🥈JUARA 2 YAAW S2 2024 🏆
Perceraian, selalu meninggalkan goresan luka, itulah yang Hilda rasakan ketika Aldy memilih mengakhiri bahtera mereka, dengan alasan tak pernah ada cinta di hatinya, dan demi sang wanita dari masa lalunya yang kini berstatus janda.
Kini, setelah 7 tahun berpisah, Aldy kembali di pertemukan dengan mantan istrinya, dalam sebuah tragedi kecelakaan.
Lantas, apakah hati Aldy akan goyah ketika kini Hilda sudah berbahagia dengan keluarga baru nya?
Dan, apakah Aldy akan merelakan begitu saja, darah dagingnya memanggil pria lain dengan sebutan "Ayah"?
Atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#15
#15
Tut
Tut
Tut
Widya menatap ponselnya dengan pandangan kesal, pasalnya sudah puluhan kali ia mencoba menghubungi nomor sang suami, namun belum juga mendapatkan jawaban.
“Mas Aldy kemana sih?”
Wajar jika Widya kesal, karena sejak jam 9 pagi Aldy tak lagi membalas pesannya, “Harusnya jam segini kan sudah kembali ke hotel.”
“Maaa … ayo belajar, katanya aku harus rajin belajar?”
“Iya sayang, Ayo …” Jawab Widya setengah hati.
Gadis kecil yang baru kelas 1 SD itu pun tersenyum girang, jarang-jarang sang Mama bersedia menemaninya belajar, karena biasanya ia belajar bersama sang Papa.
Namun belum juga tiba di kamar Reva, “Wah … wah … anting baru lagi nih,” sindir Alika, kakak kandung Aldy yang baru saja tiba kembali ke Indonesia setelah berpisah dari suaminya.
“Baru atau tidak, bukan urusan Mbak, karena Anting ini aku beli dengan uang tabunganku, bukan menggunakan uang perusahaan.” Jawab Widya datar.
Alika mengerutkan keningnya curiga. “Berapa banyak uang pemberian Aldy? setahuku rancangan Jewelry Star tidak di jual dengan harga di bawah 200 juta.”
“Berapapun uang pemberian suamiku, aku rasa wajar, karena itu sudah bertahun-bertahun kami menikah.”
“Sombong, kamu pikir aku tak tahu … bagaimana dulu kamu main mata dengan Aldy, padahal statusnya sudah beristri.” Balas Alika, sesungguhnya Alika tak pernah menyukai keberadaan Widya di sisi Aldy, karena sejak Widya meninggalkan Aldy demi menikahi pria lain, Alika melihat bagaimana Aldy rapuh dan terpuruk. Alika sangat bahagia ketika melihat Aldy menikah dengan Hilda, karena sebelumnya Alika mengira Aldy tak akan bisa bangkit dan memulai kehidupan barunya.
Tapi entah mantra apa yang Widya gunakan hingga berhasil membuat Aldy meninggalkan istri sebaik Hilda.
Mendengar perkataan Alika, Widya pun menutup telinga Reva, "Kak … tolong jaga kalimat kakak ada Reva di sini."
Alika menata keponakan kecilnya tersebut, wajah polos itu tampak menatap heran perseteruan Bibi dan Mamanya.
Tapi ia mengabaikan peringatan Widya, dan pergi begitu saja, seolah tak merasa bersalah.
Widya mengepalkan tangannya, semenjak tinggal di rumah kedua orang tua Aldy, ada-ada saja masalah yang harus Widya hadapi, mulai dari mertua yang menginginkan cucu laki-laki, keharusan mengurus semua urusan rumah, hingga ke julid an kakak iparnya baru-baru ini. Entah ia bisa menikmati me time nya sendiri.
Sudah berkali-kali ia meminta ada Aldy untuk kembali membeli rumah baru, namun Aldy pun tak berdaya, karena ini adalah syarat yang harus Aldy terima ketika ia memegang jabatan menjadi pemimpin perusahaan.
"Ayo sayang, nanti selesai belajar, kamu mau kan telepon Papa?"
"Mau dong, Ma … Reva udah kangen Papa." Jawab Reva Antusias, padahal baru juga dua hari sang Papa pergi ke Yogyakarta.
.
.
Sementara itu di Yogyakarta, Aldy yang masih dibuat penasaran, menunggu dengan cemas, berharap semoga tebakannya tak salah, walau bukan reuni indah yang ia harap, tapi setidaknya ia tahu bahwa mantan istrinya baik baik saja, bahkan ia berharap hilda berbahagia dengan seorang pendamping hidup yang bisa mencintai dirinya dengan tulus.
"Bapak memanggil saya?" tanya Diki sang OB.
"Iya … kata pak Husein kamu menyimpan kontak HK Catering." Ujar Aldy tak sabar.
Diki mengangguk, "Iya, Pak … tapi Hape saya sedang rusak, Bu Ayla pasti juga punya pak."
"Kalau ada Ayla … kenapa harus tanya kamu." gerutu Aldy.
pasalnya Ayla izin pulang lebih awal karena Ibunya masuk Rumah Sakit.
