti. Ada apa dengan orang tuamu?"
"Kak Dira, sebenarnya aku adalah anak dari korban pembunuhan di Desa Ghibah 4 tahun yang lalu.
"APAAAAAAA?"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...