"Maaf, Pak …"
"Ya sudah, kamu boleh pulang," perintah Aldy, karena saat ini jam pulang kantor sudah berlalu.
Aldy menghembuskan nafas kesal, ia terpaksa menunda rasa penasarannya, padahal sejak tadi ia sudah mengabaikan panggilan Widya, karena sedang tidak fokus menerima panggilan.
Aldy hendak memasuki mobilnya ketika pandangannya tanpa sengaja menatap seorang anak kecil sedang asyik memainkan bola dengan kedua kakinya. Sepertinya ia salah seorang murid dari sekolah bola.
Karena anak itu sendirian, Aldy tertarik untuk mendekatinya, lagi pula tak ada yang menunggunya pulang.
belum sempat Aldy mendekat, Bola yang tengah dimainkan anak laki-laki itu menggelinding ke arahnya, Bocah itu pun berlari mendekati untuk mengambil bola miliknya.
"Maaf, Om …" Ucap bocah itu.
"Gak papa." Jawab Aldy seraya mengembalikan bola milik bocah tersebut. "Sudah sore, kenapa belum pulang?" Tanya Aldy.
"Nunggu Eyang jemput," jawab Ammar.
"Nggak takut sendirian? banyak orang jahat loh?"
"Nggak dong, kan Ammar pemberani, Om." jawab Ammar sembari menyunggingkan senyumnya yang jenaka.
Wajah tampan Ammar kecil, membuat Aldy termenung, senyuman itu … ia sangat mengenalnya, tapi senyuman siapa Aldy tak begitu mengingatnya, karena sehari-hari ia bertemu dan berinteraksi dengan banyak orang.
"Om, boleh ikut main bola?"
"Emang bisa?"
"Kalau cuma menendang Bola sih, kayaknya bisa." Aldy berkelakar, entah kenapa, tiba-tiba ia ingin menemani bocah tersebut, hingga sang Eyang datang menjemput.
Maka dengan penuh semangat, Aldy meletakkan tas kerjanya di sudut lapangan kecil di depan sekolah bola tersebut, pantas saja bocah itu merani menunggu seorang diri, karena seorang security masih berjaga di depan gerbang.
Ammar yang aktif, sangat lincah berlari menggiring bola, membuat Aldy sedikit kewalahan mengimbangi kecepatan larinya, walau demikian Aldy bisa tersenyum lepas ketika melihat Ammar bersorak manakala berhasil menembus gawang pertahanannya.
Ammar bersorak, bahkan menyanyi dengan yel yel kebanggaannya, "Ye … ye … ye … ale … ale … ale …" seru Ammar girang, ketika ia memasukkan gol ke lima nya.
"Wah Boy … hebat sekali kamu, Om menyerah …" Aldy mengangkat kedua tangannya tanda menyerah.
"Aaaahh … Om payah … gak pernah olah raga ya …" Ejek Ammar.
"Iya Nih … nanti kalo sudah kembali ke Jakarta, Om akan rajin olahraga biar bisa sehebat kamu." Jawab Aldy sembari mengusap kepala Ammar.
Ammar mengulurkan kepalan tangannya, dengan senang hati Aldy menyambutnya, hingga keduanya pun adu kepalan tangan.
"Ammar …"
"Yangkuung …" jawab Ammar, sembari melambaikan tangannya dengan bahagia melihat kedatangan Pak Han.
Bocah itu kembali memasukkan bolanya ke dalam jaring bola, "Ammar pamit ya, Om."
"Iya … Hati-hati …"
"Terima kasih sudah menemani Ammar," Ammar melambai sambil berlari meninggalkan Aldy, membuat Aldy merasa kehilangan, padahal ia tak tahu siapa bocah itu, namun untuk sesaat ia merasa menjadi dirinya sendiri, tertawa lepas padahal ia dikalahkan seorang bocah.
"Den Ammar tadi main sama siapa?" tanya Pak Han ketika mobil sudah melaju di jalanan.
"Gak tahu Yang …" jawab Ammar polos.
"Jangan main sama orang asing Den, bahaya."
"Tapi Om tadi baik kok."
"Iya … Eyang tahu, jangan diulang lagi yah?"
Namanya juga anak-anak Ammar hanya mengangguk saja mendengar penuturan Pak Han, ia sudah merasa jadi orang dewasa, karena sudah pasti menolak pemberian orang asing, atau menolak tegas, ketika ada orang asing yang hendak membawanya.
"Bunda … tadi ada Om-om yang Ammar kalahkan." Ammar dengan banggakan menceritakan keberhasilannya pada sang Bunda.
"Masa?" Timpal Hilda sembari meletakkan sepotong tempe bacem ke piring Ammar.
"Iya dong, 5 - 0 Bunda."
Hilda mengerutkan keningnya, walau khawatir, tapi ia sangat yakin bahwa putranya pasti bisa menolak jika orang itu bermaksud jahat, "boleh Bunda tahu siapa namanya?"
"Namanya …"
andai..andai.. dan andai sj otakmu skrg